Mory Syukur Sempat Pasang Badan di Depan Mesin Ekskavator (original) (raw)

SURABAYA, RABU - Tindakan Mory Syukur, salah satu kuasa hukum warga Kelurahan Genting, Kecamatan Asemrowo, Surabaya yang menghalang-halangi proses eksekusi tanah dianggap melanggar hukum. Polisi menetapkannya sebagai tersangka kerusuhan yang terjadi pada proses eksekusi yang dilakukan Selasa (28/10).

Hari kedua proses eksekusi di Genting itu berlangsung ricuh. Situasi di Kampung Genting Baru RT 4/RW 1, Kelurahan Genting, Kecamatan Asemrowo, Surabaya mulai memanas dengan masuknya mesin eskavator ke dalam pemukiman warga melalui gang III Genting Baru sekitar pukul 10.23 WIB. Mesin berat tersebut akan merobohkan beberapa bangunan di dalam kampung yang masuk dalam peta eksekusi.

Melihat situasi tersebut, kuasa hukum warga yaitu Mory Syukur dan Fahmi Bachmid dan perwakilan warga Mohammad Iskandar datang ke lokasi. Mereka meminta kepada petugas polisi untuk menghentikan mesin berat. Sementara itu puluhan warga di gang sebelah barat berkumpul sambil melakukan istigasah.

Situasi kian memanas ketika Mory Syukur dan Mohammad Iskandar tetap bersikeras menghalangi mesin eskavator dan pasang badan di depannya. Polisi mencoba melakukan komunikasi namun gagal.

"Saya enggak mau diatur. Ini tidak beres. Kita harus bertahan," ujar Mory. Setelah pendekatan komunikasi gagal, petugas akhirnya mengamankan Mory secara paksa. Beberapa petugas Kepolisian turun tangan karena karena Mory terus memberontak.

Di tengah keributan, tiba-tiba Fahmi melakukan pemukulan namun justru mengenai Mory yang sedang diamankan beberapa petugas polisi. Fahmi pun akhirnya ditangkap. Keduanya dibawa ke Polwiltabes Surabaya.

Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya Komisaris Besar Polisi Bambang Suparno mengatakan, sebagai pelaksana eksekusi pihaknya telah melakukan pendekatan kooperatif. Namun, tiba-tiba muncul pihak yang menghalang-halangi pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi sebenarnya harus berlangsung sejak 11 Agustus lalu tetapi kami memberikan perpanjangan waktu hingga sekarang agar mereka lebih siap. Namun, yang terjadi warga justru diajak untuk tetap bertahan, ucapnya.

Menurut Bambang, sebelum eksekusi kedua sosialisasi kepada warga telah dilakukan sejak tanggal 25 Oktober 2008. Selain itu, permintaan warga untuk mengukur ulang tanah juga dilakukan hingga enam kali.

"Proses hukum sudah berjalan sejak 1995 hingga 2008 dan ketetapannya sudah jelas. Jadi, masyarakat jangan disesatkan," kata Bambang.