"Into Your World" Part 3/Completed (original) (raw)
Title:
Into Your World
Author: nonarisasmile
Rating: approx. PG-13
Character(s): Kris, Yixing (Lay), Tao of EXO-M and please welcome the appearance of Luhan of EXO-M in this part.
Length: 5675 words
Language: Bahasa (Indonesian)
Genre: Romance (future Taoris), High-school AU (you've been warned)
Disclaimer: All characters based on a real-person beings in the form of SM Entertainment's EXO-K and EXO-M, anything except the story ideas and contents aren't mine. Any similarities aren't something intended by the author. Credit this story title and italiced lines with * to EXO's song Angel (Into Your World).
Summary: Keberadaan Kris seperti gelombang ombak yang tak sanggup diterjangnya dan akhirnya "membasahi"nya.
...tapi tidak mungkin itu semua hanya ilusi, ‘kan?
Tao bertambah dewasa dengan memelihara kebesaran hati dan kesederhanaan seperti yang diajarkan kedua orangtuanya dulu; menjadikannya seorang pemuda yang tetap akan bisa menyimpan kebijaksanaan sederhana yang lebih dikenal di masa dulu, pemuda yang tidak terbiasa melawan pendapat orangtuanya dan barangkali lebih canggung atau pemalu pada lawan jenisnya, bukan jenis pemuda yang mementingkan imej untuk dilihat dan jauh lebih puas apabila bisa membuat kedua orangtuanya bangga pada dirinya yang selalu patuh dan menghormati.
Ketiadaan kedua orangtuanya dari hidupnya telah mengguncangnya dengan rasa kehilangan yang teramat besar, namun dengan terlebih dulu dan jauh di dalam dirinya, setidaknya kedua orangtuanya meninggalkannya bukan untuk menjadi sepenuhnya sendirian melanjutkan hidupnya. Itu ditunjukkannya dengan kekuatan dan kemauannya yang besar untuk bisa melanjutkan pendidikan dan hidup yang telah dirintis sejak kedatangannya ke Seoul; karena Tao tahu bahwa itulah yang kedua orangtuanya harapkan darinya.
Ya, bahkan meski seolah dunia tidak selunak itu untuk melonggarkan hari-hari sekolahnya dengan teman-teman yang memilih untuk menjauhinya karena kesalah-pahaman yang mereka ciptakan sendiri, Tao hanya bisa memilih untuk tetap berbesar hati menghadapinya, betapapun kenelangsaan yang dirasakannya ketika bertatapan dengan siapapun temannya di sekolah terasa tak berkurang; selalu saja meninggalkan gelenyar di hatinya dan panas di pelupuk matanya ketika mendapati apa yang nampak sebagai ketakutan di wajah teman-temannya sendiri atas dirinya.
Betapa setelah sekian lama, bagi Tao pun menatap teman-temannya hanya menimbulkan rasa takut dan terpojokkan yang membuatnya lebih memilih kesendirian daripada terus menghadapinya. Selama ini akhirnya demikianlah sekolah berjalan baginya, dengan dirinya yang akhirnya bisa mengikhlaskan suatu kesendirian sebagai apa yang bisa ia sebut teman yang tak akan menatapnya dengan sorot ketakutan; betapapun air matanya masih menetes ketika datang saat-saat di mana dirinya merasa kehilangan pegangan, mengharapkan siapapun mau datang dan mendengarkannya; berada di dekatnya dan tidak takut padanya, pada dirinya apa adanya.
Lalu—
Tao juga hanya manusia yang biasanya, ia pun bereaksi seperti bagaimana siswa lainnya pada kedatangan dua murid baru di sekolahnya, dia takjub dan terkejut, namun dalam diam yang hanya dipunyainya karena ia tidak memiliki teman untuk berbagi hal itu. Binar kembarnya pun hanya bisa menatap kedua murid baru yang ternyata menjadi satu kelas dengannya dengan ketakjuban dan kepenasaran lugu yang terpendam dalam diamnya, dan riuhnya kawan-kawan satu kelas yang seolah tidak kenal lelah berkasak-kusuk seperti sekumpulan lebah.
(Nguungg, nguungg… Tao hanya terkekeh kecil ketika membayangkan kemiripan bunyi sekawanan lebah dengan kawan-kawan sekelasnya waktu itu. Kau tahu, melakukan hal-hal seperti inilah yang menjadi hiburannya di sekolah.)
Dan ketika kedua siswa itu membuka mulut dan memperkenalkan diri, seperti halnya manusia biasa yang langsung seolah tersedot oleh pengaruh kuat keduanya, Tao pun kembali memusatkan perhatiannya pada kedua siswa baru itu, biner kembarnya sesekali mengerjap seolah silau pada sesuatu yang seolah dipancarkan keduanya bagai sinar terang. Pikirannya yang sederhana, dalam ketakjubannya itu hanya termangu pada kenyataan bahwa dirinya bisa menatap langsung orang-orang yang pengaruhnya semengesankan atau bahkan lebih mengesankan dari orang-orang yang biasa terlihat dalam majalah-majalah bersampul halus dan film-film yang laris ditonton.
Lebih-lebih, dia tidak bisa menyangkal bagaimana sosok Kris baginya tampak seolah melompat keluar dari cerita animasi yang terkadang suka dilihatnya di layar teve; dengan tubuhnya yang jangkung sekali, lalu paras wajahnya, dan terutama sekali warna rambutnya yang terang, berbeda dari hampir seluruh siswa di sini yang mayoritas berambut hitam. Tao memutar-mutar pensil di tangannya seperti tongkat wushu yang biasanya dipakainya saat latihan ketika dalam diam dan mata melebar ia memerhatikan kasak-kusuk yang kembali merebak ketika kedua siswa baru itu akan menempat tempat duduk mereka.
Pemuda itu menelengkan kepalanya, bertanya-tanya dan iseng-iseng mencoba menghitung ada berapa banyak bangku yang tersisa di kelasnya yang sebenarnya sudah cukup penuh; lumayan susah mengira-ngiranya dari di mana bangkunya berada di sudut belakang, tempat di mana pandangannya sudah terhalang oleh puluhan punggung orang-orang yang sudah terbiasa untuk hampir tidak pernah berputar menghadapnya; memikirkan itu tanpa dimaksudkannya akhirnya menyudahi pengamatan kecil-kecilannya, dan Tao hanya bisa menunduk murung dan menggigit bibir bawahnya.
Pemuda itu beralih termenung memikirkan sejak kapan pensil di tangannya bisa tampak begitu menarik saat ini…
…atau mengingat bagaimana yang lain selalu mengusahakan diri untuk tidak berdekat-dekat dengannya; sampai bahkan tadi dia tidak memerhitungkan kosongnya satu-dua bangku itu untuk dihitung, sejak kapan ia pernah mendengar satu-dua bangku di dekatnya bergerak seperti sekarang?
Refleks saja si pemuda berhelai arang mengangkat kepalanya, kembali melebarkan matanya dan mengerjap pada pemandangan sangat teratur bagaimana kedua bangku berurutan di dekatnya terisi, pertama oleh Yixing yang rambutnya hitam dan dengan halus menempatkan diri, kemudian beberapa detak jantung berikutnya Tao bisa mendapati keberadaan sosok yang menyusul untuk duduk di sebelah kirinya, dan seketika itu juga Tao tidak berani mengarahkan pandangannya ke sana.
Karena bukannya hanya ada kekosongan seperti biasanya.
—ada Kris.
Karena seperti anak muda kebanyakan yang familiar pada cerita dalam suatu film, dan tahu bahwa semengada-ada apapun nampaknya memang tetap ada kaitannya dengan kenyataan sebenarnya, Tao juga tahu bahwa kedua siswa baru itu akan menemukan posisi mereka di lingkungan sekolah ini dalam lampu sorot yang selalu mencari mereka. Seolah sebagai penonton, akhirnya meski sekali lagi dalam diam, Tao mendapatinya terjadi; Yixing yang dengan cepat menjadi mata tombak sekolah mereka dalam olahraga dan seni, sedangkan Kris pada penguasaan bahasa dan berbicara.
…hei, meski dia juga sudah memelajari wushu sejak dirinya masih belum bisa berhitung, itu tidak memberinya pengaruh apapun, bahkan pada klub wushu yang harus mau menerimanya karena dia tidak bisa memeroleh nilai lengkap tanpa mengambil kegiatan klub; sejauh ini hanya pelatih klub nya yang didatangkan dari luar-lah yang pernah memuji tingkat keahliannya dalam beladiri itu. Tidak, tidak, Tao tidak mempunyai kehendak untuk bisa menonjolkan diri di atas yang lain; bahkan pada hal yang memang dikuasainya, itu hanya tidak ada hubungannya pada keinginannya untuk melakukan yang ia bisa untuk menyenangkan hati kedua orangtuanya.
Melihat Kris dan Yixing yang kemudian memeroleh lampu sorot mereka seolah memang itu yang pantas bagi mereka, dan bagaimana keduanya terlihat mampu menghimpun kehidupan sosial yang jauh lebih baik sehingga seolah bukan mereka yang merupakan murid baru, segalanya yang seolah terlihat baginya dari kejauhan; Tao tahu bahwa sebagai penonton ia hanya perlu bertepuk tangan dalam hati dan, sekali lagi, berbesar hati.
Karena sadar bahwa dirinya hanyalah salah satu dari penonton yang tidak bisa menyangkal ketakjuban dan kekaguman dalam hati, maka tidak pernah diperkirakannya bahwa suatu hari Kris bersedia menjadikannya partner laboratoriumnya dan teman satu meja saat makan siang.
Sempat terlintas dalam pikirannya apakah saat itu dunia ini sedang mengada-ada dan sedang menjadikan salah satu saat kehidupannya itu menjadi se-berlebihan suatu gerak lambat.
Memang benar bahwa seperti manusia biasa, Tao pun tak mampu menghindarkan dirinya dari ketakjuban akan pengaruh Kris seperti halnya semua orang pun begitu. Namun segera saat Tao mendapati bagaimana keberadaan Kris begitu nyata dan dekat sebagaimana “wajarnya” keberadaan pemuda berhelai pirang-kecokelatan itu sebagai partner laboratorium dan teman satu meja; di hari itu Tao malah menemukan dirinya seolah merasa takut pada bagaimana “dekat”nya dirinya dengan Kris.
Tao mendengar sendiri bagaimana dia hanya sanggup berbicara dengan terbata atau nyaris pada Kris, dan bagaimana dia hanya sanggup menghindari tatapan pemuda itu sehingga bisa dibilang dia hanya akan tampak seperti orang yang bodoh dan canggung… betapa ia tidak bisa memikirkan satupun hal yang bisa sedikit menyelamatkannya dari hal itu; namun memang benar dan nyaris sinting rasanya untuk mengakui satu hal ini, bahwa dengan gaya bicara Kris yang menunjukkan ketajaman pikiran di atas rata-rata juga dengan pembawaannya yang seolah tak terganggu oleh apapun; Tao merasa bahwa Kris terlalu tidak manusiawi dan seolah benar-benar memancarkan sinar terang misterius dari dirinya.
Kris… Kris yang tampak terlalu tidak nyata untuk bisa menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh dilihatnya sekarang, ada hanya berjarak satu lengan darinya dan sekadar terpisahkan oleh meja kayu kafetaria; sambil hanya sanggup memain-mainkan makanan di hadapannya, Tao akhirnya sadar bahwa perasaan takutnya pada Kris hanyalah proyeksi dari bagaimana ia sebenarnya bahkan ragu untuk percaya bahwa semua ini bisa terjadi… setelah hari-hari yang berlalu dengan nyaris setengah hati kecuali pada pegangannya selama ini bahwa ia harus belajar dengan baik demi kedua orangtuanya yang telah tiada.
Siapakah Huang Zi Tao yang hanya pemuda biasa-biasa saja ini?
Dia memang tidak diajarkan untuk mudah mengasihani diri sendiri dan tahu bahwa jika melakukannya pun tidak akan berdampak banyak; namun suasana kafetaria di siang itu memang terlalu di luar kesanggupannya, di kala itulah Tao benar-benar merasa tidak bisa menemukan alasan untuk tetap berbesar hati. Suasana siang itu, dengan ramainya kasak-kusuk dan tatapan mencemooh sekaligus tidak percaya yang diarahkan padanya seolah tidak bisa lebih buruk lagi; bahkan dengan fakta bahwa dirinya tahu kalau seharusnya dia tidak seterguncang itu karena memang semua temannya akan selalu memandangnya seperti demikian meski tanpa perlu menunjukkannya di hadapannya.
Yang memerparah semuanya adalah ketika dengan nanar Tao akhirnya sanggup melihat bagaimana dirinya dan Kris saat itu; dan dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa konyol akan dirinya sendiri, menyandari bagaimana Kris dengan segala kesempurnaannya yang tak manusiawi, sedangkan dirinya hanya… hanya Huang Zi Tao yang bahkan masih belum pulih dari ketidakpercayaannya atas intensi Kris untuk mengajaknya satu meja saat makan siang. Bahkan seharusnya tidak perlu ada yang harus memaksanya untuk berkata bahwa hidup ini tidak sama dengan apa yang mereka lihat dalam film, betapa mengatakannya sendiri di dalam hati hanya membuatnya merasa tidak lebih baik.
Jika demikian, maka tidak perlulah ia terus berada dalam permainan yang mungkin saja berunjung pada pembodohan atas dirinya sendiri; bukan saatnya lagi bagi Tao untuk ambil bagian dalam satu lagi narasi serupa Cinderella yang lebih cocok dikonsumsi anak kecil, betapapun ia tidak menyangkal datangnya sedikit pengharapan dalam ketergunan bahwa mungkinkah kemewahan sederhana berupa kehadiran seorang yang mungkin tidak akan salah menilainya… dan sekadar menjadi temannya, telah datang untuknya?
Tidak, tidak… hei, lebih baik tidak usah membiarkan dirimu terpaku pada suatu bayangan ataupun pengharapan yang tak bisa dijamin. Jika ia lepas dari semua ini lebih awal sebelum menjadi terlalu terlambat, dia hanya akan kembali pada segalanya yang biasanya; Huang Zi Tao yang menyendiri dalam dunianya sendiri seperti yang biasanya semua kira dan dirinya telah terima, dia tidak akan kehilangan apapun. Bukankah Tao selama ini juga sudah menunjukkan bahwa dia bisa kuat menghadapinya?
Dia sudah mengumpulkan keberanian dan keteguhan hatinya untuk akhirnya bisa berdiri dari duduknya dan mengatakannya pada akhirnya, meski ia tahu kata-katanya tetap terdengar gemetar. Namun tidak mengapa… maksudnya, tak usah menyeret seorang pun lagi dalam hal yang sudah biasa dihadapinya.
(Terlebih, untuk yang seperti Kris; pemuda sangat jangkung itu tidak membutuhkan drama kenyataan kehidupan sosialnya yang meskipun berat tetap saja sangatlah klise, terlalu klise.)
Dia sudah sungguh-sungguh membesarkan hatinya dan ia baru saja akan melangkah pergi, kalau saja tangan Kris tidak menahannya waktu itu dan bagian kecil sangat egois dalam dirinya tidak membiarkannya melepaskannya.
Dan inilah Huang Zi Tao yang tidak bisa menahan tetesan air matanya seperti anak kecil yang lemah di hadapan seorang pemuda sangat jangkung tidak manusiawi yang membawanya untuk duduk ke tembok rendah ini, padahal baru bermenit-menit yang lalu ia sudah bertekad untuk menjadi seorang laki-laki yang kuat. Apa sebenarnya yang ia pikirkan?
…dan mengapa pula Kris tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah untuknya? Kalau saja Kris bisa menyesuaikan dirinya saja dengan teman-teman yang lain lalu menjauh darinya seperti yang semuanya biasa lakukan, dan selesailah sudah.
Sehingga Tao tidak perlu merasakan secercah harapan yang perlahan menggeliat dalam hatinya, namun menyadari hal itu malah tak membuat air matanya berhenti mengalir. Sepertinya sudah menjadi takdirnya untuk tak dapat mengelak sifat “lunak” ini sebagai bagian dari dirinya; dan entah sampai kapan ia akan sanggup memaksa hatinya untuk dapat terus menjadi besar, karena mungkin saja suatu saat hatinya akan meledak.
Konyol.
Tidak hanya itu, begitu juga dengan segala percakapan tak jelas yang kemudian dibuatnya dengan Kris setelah ia bersusah-payah menemukan kata-kata yang sempat tercekat oleh air matanya yang tak kunjung cepat berhenti, tidak disangkanya bahwa jawaban yang didengarnya terlalu… terlalu seperti apa yang seharusnya, terlalu mengingatkannya bahwa meski demikian, itulah jawaban yang sebenarnya bisa ia pahami.
Pada dasarnya, jauh di dalam hatinya Tao tahu bahwa dia tidak bisa terus bertahan sendirian.
Bahkan setelah Tao juga paham pada tujuan Kris yang sebenarnya hanya ingin bisa menilainya tanpa dibayangi pendapat semua yang lain; betapapun logisnya tujuan itu, Tao hanya menemukan dirinya merasa lega karena itu berarti Kris tidak akan segera menjauh darinya dan meninggalkannya. Sesederhana itu, dan biarkanlah itu disimpannya sendiri. Biarkanlah pula kenyataan bahwa mengakuinya seperti demikian barangkali bersikap tidak konsisten dengan kata-kata dan pendirian awalnya.
Di hari-hari selanjutnya setelah kesepakatan mereka di tembok rendah, atau apapun sebutannya yang lebih sesuai, Tao tidak menemukan dirinya berusaha berpikir terlalu berat pada interaksinya dengan Kris, seolah ada sesuatu yang sudah lebih dari cukup untuknya sehingga ia tidak menemukan dirinya memikirkan seperti apa Kris akan menilainya seperti yang sudah mereka sepakati tempo hari.
Setelah dipikirkan kembali, itu hanya karena tanpa meminta persetujuan Kris ataupun mengungkapkannya secara terang-terangan, sisi dalam diri Tao yang mungkin paling kekanakan sudah menganggap Kris sebagai satu-satunya teman.
Tidak pernah benar-benar sebelumnya oleh Tao, betapa menyenangkan rasanya memiliki seseorang yang bisa membicarakan dan melakukan banyak hal denganmu. Tapi tidak perlu Kris harus mengetahuinya, karena Tao khawatir itu akan mengganggu Kris dan bisa saja membuat pemuda berhelai pirang-kecokelatan itu membangun perkiraan yang mungkin akan merubah bagaimana “kesepakatan” mereka berjalan. Biar seperti ini saja, sesuai dengan kondisi yang diajukan Kris dan disetujuinya.
…tidak apa-apa kalau Kris sebenarnya hanya bertujuan untuk menemukan penilaian atas dirinya yang sebenarnya, dan sebelum saat dimana Kris akhirnya menganggap semuanya sudah cukup telah datang; yang penting Tao sudah sempat menemukan perasaan yang menyenangkan, sebisanya saja.
Sebisanya saja, Tao ingin bisa mengumpulkan saat-saat dimana dia dan Kris bisa membicarakan satu-dua hal bersama; sesekali sambil duduk-duduk membeli jajanan kesukaannya yang ternyata rasanya menjadi lebih lezat saat Tao membelinya sambil tidak sendirian. Sebisanya saja, Tao ingin bisa tidak habis-habisnya tertegun-tegun dalam hati pada betapa seringnya Kris mengernyitkan dahi saat mereka membicarakan hal-hal tertentu, tapi kemudian tetap bisa mengeluarkan senyum kecil. Sebisanya saja, Tao ingin merasakan kehangatan yang rasanya mengingatkannya pada saat-saat kedua orangtuanya masih ada bersamanya ketika saat ia tak sengaja menjadi terlalu emosional di tengah-tengah hal yang diceritakannya pada Kris, ia selalu mendengar jawaban Kris yang tidak menghakiminya dan pada akhirnya bisa membuat air matanya mereda; padahal Tao tahu betapa Kris mempunyai pikiran yang sangat tajam dan pola pikir yang tidak sama dengannya.
Segala dan segalanya yang berusaha Tao simpan di hatinya sebagai kenangan berharga akan rasanya tidak lagi sendirian, dan betapa menyenangkan rasanya memiliki teman.
…karena keberadaan Kris.
(…untuknya; bolehkah dibilang begitu?)
Di hari dimana Tao tidak mendapati keberadaan Kris yang sudah menempati bangkunya lima belas menit sebelum bel berbunyi seperti biasanya, Tao hanya bisa tercenung dalam hati; dalam diam mencoba mengira-ngira mengapa Kris yang setahunya selalu serba teratur dan serba seharusnya belum tiba di kelas.
Padahal biasanya Tao akan sudah bisa mendapati Kris yang menatapnya dari bangkunya ketika ia baru memasuki kelas dan mengangkat sebelah alisnya tanpa eskpresi berarti, apa yang dianggap Tao sebagai ucapan selamat pagi untuknya.
Dan betapa bahkan sampai kemarin saja Tao masih belum benar-benar cukup terbiasa karena ia masih terus saja menjawab “selamat pagi dari Kris” dengan serangkaian tanggapan canggung dan salah-tingkah di luar kemauannya. DI satu sisi, Tao berpikir bisa saja dirinya menyimpan sedikit rasa takut yang ditujukannya pada Kris, meski bukan dalam artian yang bisa disamakan dengan rasa takut yang seperti itu (misalnya, seperti ketakutan semua siswa di sekolah ini kepadanya); namun suatu rasa takut yang berbeda, yang agaknya bersisian dengan rasa segan dan berhati-hati... yang pada akhirnya membuat Tao terkadang lebih sering seakan menarik diri dengan menghindari tatapan mata dan bersikap canggung karena takut bertindak atau berkata sesuatu yang tidak dianggap berkenan bagi Kris.
Tao takut jika saja hal itu terjadi, Kris akan memutuskan untuk menyudahi “pengamatan”nya dan menjauhinya lebih cepat. Tao akhirnya mengakui dengan getar rasa bersalah akan keegoisannya bahwa dia tidak ingin hal itu sampai terjadi, atau jika itu memang harus terjadi... setidaknya tidak secepat itu.
Memikirkan, memerkirakan Kris yang jauh darinya terasa menakutkan bagi Tao.
Dia sadar bahwa itu mungkin bisa saja akan terjadi atau seharusnya terjadi, karena seperti apa yang Kris katakan padanya, Kris hanya membutuhkan semua interaksi untuk bisa menemukan sudut pandang sendiri di atas apa yang sudah seluruh siswa di sekolah ini labeli padanya… tapi toh, apa yang bisa ia lakukan? Tak ada.
Membicarakan progres dari apa yang sebenarnya sedang Kris lakukan secara spesifik rasanya belum pernah dilakukan, entah karena hal itu memang tidak seharusnya dibicarakan, atau ketakutan Tao secara tak sadar membuatnya tak pernah mengungkitnya, bahkan dalam posisinya sebagai “objek”. Entahlah dengan Kris, di atas bagaimana Tao mengartikan keberadaan Kris di dalam hatinya, selalu saja ada banyak hal dalam diri Kris yang selalu menjadi misteri baginya; bahkan setelah semua perkataan yang mereka pertukarkan dalam percakapan ataupun setelah semua hal yang mereka lakukan bersama. Mendadak, Tao sadar bahwa selama ini dirinyalah yang lebih banyak memulai hal untuk dibicarakan dan mengusulkan kegiatan untuk dilakukan; yang selalu diikuti Kris tanpa tampak terbebani, dan tiba-tiba saja Tao merasa terhenyak akan penyadarannya.
Sekali lagi, entahlah dengan Kris; Tao, sayangnya, tidak diberkahi pemikiran yang sekuat itu untuk bisa memperkirakannya. Seperti semua siswa di sini, Tao tidak berbeda dengan menganggap sosok Kris adalah sosok yang tidak bisa mereka “raih”.
Hanya saja… apakah ada kemungkinan bahwa bisa saja Kris juga tidak berkenan pada gagasan untuk menjauh darinya?
Yah, betapa bodohnya dia untuk memertanyakan kemungkinan seperti itu. Dengan nanar ditatapnya bangku Kris yang kosong, seakan mengeja kenyataan yang sedang disajikan dengan susah payah. Kini di suatu pagi yang cerah seperti biasanya, ketika pelan-pelan mencerna ketidak-hadiran Kris di bangkunya yang biasanya, Tao bertanya-tanya apakah apa yang ia takuti itu telah datang, dan mendadak kekosongan seakan menghantam di dadanya, di suatu kedalaman yang tak bisa ia raba.
(Keberadaan Kris seperti gelombang ombak yang tak sanggup diterjangnya dan akhirnya membasahinya. Bagaimana Kris datang tanpa ia punya pilihan untuk menolak kehadirannya, lalu disadarinya bahwa Kris telah meninggalkan bekas yang tak bisa ia sangkal; dan tak semudah itu menghapuskannya.)
Maka Tao merasa seakan limbung di antara mimpi dan kenyataan ketika suara Kris yang sangat dikenalnya memanggil namanya. Tao hanya berhutang terima kasih pada refleks tubuhnya yang berhasil membuatnya berpaling ke arah sumber suara itu, dan meski terdengar payah, membuatnya masih sanggup berkata-kata.
Tapi di atas semua itu, kehangatan kelegaan yang membuncah di dalam dadanya dan tak repot disembunyikannya seakan menjelma menjadi pegangannya untuk mengumpulkan kewarasan terhadap apa yang sesungguhnya terjadi, ketika Tao bangkit dan menyambut tangan besar Kris yang terulur; menghiraukan sekitar dan mengikuti langkah Kris.
Selama Kris membimbing langkahnya dan menggenggam tangannya, Tao hanya bersyukur karena Kris masih datang padanya, datang untuknya.
Setidaknya itu cukup.
Atap sekolah sepi sebagaimana seharusnya, dan warna putih tempat itu seakan lebih jelas karena sapuan matahari kala itu. Luas dan lengang, dan keduanya membuat tempat itu mendatangkan perasaan damai bagi Tao, dan Kris pun berhenti membimbing langkahnya di tengah-tengah areal tempat itu, seperti membiarkan keluasan dan kelengangan mengitari mereka.
Tao mengerjapkan matanya sekali, menatap Kris tanpa berkata-kata. Samar dia teringat pada perkataan Kris yang membuatnya berada di sini, dan seperti Kris saat itu, Tao juga mengernyit; meski ekspresinya bingung, tidak serius seperti Kris.
“Hyung, apa yang terjadi?”
Kris menghela nafas, melepaskan genggaman tangannya dari Tao dan tampak berpikir keras, namun tidak mengalihkan tatapan dari Tao. Tao sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk bisa menetralisir ekspresi Kris yang secara keseluruhan nampak tegang dalam keseriusan, jadi ia memutuskan untuk menunggu.
“Tao,” ucap Kris memulai, “pengamatanku terhadapmu telah sampai pada akhirnya.”
Dalam diam yang lama-kelamaan terasa menyesakkan, Tao merenungi perkataan Kris. Semua ini telah sampai pada akhirnya, semua telah selesai rupanya, dan itu berarti Kris sudah bisa mengakhiri interaksi di antara mereka karena alasan yang mendasarinya telah tak lagi ada. Untuk sesaat Tao pun bisa merasakan gelenyar sesuatu yang terasa sangat dingin dalam dirinya ketika ia sadar bahwa yang dikatakan Kris adalah tanda bahwa apa yang ditakutinya memang datang. Semua telah selesai, dan akhirnya tidak ada… tidak ada yang menyebutkan alasan lain agar segala interaksi antaranya dan Kris bisa terus berlangsung.
Semua selesai dan Tao hanya… tidak tahu, dan tidak berdaya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya atau dilakukannya meski seluruh dirinya tidak bisa membiarkannya terjadi dan berakhir, dan ia tak kuasa menyangkal semua ini karenanya.
Lebih dari itu, Tao tidak tahu bagaimana pandangan Kris tentang hal ini; dan tak ada yang bisa dilakukannya, kecuali menyusun semua kenyataan ini dan berusaha menjernihkan pikirannya. Tao tidak ingin memikirkan apa yang membuat pandangannya mengabur ketika kali berikutnya ia menatap Kris, berusaha melihat segala yang bisa dijangkaunya dan menerimanya dengan segenap kebesaran hatinya.
“Aku… aku senang mendengarnya. Berarti… kau sudah mencapai tujuanmu ‘kan, hyung?”
Perkataannya boleh dikatakan seperti kata-kata seorang pembohong besar, namun di satu sisi Tao tahu bahwa itu benar, bahwa jika apa yang dimaksudkan Kris untuk dicapai ternyata telah berhasil didapat, Tao akan ikut senang untuknya; seperti yang seharusnya.
“Ya, aku sudah menemukannya,” Kris menjawab lambat-lambat, entah kenapa tatapan seriusnya nampak mengeras ketika pemuda berhelai pirang-kecokelatan itu menatap matanya, “penilaianku tentangmu, aku sudah menemukannya. Dulu kau menanyakannya padaku, dan aku tidak menjawabnya dengan semestinya… tapi kini kukira aku sudah tahu.”
Tao menghindari tatapan Kris, menggigit bibir bawahnya dan lagi-lagi mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyingkirkan apa yang memburamkan pandangannya. Perkataan Kris yang selanjutnya, di luar dugaan, mengalahkan perasaan yang lain, ternyata terasa membingungkannya. Butuh beberapa saat untuknya bekerja keras mengingat-ngingat apa yang dimaksud Kris, tapi diperjelas dengan kata kunci “pengamatan” dan “penilaian”, Tao akhirnya bisa mengingat saat dahulu percakapannya dengan Kris di tembok rendah taman—yang entah kenapa juga sekaligus mendatangkan kembali apa yang dirasakannya waktu itu.
Di saat itu, terhadap keberadaan Kris ia berada di tengah-tengah ketakutan, tapi juga pengharapan, yang rupanya tidak berbeda jauh dengan apa yang dirasakannya saat ini.
(Tanpa benar-benar dimaksudkannya tiba-tiba saja Tao menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang berusaha membuat benak dan pandangannya yang mengabur terjaga; dalam hati dia memarahi diri sendiri karena lambatnya dirinya menerima apa yang sedang terjadi dan dikatakan padanya.)
Tapi itu memang benar. Tao memang takut, dan ketakutannya bukan hanya karena gagasan bahwa Kris barangkali akan menjauh darinya setelah semua ini berakhir, tapi juga karena Tao takut pada apa yang menjadi penilaian Kris atas dirinya kalau itu memang ingin diungkapkan oleh Kris; dia tidak yakin apakah ia bisa menerimanya dengan semestinya.
Hal yang ditakutkannya ternyata benar-benar datang dengan cara yang baginya tetap saja seperti “hanya begitu saja”, meski ia sempat memroyeksikan terjadinya tadi dalam kepalanya ketika melihat kekosongan bangku Kris, dan kini hal itu dinyatakan sendiri oleh Kris; Tao tidak tahu mana yang lebih buruk. Tapi kalau pertanyaannya adalah apa yang paling buruk, bagi Tao adalah mengalaminya terjadi tanpa bisa melakukan apapun yang berarti.
Kalau begitu mengapa Kris tidak langsung pergi saja, bukankah itu akan lebih cepat? Apa mau Kris dengan perkataannya soal pertanyaan-tak-terjawab itu, apakah Kris harus selalu bersikap seperti yang seharusnya, jadi dia harus menyatakan berakhirnya semua ini dengan merangkai kata-kata perpisahan yang konklusif? Tidakkah pikiran tajam-cemerlang Kris tidak mengindahkan fakta bahwa mungkin saja Tao tidak membutuhkan segala tetek-bengek itu, mungkin saja Tao tidak membutuhkan semua ini harus berakhir?
Ah, dia melupakan fakta bahwa Kris akan menjadi apa yang seharusnya, dan akan berbuat apa yang seharusnya. Sisanya, yang selain itu, hanyalah harapan Tao.
Selanjutnya adalah pengulangan yang sama saja ketika Tao hanya bisa menghidari tatapan Kris, menunduk dan terjepit antara takut melihat reaksinya dan tidak ingin Kris menyadari bahwa apa yang memburamkan pandangannya sedari tadi telah melesak keluar dari pelupuk matanya dan mulai menetes di pipinya.
Air matanya menetes dan Tao mendapati kehilangan-kontrolnya yang biasa ketika bagaimana setelah air mata menetes, ia akan mengikutkan isakan tertahan… menangis, begitu saja. Tao tahu bahwa pengamatan Kris yang awas, seperti biasa akan menyadarinya dan seharusnya jika keadaan masih seperti biasa, Kris akan mengusahakan cara efektif yang akan menghentikan air matanya.
Tapi entah untuk kali keberapa dalam hari ini, Tao tersadar pada kenyataannya; bahwa sekarang ini Kris barangkali sudah tidak bisa mengusahakan apapun untuk menghentikan air matanya, bahwa jika biasanya Kris akan menyetujui perkataannya, sekarang ini jelas baginya bahwa kemungkinan besar Kris tidak akan menyetujui pendapatnya jika seharusnya mereka tidak membiarkan semuanya berakhir, lebih tepatnya bahwa Tao tidak bisa membiarkannya, Tao ternyata tidak bisa berpisah dari Kris begitu saja seperti ini.
Mencerna kenyataan ini hanya membuat segalanya terasa menjadi berkali-lipat lebih berat, bisa saja Tao terjatuh karenanya.
“Aku tahu bahwa semua ini sudah seharusnya berakhir, hanya saja aku tidak bisa berpisah denganmu, hyung, itu saja.” Tao nyaris tercekat oleh kata-kata yang seakan pecah begitu saja; namun tidak mengusahakan apapun setelahnya untuk menariknya kembali.
Jika memang hanya bagi dirinya saja itu nyata, maka biarkanlah itu menjadi demikian baginya dengan mengatakannya dan mendengarnya dengan telinga dan hatinya sendiri. Setidaknya itu cukup.
Detik berikutnya, ia tertegun mengetahui bahwa dirinya betul-betul jatuh, menjatuhkan dirinya pada Kris, yang entah kenapa tidak menghindarinya.
Tao mendapati dirinya mengenali bagian atas bahu Kris yang menjadi tumpuan sebagian besar wajahnya sekarang, dan seperti anak kecil yang tidak tahu apa yang bisa dilakukannya setelah terkagetkan dan menangis, air matanya hanya menetes semakin deras dan secara instingtif Tao pun melingkarkan lengannya pada Kris, antara secara tak sadar meneruskan keinginannya untuk tidak melepaskan Kris, atau hanya membutuhkan pegangan untuk bisa melihat kenyataan dengan lebih baik.
Ia tidak bisa memutuskan benar-tidaknya segala hal yang terjadi, namun alih-alih mencemaskannya lebih lanjut, keheningan yang terjadi saat itu karena tidak ada satu pun dari mereka yang berkata-kata atau bergerak secara berarti justru secara ganjil disyukuri Tao karena paling tidak ia bisa tetap memeluk Kris seperti ini selama beberapa lama lagi. Biar seperti ini saja, meski sebentar lagi mungkin akhirnya akan datang.
Beberapa saat kemudian, meski sedikit kaku, tiba-tiba saja Kris bergerak mengikuti Tao dengan melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Tao; gerakannya terlalu berhati-hati, namun mengejutkan Tao karena setelahnya Kris juga menarik Tao bersandar semakin erat di tubuhnya.
“Bagiku, meniadakan dirimu dariku juga tidak bisa dilakukan; meski itu yang seharusnya terjadi—”
Dan reaksi verbal Tao yang paling sederhana untuk merespon yang terjadi pun terhenti ketika Kris mengatakannya. Satu detakan jantung, satu tarikan nafas, tubuh Tao terasa membeku dan lidahnya kelu. Satu pertanyaan terhenti di lidahnya.
Kalau begitu apakah kau akan pergi?
Tak ada yang berbicara lagi, dan Tao tidak ingin berpikir terlalu banyak di atas ketidaktahuan yang masih tersisa. Tao memejamkan matanya, berpegang pada kenyataan yang masih mengijinkannya berada dalam pelukan Kris.
“—aku tidak bisa.”
Tiba-tiba Tao merasakan sesuatu menetes di puncak kepalanya, dan pemuda itu bertanya-tanya apakah gerimis akan datang membawa hujan turun.
Mereka tetap tak bergeming selama beberapa lama setelahnya, seolah di antara mereka ada sesuatu yang akan segera pecah jika sedikit saja mereka bersuara ataupun bergerak. Tao sendiri masih memejamkan matanya erat-erat, merasakan panas tubuh Kris yang seolah ikut merasuk perlahan-lahan ke dalam dirinya, menghirup wangi yang memancar dari Kris yang seolah memisahkannya dari dunia di sekelilingnya.
Ia merasakan seluruh keberadaan Kris dalam setiap inderanya yang mampu menerimanya, sedekat ini; seolah mengukuhkan segala kenangan dan ingatannya yang sedikit demi sedikit terkumpul akan setiap kehadiran Kris dalam saat-saat sebelum ini terjadi. Kris yang datang dan berkata akan tinggal meski untuk waktu yang tak pernah terjaminkan, dan kini setelah waktunya datang rupanya justru Tao tak bisa semudah itu menerimanya.
Lebih tepatnya, Tao tak bisa.
“Hyung, tolong jangan pergi.” Tao berkata seperti sedang mengigau, suaranya tercekat dan ia membersit hidung dan mengusap matanya yang berlinangan air mata; sudah terlambat untuk memikirkan benar-tidaknya, sekali lagi, dalam segala keengganan dan ketakutannya yang ikut tumpah bersama air matanya.
Suatu tusukan lembut cahaya terang masih mampu dirasakannya dari balik kelopak matanya yang terpejam, dan Tao mengernyit meski sebenarnya rasanya hangat; bersamaan dengan gerakan samar dari hadapannya yang membuat kedua lengan Tao terjulur.
Tao membuka matanya, namun sosok Kris telah menghilang dari hadapannya.
Dalam lekagetan dan kebingungan, Tao terbelalak melihat kedua lengannya yang masih terulur menuju kekosongan, persis di mana sedari tadi sosok Kris berada. Air matanya masih bertahan mengalir ketika dengan nanar ia menatap kekosongan di hadapannya, pada jemarinya yang seolah meraba suatu jejak di udara kosong...
...tapi tidak mungkin itu semua hanya ilusi, ‘kan?
Tidak, Kris bukan ilusi, di antara kedua lengannya yang masih terjulur lemah Tao masih bisa merasakan sisa kehangatan dan wangi tubuh Kris yang seolah menjadi suatu kepadatan tertentu di udara meski semakin lama semakin menipis. Apa yang bisa menjelaskan semua ini?
“_Hyung...!_”
Berdiri gugup, kini kedua lengan bertautan satu sama lain seolah kedinginan, Tao menolehkan kepalanya menatap sekeliling, namun atap sekolah itu hanya memberinya kelengangan yang tak berubah, putih dan luas di sekitarnya dengan angin yang bertiup ke arah Tao.
Sekarang yang terlihat baginya adalah bagaimana Kris telah menghilang, meninggalkannya. Ternyata memang begitu saja.
Kelengangan dan kekosongan yang tertinggal itupun ikut merasuk dalam dirinya, dan di langit yang tanpa awan seolah tergambar proyeksi yang memerlihatkan diri Tao dalam suatu keadaan yang sempat terasa nyaris akrab untuknya; Tao yang sendirian.
“Apakah kita terlambat?”
Suara Yixing terdengar, seakan menggoyahkan kepadatan kelengangan atap, dan begitu juga suara pintu-atap yang dibukanya; ekspresi pemuda itu nampak tegang, di dekatnya seorang pemuda berhelai cokelat-madu mengikuti, hanya saja ekspresinya nampak khidmat.
Kepada keduanya, Tao menoleh, tidak terpikirkan kata-kata untuk menjawabnya meski ia bertanya-tanya mengapa mereka ada di situ. Untuk beberapa lama rasanya pikirannya bekerja sangat lambat, tapi akhirnya Tao teringat bahwa Kris dulu pindah bersama si pemuda berambut hitam yang baru datang itu, Yixing. Entah dengan pemuda yang mengikutinya.
“Aku Luhan,” mendadak si pemuda berhelai cokelat-madu menyahut seperti bisa menerka apa yang dipikirkan Tao, “kau teman Kris?” tanyanya lembut, dan suaranya terasa similar dengan hangatnya sinar matahari.
Seolah silau, Tao mengernyit; masih saja pikirannya terasa bekerja sangat lambat dan ia merasa seperti limbung dan tertangkap basah.
“Kris menghilang,” sahut Tao, menunduk dan tanpa sadar mengulurkan kedua lengannya, kemudian menengadah, menyadari langit di atas yang betul-betul cerah, yang membuatnya menyadari dugaannya sebelumnya akan gerimis yang turun di puncak kepalanya, ”ternyata bukan gerimis.” lanjutnya bukan kepada siapa-siapa, namun sepertinya baik Yixing dan Luhan mendengarnya, karena ekspresi mereka berubah serius dan keduanya pun kemudian saling bertatapan sejenak sebelum berjalan mendekati Tao hati-hati.
“Tao, itu bukan gerimis,” kata Luhan, “melainkan air mata.”
“Luhan, jadi yang hendak kau katakan...” perkataan Yixing terhenti, baik Tao mapun Luhan memerhatikannya, namun Tao mengernyit bingung dan merasakan air matanya mengetes lagi sementara Luhan nampak tenang, meski pemuda berhelai cokelat-madu itu sekilas kemudian menengadah menatap langit di atas mereka.
“Tao, kau menyebabkan Kris mengalami hal yang melampaui apa yang bisa akalnya terima, dan air matanya menetes sehingga itu menariknya dalam batas untuk kembali, atau tetap di sini,” Luhan menjelaskan dalam suara pelan, seolah menyela kebingungan Tao dan tahu benar apa yang sedang terjadi, dan Tao pun mendapati dia hanya bisa menatap dan mendengarkan pemuda asing itu, “jika ia masih menemukan ikatannya dan bertahan dengannya, maka di situlah dia akan tinggal.”
Kris, yang dikatakannya seperti gelombang yang menghempaskannya, keberadaannya tak diperkirakan Tao dan dengan begitu saja ia menyentuhnya lalu meninggalkan bekas. Kris yang begitu saja menjelma menjadi sesuatu yang tidak diinginkan Tao untuk pergi, dan kini setelah menyaksikan ketiadaannya, lalu mendengar tentang bagaimana kendali apa yang disebut “ikatan” ini ada untuk memengaruhi bagaimana seterusnya hal akan terjadi; Tao dapat merasakan harapannya lagi.
Lalu jika ia masih bisa menyatakan harapannya lagi—mungkinkah? Bolehkah?
“Apakah dia masih belum benar-benar pergi?” Tao bertanya, mengusap air matanya dan berusaha menegakkan tubuh, suaranya seperti biasa, terdengar agak bergetar. Pada titik itu, lagi-lagi kata “limbung” sepertinya kembali cocok untuk menggambarkan rasanya, kini setelah akalnya mencerna kata-kata Luhan, rasanya seolah dirinya yang tadi nyaris jatuh telah berhasil menemukan satu pegangan untuk diraih di saat-saat terakhir.
Dan apalagi yang bisa dilakukannya selain berharap pada pegangan itu?
Luhan menatapnya, dan tatapannya yang hangat dan berhati-hati nampak melunak menatap Tao, ”Kau harus menemukan jawabannya sendiri.”
Kembali lagi di tembok rendah yang ada di taman belakang; rumput-rumputnya mulai tumbuh agak liar dan cat putihnya mulai mengelupas, dan rasanya sisanya tidak penting untuk diceritakan. Instingnya menuntun harapannya, dan itulah yang akhirnya membawa pemuda berhelai hitam itu untuk melangkahkan kakinya, dengan terburu-buru kembali ke tempat ini. Tempat di mana ia tempo hari ia pernah menemukan dirinya bertanya-tanya, dan kini ia datang lagi untuk menemukan jawaban.
Karena di tempat inilah segalanya yang membentuk perasaannya sekarang bermula dalam suatu persetujuan, di sinilah ia berharap apapun “ikatan” yang disebut-sebut Luhan akan berhubungan.
Dan di sanalah, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Kris sedang duduk seperti menunggunya.
“Hyung!”
Dan Tao menghampirinya, melompat dalam pelukan yang juga telah menunggunya, kembali keduanya saling mendekap merasakan keberadaan yang satu dengan yang lain. Tanpa sadar air matanya menetes lagi, menumpahkan rasa lega dan bahagia.
Kris mengernyit sedikit mendapati aliran air mata yang menuruni pipi Tao, dan jemarinya yang panjang mengusapnya lembut untuk menghapusnya, ”Aku tidak bisa menerima kalau aku-lah yang menjadi sebabmu meneteskan air mata.”
“Bukan seperti itu, aku hanya sangat bahagia melihat hyung tidak pergi,” gumam Tao canggung, malu, “hyung seperti melengkapiku, tidak mungkin aku melepaskan hyung begitu saja, tahu.”
“Tentu saja aku tahu,” balas Kris, tersenyum melihat Tao yang tanpa disadari yang bersangkutan terlihat persis sekali dengan gambaran seorang anak kecil yang sedang “merajuk”, dan Kris masih saja sulit terbiasa pada apa yang berdesir dalam dirinya setiap kali itu terjadi, yang juga mengiringi suatu dorongan dalam dirinya yang kini diikutinya tanpa ragu.
Dengan lembut dikecupnya bibir Tao sembari tersenyum, “aku sangat memahami maksudmu, maka aku tidak akan pergi.”
Di tempat segalanya berawal dalam sebuah kesepakatan, kini mereka memulai segalanya kembali, tanpa ada satupun yang harus merasa takut ataupun keberatan untuk ditinggalkan ataupun berpisah.
Me that already fell in love with you no longer has a place to turn back. I already no longer have wings my eternal life has been snatched away. But I still feel the sole reason for happiness because right now my eternity is you.*
End.
(Epilog)
Luhan dan Yixing berdiri bersisian, dalam keheningan dan kekhidmatan mengamati Tao dan Kris dari suatu sudut tak-terlihat; beberapa hal yang mereka lihat tidak bisa benar-benar mereka pahami, namun agaknya mereka sama-sama setuju bahwa apapun yang terjadi nampaknya bukanlah sesuatu yang salah, dan mereka pun memutuskan untuk menghormati itu.
“Air mata telah mencabut sayap dan keabadiannya. Meski Kris bukan salah satu di antara kita lagi, namun sepertinya dia sudah menemukan di mana tempat yang tepat untuknya sekarang.” ujar Luhan, pandangan matanya seolah memerhatikan sesuatu yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Pandangan Yixing mengikutinya, dan beberapa saat kemudian pemuda berhelai hitam itu mengangguk seolah telah mengerti semuanya.
Kedua malaikat itu sudah tak memerlukan penjelasan.
“Selamat tinggal, Saudaraku. Kiranya itulah yang terbaik untukmu.” Yixing berkata, cahaya mulai melingkupinya dan Luhan sementara perlahan sepasang sayap nampak dalam selubung cahaya itu, dan kedua malaikat itu pun kemudian terbang kembali ke darimana mereka berasal, lenyap mengikuti cahaya.
“Hyung, lihat.”
Tangan Tao dan Kris saling menggenggam ketika mereka kemudian menengadah menatap pilar cahaya yang sedang nampak di langit. Kris tersenyum.
Selamat tinggal, Saudaraku. Terima kasih.
Author's Note: Akhirnya selesai juga ;; entahlah, semua racauan saya soal cerita ini kurang-lebihnya sudah saya katakan di Part 2 cerita ini, jadilah saya nggak tahu harus bilang apa lagi. Kalau sudah membaca sampai sini, terima kasih banyak! Mohon maaf atas segala kekurangan di cerita ini tapi semoga saja Anda bisa cukup menikmatinya^^
Anyway, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa untuk yang menjalankan. Kebetulan ini dipublish H-1 bulan Ramadhan menurut perhitungan pemerintah. Hehe.