Saut Parulian Manurung - Academia.edu (original) (raw)
Uploads
Papers by Saut Parulian Manurung
SAPIENTIA ET VIRTUS
Artikel ini mendiskusikan dan menganalisis konsekuensi dihapusnya ketentuan Pasal 59 Ayat (2) UU.... more Artikel ini mendiskusikan dan menganalisis konsekuensi dihapusnya ketentuan Pasal 59 Ayat (2) UU. No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitiannya yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hipotesis dari isu ini yaitu bahwa secara normatif DPR atau Presiden tidak lagi berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Artikel ini menganalisis situasi/nuansa regulasi sepanjang 2019-2020, yang setidaknya menghadirkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sangat kontroversial di kalangan masyarakat ataupun sejumlah kalangan akademisi bahkan sejumlah fraksi partai politik. Kesimpulannya yaitu masalah ini seharusnya tidak diperkeruh dengan dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) UU No. 7 Tahun 2020, walaupun secara teoritis, putusan Mahkamah Konstitusi disebut final and binding dan bercirikan Erga Omnes. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/...
Jurnal Ius Constituendum, 2021
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan pendapat pasca hadirnya putusan Mahkamah... more Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan pendapat pasca hadirnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang merupakan hasil uji konstitusional Pasal
15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Melihat banyaknya praktik eigenrichting terhadap
eksekusi jaminan fidusia, maka menjadi urgensi untuk memberikan ruang bagi pencari keadilan
dalam mempertahankan haknya dihadapan hukum. Artikel ini menggunakan pendekatan
conceptual dan statute approach. Hipotesis di awal pada artikel ini berpendapat bahwa: Pertama,
adanya keinginan Hakim Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019 bertujuan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum antara kreditur dan
debitur guna memprioritaskan keadilan dan kepastian hukum. Kedua, putusan a quo merupakan
bentuk keinginan Hakim Konstitusi untuk mereduksi praktik eigenrichting dalam eksekusi objek
jaminan fidusia. Dengan demikian, artikel ini menghadirkan kebaharuan konsep berpikir yang
mampu menganalisis sebuah putusan tidak hanya secara tekstual namun tidak terbatas pada
kandungan kaidah-kaidah hukum didalamnya. Artikel memberikan kesimpulan bahwa putusan a
quo bertujuan untuk memberikan ruang keadilan bagi kreditur dan debitur dalam penyelesaian
sengketa serta menghindari praktik eigenrichting. Analisis artikel ini pun berorientasi pada
keinginan untuk mencapai tujuan hukum sebagai saran untuk menertibkan perilaku masyarakat.
Kata kunci: Eigenrichting; Eksekusi Jaminan Fidusia; Putusan Mahkamah Konstitusi
Jurnal Hukum Magnum Opus Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2020
In this study aims to determine the legal phenomena that arise as a result of the criminal justic... more In this study aims to determine the legal phenomena that arise as a result of the criminal justice system, as a reflection of the development of criminal law both at the theoretical and practical level. The findings in this research are based on two approaches namely the statute approach as an approach based on the rule of law and the conceptual approach based on the conceptual approach. There are 3 (three) findings of legal phenomena in this study, namely: first, the presence of a double track system in the criminal mechanism in Indonesia. Secondly, there is a phenomenon of paradigm shifting the character of punishment in Indonesia and third, re-measuring restorative justice in the form of diversion mechanism based on the perspective of utilitarianism. In principle, crime is always closely related to criminal sanctions, but in the double track criminal system is directed at criminal actions. On the other hand, the phenomenon of paradigm shift in the character of punishment occurs in the juvenile justice system, namely the approach to criminal responsibility is done by bargaining an agreement between the perpetrators, victims and community involvement. Furthermore, measuring restorative justice based on a utility perspective, this finding found coherence between restorative justice in the form of diversion and utilitarianism. Therefore, the overall legal phenomena above are some manifestations of the legal reality that is present in the criminal system in Indonesia. Abstrak Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena-fenomena hukum yang timbul akibat dari sistem peradilan pidana, sebagai suatu refleksi atas perkembangan hukum pidana baik pada tataran teoritis maupun praktik. Penemuan dalam penelitian didasari dengan dua pendekatan yaitu statute approach sebagai suatu pendekatan berdasarkan peraturan undang-undang dan conceptual approach yang didasari dengan pendekatan koseptual. Terdapat 3 (tiga) temuan fenomena hukum dalam penelitian ini yaitu: pertama, hadirnya double track system dalam mekanisme pemidanaan di Indonesia. Kedua, adanya fenomena pergeseran paradigma karakter pemidanaan di Indonesia dan ketiga, menakar kembali keadilan restoratif dalam bentuk mekanisme diversi berdasarkan perspektif utilitarianisme. Pada prinsipnya kejahatan tindak pidana selalu erat hubungannya dengan pidana sanksi namun dalam double track system pemidanaan diarahkan pada pidana tindakan. Di sisi lain, fenomena pergeseran paradigma karakter pemidanaan terjadi pada sistem peradilan pidana anak, yaitu pendekatan pertanggungjawaban pidana dilakukkan dengan cara bargaining kesepakatan antara pelaku, korban dan keterlibatan masyarakat. Selanjutnya menakar keadilan restoratif berdasarkan perspektif utilitis, dalam temuan ini ditemukan koherensi antara keadilan restoratif dalam bentuk diversi dengan aliran utilitarianisme. Oleh karena itu, keseluruhan fenomena-fenomena hukum tersebut diatas merupakan beberapa wujud kenyataan hukum yang hadir di sistem pidana di Indonesia. Kata kunci: double track system, pergeseran paradigma pidana, utilitarianisme Pendahuluan Pada penelitian ini akan mengkaji terkait dengan fenomena hukum yang timbul akibat adanya mekanisme sistem peradilan pidana yang kompleks, yang pada prinsipnya di terapkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut Donald H.J Hermann fenomena merupakan sebuah upaya menjelaskan alur pikiran yang mewakili fenomena/kenyataan tersebut. 2 Sejak hadirnya Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat berbagai macam fenomena hukum yang kemudian muncul sebagai hasil dari sistem dan proses penerapan
Jurnal Magnum Opus Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2021
This article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional... more This article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional question at the Constitutional Court, and the possibility of its institutionalization at the Supreme Court. The method used is a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. This article takes the position of "agreeing" if the idea becomes the authority of the Constitutional Court. However, from a different perspective, this article also discusses the possibility of its institutionalization through the Supreme Court. Institutionalization of the constitutional question at the Constitutional Court can at least be carried out in three ways, namely, by amending the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, revising the Law on the Constitutional Court, and through Jurisprudence. On the other side, as a role model for practice and the regulation of a constitutional question mechanism, the Austrian and German states were taken as an example. While institutionalizing the idea at the Supreme Court, theoretically, this is very prospective when referring to comparative studies with the United States, because the US Supreme Court currently has the authority to examine the constitutionality of laws. The goal, if institutionalized in the Supreme Court, is for the Supreme Court to take part in realizing law and constitutional enforcement. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membahas pelembagaan gagasan persoalan konstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan kemungkinan pelembagaannya di Mahkamah Agung. Metode yang digunakan adalah pendekatan statutori, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Pasal ini mengambil posisi "menyetujui" jika gagasan tersebut menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sudut pandang yang berbeda, artikel ini juga membahas kemungkinan pelembagaannya melalui Mahkamah Agung. Pelembagaan soal konstitusional di Mahkamah Konstitusi setidaknya dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan amandemen UUD 1945, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan melalui yurisprudensi. Di sisi lain, sebagai panutan bagi praktik dan regulasi mekanisme persoalan konstitusional, negara Austria dan Jerman dijadikan contoh. Sementara melembagakan gagasan di MA, secara teoritis hal ini sangat prospektif jika mengacu pada studi banding dengan Amerika Serikat, karena MA saat ini memiliki kewenangan untuk memeriksa konstitusionalitas undang-undang. Tujuannya, jika dilembagakan di Mahkamah Agung, agar Mahkamah Agung turut serta mewujudkan penegakan hukum dan konstitusi.
University of Jember, 2019
In Indonesia, the Constitutional Court is the sole interpreter and guardian of the constitution, ... more In Indonesia, the Constitutional Court is the sole interpreter and guardian of the constitution, and the decision made by such a Court is expected to meet a sense of justice, utility, and legal certainty. This paper argues that there is a contradiction between decisions ruled by the Court resulted in the inconsistency against constitutional interpretations. Such inconsistency can refer to the decision of the Constitutional Court No. 072-073 / PUU-II/2004 declaring the Constitutional Court to have the power to decide disputes over the results of regional head elections. On the other hand, Decision No. 97/PUU-XI/2013 ruled this institution no longer to adjudicate disputes over the results of regional elections so that it revokes Article 236C of the revised Regional Government Act No. 12/2008. In doing so, this paper analyzes the impact of such contradictory decisions and how both decisions have effects on legal certainty over disputes of the regional head election. This paper concludes that the application of two different approaches caused such inconsistency: the first decision applied judicial activism and the latter considered judicial restraint.
SAPIENTIA ET VIRTUS
Artikel ini mendiskusikan dan menganalisis konsekuensi dihapusnya ketentuan Pasal 59 Ayat (2) UU.... more Artikel ini mendiskusikan dan menganalisis konsekuensi dihapusnya ketentuan Pasal 59 Ayat (2) UU. No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitiannya yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hipotesis dari isu ini yaitu bahwa secara normatif DPR atau Presiden tidak lagi berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Artikel ini menganalisis situasi/nuansa regulasi sepanjang 2019-2020, yang setidaknya menghadirkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sangat kontroversial di kalangan masyarakat ataupun sejumlah kalangan akademisi bahkan sejumlah fraksi partai politik. Kesimpulannya yaitu masalah ini seharusnya tidak diperkeruh dengan dihapusnya Pasal 59 Ayat (2) UU No. 7 Tahun 2020, walaupun secara teoritis, putusan Mahkamah Konstitusi disebut final and binding dan bercirikan Erga Omnes. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/...
Jurnal Ius Constituendum, 2021
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan pendapat pasca hadirnya putusan Mahkamah... more Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan pendapat pasca hadirnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang merupakan hasil uji konstitusional Pasal
15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Melihat banyaknya praktik eigenrichting terhadap
eksekusi jaminan fidusia, maka menjadi urgensi untuk memberikan ruang bagi pencari keadilan
dalam mempertahankan haknya dihadapan hukum. Artikel ini menggunakan pendekatan
conceptual dan statute approach. Hipotesis di awal pada artikel ini berpendapat bahwa: Pertama,
adanya keinginan Hakim Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019 bertujuan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum antara kreditur dan
debitur guna memprioritaskan keadilan dan kepastian hukum. Kedua, putusan a quo merupakan
bentuk keinginan Hakim Konstitusi untuk mereduksi praktik eigenrichting dalam eksekusi objek
jaminan fidusia. Dengan demikian, artikel ini menghadirkan kebaharuan konsep berpikir yang
mampu menganalisis sebuah putusan tidak hanya secara tekstual namun tidak terbatas pada
kandungan kaidah-kaidah hukum didalamnya. Artikel memberikan kesimpulan bahwa putusan a
quo bertujuan untuk memberikan ruang keadilan bagi kreditur dan debitur dalam penyelesaian
sengketa serta menghindari praktik eigenrichting. Analisis artikel ini pun berorientasi pada
keinginan untuk mencapai tujuan hukum sebagai saran untuk menertibkan perilaku masyarakat.
Kata kunci: Eigenrichting; Eksekusi Jaminan Fidusia; Putusan Mahkamah Konstitusi
Jurnal Hukum Magnum Opus Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2020
In this study aims to determine the legal phenomena that arise as a result of the criminal justic... more In this study aims to determine the legal phenomena that arise as a result of the criminal justice system, as a reflection of the development of criminal law both at the theoretical and practical level. The findings in this research are based on two approaches namely the statute approach as an approach based on the rule of law and the conceptual approach based on the conceptual approach. There are 3 (three) findings of legal phenomena in this study, namely: first, the presence of a double track system in the criminal mechanism in Indonesia. Secondly, there is a phenomenon of paradigm shifting the character of punishment in Indonesia and third, re-measuring restorative justice in the form of diversion mechanism based on the perspective of utilitarianism. In principle, crime is always closely related to criminal sanctions, but in the double track criminal system is directed at criminal actions. On the other hand, the phenomenon of paradigm shift in the character of punishment occurs in the juvenile justice system, namely the approach to criminal responsibility is done by bargaining an agreement between the perpetrators, victims and community involvement. Furthermore, measuring restorative justice based on a utility perspective, this finding found coherence between restorative justice in the form of diversion and utilitarianism. Therefore, the overall legal phenomena above are some manifestations of the legal reality that is present in the criminal system in Indonesia. Abstrak Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena-fenomena hukum yang timbul akibat dari sistem peradilan pidana, sebagai suatu refleksi atas perkembangan hukum pidana baik pada tataran teoritis maupun praktik. Penemuan dalam penelitian didasari dengan dua pendekatan yaitu statute approach sebagai suatu pendekatan berdasarkan peraturan undang-undang dan conceptual approach yang didasari dengan pendekatan koseptual. Terdapat 3 (tiga) temuan fenomena hukum dalam penelitian ini yaitu: pertama, hadirnya double track system dalam mekanisme pemidanaan di Indonesia. Kedua, adanya fenomena pergeseran paradigma karakter pemidanaan di Indonesia dan ketiga, menakar kembali keadilan restoratif dalam bentuk mekanisme diversi berdasarkan perspektif utilitarianisme. Pada prinsipnya kejahatan tindak pidana selalu erat hubungannya dengan pidana sanksi namun dalam double track system pemidanaan diarahkan pada pidana tindakan. Di sisi lain, fenomena pergeseran paradigma karakter pemidanaan terjadi pada sistem peradilan pidana anak, yaitu pendekatan pertanggungjawaban pidana dilakukkan dengan cara bargaining kesepakatan antara pelaku, korban dan keterlibatan masyarakat. Selanjutnya menakar keadilan restoratif berdasarkan perspektif utilitis, dalam temuan ini ditemukan koherensi antara keadilan restoratif dalam bentuk diversi dengan aliran utilitarianisme. Oleh karena itu, keseluruhan fenomena-fenomena hukum tersebut diatas merupakan beberapa wujud kenyataan hukum yang hadir di sistem pidana di Indonesia. Kata kunci: double track system, pergeseran paradigma pidana, utilitarianisme Pendahuluan Pada penelitian ini akan mengkaji terkait dengan fenomena hukum yang timbul akibat adanya mekanisme sistem peradilan pidana yang kompleks, yang pada prinsipnya di terapkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut Donald H.J Hermann fenomena merupakan sebuah upaya menjelaskan alur pikiran yang mewakili fenomena/kenyataan tersebut. 2 Sejak hadirnya Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat berbagai macam fenomena hukum yang kemudian muncul sebagai hasil dari sistem dan proses penerapan
Jurnal Magnum Opus Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2021
This article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional... more This article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional question at the Constitutional Court, and the possibility of its institutionalization at the Supreme Court. The method used is a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. This article takes the position of "agreeing" if the idea becomes the authority of the Constitutional Court. However, from a different perspective, this article also discusses the possibility of its institutionalization through the Supreme Court. Institutionalization of the constitutional question at the Constitutional Court can at least be carried out in three ways, namely, by amending the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, revising the Law on the Constitutional Court, and through Jurisprudence. On the other side, as a role model for practice and the regulation of a constitutional question mechanism, the Austrian and German states were taken as an example. While institutionalizing the idea at the Supreme Court, theoretically, this is very prospective when referring to comparative studies with the United States, because the US Supreme Court currently has the authority to examine the constitutionality of laws. The goal, if institutionalized in the Supreme Court, is for the Supreme Court to take part in realizing law and constitutional enforcement. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membahas pelembagaan gagasan persoalan konstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan kemungkinan pelembagaannya di Mahkamah Agung. Metode yang digunakan adalah pendekatan statutori, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Pasal ini mengambil posisi "menyetujui" jika gagasan tersebut menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sudut pandang yang berbeda, artikel ini juga membahas kemungkinan pelembagaannya melalui Mahkamah Agung. Pelembagaan soal konstitusional di Mahkamah Konstitusi setidaknya dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan amandemen UUD 1945, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan melalui yurisprudensi. Di sisi lain, sebagai panutan bagi praktik dan regulasi mekanisme persoalan konstitusional, negara Austria dan Jerman dijadikan contoh. Sementara melembagakan gagasan di MA, secara teoritis hal ini sangat prospektif jika mengacu pada studi banding dengan Amerika Serikat, karena MA saat ini memiliki kewenangan untuk memeriksa konstitusionalitas undang-undang. Tujuannya, jika dilembagakan di Mahkamah Agung, agar Mahkamah Agung turut serta mewujudkan penegakan hukum dan konstitusi.
University of Jember, 2019
In Indonesia, the Constitutional Court is the sole interpreter and guardian of the constitution, ... more In Indonesia, the Constitutional Court is the sole interpreter and guardian of the constitution, and the decision made by such a Court is expected to meet a sense of justice, utility, and legal certainty. This paper argues that there is a contradiction between decisions ruled by the Court resulted in the inconsistency against constitutional interpretations. Such inconsistency can refer to the decision of the Constitutional Court No. 072-073 / PUU-II/2004 declaring the Constitutional Court to have the power to decide disputes over the results of regional head elections. On the other hand, Decision No. 97/PUU-XI/2013 ruled this institution no longer to adjudicate disputes over the results of regional elections so that it revokes Article 236C of the revised Regional Government Act No. 12/2008. In doing so, this paper analyzes the impact of such contradictory decisions and how both decisions have effects on legal certainty over disputes of the regional head election. This paper concludes that the application of two different approaches caused such inconsistency: the first decision applied judicial activism and the latter considered judicial restraint.