Muhammad Abdul Aziz | Institut Ptiq Jakarta Indonesia (original) (raw)
Papers by Muhammad Abdul Aziz
Jawa Pos Article Opinion, 2023
Because we share our discoveries with global partners, your support does a world of good.
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 2024
The Islamic concept of wasatiyyah is reflected in the Qur'an, which refers to the Muslim communit... more The Islamic concept of wasatiyyah is reflected in the Qur'an, which refers to the Muslim community as a moderate people (ummatan wasatan). It means that a Muslim should be in the middle path in many aspects of life, which promotes benefits and avoids extremism. In doing so, education plays a significant role in promoting the concept of wasatiyyah. However, the concept itself has been neglected in the teaching and learning of Islamic higher education, which is an inseparable part of urban Muslim communities. This study is aimed to explore the implementation of the wasatiyyah course at Universitas Islam International Indonesia. The study was conducted qualitatively with a case study research design to investigate students' perspectives on the wasatiyyah course. A total of four participants with different backgrounds of study, cultures, and religions participated in this study. The data was collected through semistructured interviews and analyzed with the Miles and Huberman framework. Overall, the result of the study shows that the students perceive positively towards the course of wasatiyyah Islam. In addition, the study also demonstrates students' reflection on the practice of the concept of wasatiyyah in a plural context. Hence, it recommends reimagining the concept of wasatiyyah in Islamic universities by implementing the idea into the course subjects to promote tolerance and harmony within diversity.
Journal of Comparative Study of Religions, 2023
Tafsīr maqāsidī appears as a response to the phenomenon of partial understanding of the religious... more Tafsīr maqāsidī appears as a response to the phenomenon of partial understanding of the religious text. The mainstreaming of that exegesis is hence deemed an intellectual project aiming to translate the wasaṭiyyah into Islamic teachings. Yūsuf al-Qaraḍāwī, given his position as the main promotor of wasaṭiyyah and maqāṣid employment in religious understanding, is worth exploring. The article, therefore, aims to explore the dimension of wasaṭiyyah in al-Qaraḍāwī's thought of tafsīr maqāsidī with special reference to religious pluralism. The data of this qualitative research is mostly taken from the works of al-Qaraḍāwī while its analysis employs two methods; content and descriptive. The article concluded that wasaṭiyyah in Yūsuf al-Qaraḍāwī's thought of tafsīr maqasīdī lies in the balance between
International Journal of Ihya’ ‘Ulum al-Din, 2024
Abundant studies on Islamic art have been written, ranging from those based on the dimensions of ... more Abundant studies on Islamic art have been written, ranging from those based on the dimensions of universality, philosophy, and legal aspects. Yet, how it represents a sense of moderation, which can be found in Islamic semantic legal theory is something underdeveloped. The present research hence aims to reveal this aesthetic dimension examined in the context of Yūsuf al-Qaraḍāwī's jurisprudence for Muslim minorities (fiqh alaqalliyyāt). Apart from the descriptive analysis, this qualitative research will employ a content analysis method to figure out al-Qaraḍāwī's paradigm in Islamic art, moderation, and fiqh alaqalliyyāt inherent in his multiple works and interrelate to each other. This study concluded that the aesthetic moderation of the Islamic semantic legal theory lies in the four terms falling under the theory of meaning clarity (naẓariyyat al-wāḍiḥ al-dilālah), i.e., manifest (al-ẓāhir), explicit (al-naṣṣ), unequivocal (al-mufassar), and perspicuous (al-muḥkam). The terms produce beautiful meanings, moving gradually from particularity to universality and corresponding to characters of perfection (symmetrical) and elasticity (asymmetrical). In al-Qaraḍāwī's fiqh al-aqalliyyāt's issues like religious pluralism, greeting other religions' festivals, and democracy, the beauty crystallizes in a thesis that every Muslim must have perfect faith and, at the same time, elastic social association with people of other religions. These findings are expected not only to provide new avenues for the discourse of Muslim minorities but also of Islamic art and semantic law.
Friksi antara simpatisan Muhammadiyah dan NU, terutama di level masyarakat akar rumput, adalah ke... more Friksi antara simpatisan Muhammadiyah dan NU, terutama di level masyarakat akar rumput, adalah kenyataan yang diakui hampir oleh semua simpatisannya. Memang di dasawarsa terakhir ini, fenomena itu kian pudar. Namun, jika tidak disikapi dengan bijak, bukan mustahil ia justru menjadi bom waktu yang kapan saja ledakannya akan mengguncang ketentraman masyarakat. Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa hampir sebagian besar perbedaan pemikiran antara keduanya, di mana ia menjadi penyebab utama friksi di atas, adalah berada di tataran al-umur al-far'iyyah, alias permasalahan cabang, bukan permasalahan pokok (al-umur al-ushuliyyah). Padahal, model perbedaan semacam itu adalah hal wajar dan Rasulullah SAW sendiri sudah mengikrarkan keberadaannya; ikhtilafu ummati rahmah. Tulisan ini mencoba untuk memformulasikan bentuk sesungguhnya dari dua pemikiran organisasi agama terbesar di Indonesia tersebut. Dengan memahami beberapa bilik persamaan (wajhu alittifaq) dan perbedaan (wajhu al-ikhtilaf) pemikiran antara Majelis Tarjih yang dalam hal ini mewakili Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Masail yang masih anak struktural NU, maka diharapkan berkontribusi dalam menjaga eratnya tali kerukunan di antara umat Islam di Indonesia.
Kementerian Agama RI, 2023
uji syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat, serta taufik-Nya, sehingga penul... more uji syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat, serta taufik-Nya, sehingga penulisan buku dengan judul "Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer" dapat terselesaikan dengan baik dan berhasil diterbitkan dalam bentuk buku. Tentu saja, diperlukan kerja keras dan ketelitian yang tinggi untuk menghasilkan penelitian yang berubah menjadi buku, termasuk proses pengumpulan data, analisis, penulisan, dan penyuntingan. Kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis:
Proceeding of the 7th Annual Conference on MUI Fatwa Studies, 2023
Isu pluralisme agama, terutama dalam konteks pemahaman keselamatan bagi agama-agama, memang sudah... more Isu pluralisme agama, terutama dalam konteks pemahaman keselamatan bagi agama-agama, memang sudah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2005. Namun, ayat al-Baqarah 62 yang menjadi pangkal argumen baik dari MUI maupun mereka yang mendukung ide pluralisme agama tersebut tidak diberikan klarifikasi dalam fatwa tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian perdebatan tentang kandungan ayat tersebut hingga hari ini masih terus terjadi. Artikel ini berusaha untuk menjawab topik perdebatan ‘benarkah Islam satu-satunya jalan keselamatan?’ dengan memberikan penjabaran terhadap argumen fatwa dengan menarik benang relevansi antara isi keputusan MUI tersebut dengan pemikiran Yusuf al-Qaradlawi, salah satu tokoh maqasid al-shariah di era kontemporer ini. enelitian kualitatif ini menggunakan dua metode analisis; konten dan deskriptif. Yang pertama digunakan untuk mengidentifikasi pola pemikiran maqasid al-Qaradlawi serta merelasikannya dengan argument fatwa MUI untuk kemudian digunakan merespon isu pluralisme agama. Metode kedua lebih digunakan untuk menyederhanakan isi uraian dalam Hasil dan Pembahasan agar mudah difahami. Selaras dengan fatwa MUI, penelitian ini menyimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan. Keyakinan ini juga harus dilandasi sikap toleransi antarumat beragama. Dalam bingkai pemikiran al-Qaradlawi yang disimpulkan berbasis wasathiyyah, hal tersebut dibangun berdasarkan dua temuan; pertama, konsep keselamatan tersebut merepresentasikan keseimbangan antara maqasid al-aqidah yaitu pemurnian akidah (tawḥīd) dan maqasid al-khalq yang berporos pada kehidupan sebagai ujian (baliyyah). Kedua, konsep keselamatan tersebut juga manifestasi dari keseimbangan antara maqasid kulliyyat yang dalam hal ini berupa universalitas ajaran Islam dan nushush juz’iyyat yang berupa kesan adanya keselamatan agama-agama. Artinya, pemahaman tentang keselamatan agama-agama tersebut harus diletakkan dalam bingkai universalitas ajaran Islam. Ke depan, penjabaran seperti ini diharapkan menjadi pendorong MUI untuk melengkapi setiap fatwa yang diterbitkan dengan sebuah naskah akademik.
Media Indonesia, 2022
Written in Indonesian, the article explores the relationship between the five principles of the P... more Written in Indonesian, the article explores the relationship between the five principles of the Pancasila and the five essentials of the maqasid al-Shariah.
"Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial”, Proceeding of the Fifth International Islamic Conference on MUI Fatwa Studies, the Council of Indonesian Ulama , 2021
“Pilih mana; agama atau nyawa?” Inilah simpul pertanyaan yang merepresentasikan salah satu diskur... more “Pilih mana; agama atau nyawa?” Inilah simpul pertanyaan yang merepresentasikan salah satu diskurus utama di masa Pandemi Covid-19 sekarang ini; dialektika antara agama dan kemanusiaan. Lebih detail lagi, pertanyaan tersebut diajukan sesungguhnya untuk mempertanyakan keabsahan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) No 31 Tahun 2020 Butir B.4.b. tentang dibolehkannya mengganti shalat Jum’at dengan Dzuhur. Dalam perspektif sang penanya, jika tetap shalat Jum’at, meski dalam keadaan pandemi, berarti agama menjadi pilihan. Sementara jika memilih menggantinya dengan Dzuhur, maka ia lebih menyayangi nyawa sembari memarginalkan agamanya. Dengan menggunakan metode analitik-deskriptif, artikel ini berusaha untuk melihat sejauh mana pertanyaan tersebut sesuai dengan maqāṣid al-shari’ah, satu konsep universal yang secara eksklusif dimiliki oleh Islam namun secara inklusif diakui oleh, dan diperuntukkan bagi, umat sekalian alam – apapun jenis latar belakangnya. Penulis akhirnya berkesimpulan bahwa, pertama, pertanyaan tersebut bertentangan dengan konsep maqāṣid-masalih yang merupakan dua entitas tak terpisahkan dalam diskursus maqāṣid al-sharī‘ah. Kedua, pertanyaan yang cenderung demarkatif tersebut juga bertentangan dengan prinsip komprehensivitas (shumūliyyah) yang merupakan ciri utama maqāṣid al-sharī‘ah. Terhadap fatwa MUI, ketiga, Penulis menemukan celah yang merupakan salah satu sebab utama munculnya pertanyaan di atas. Celah tersebut adalah tidak disebutkannya secara jelas maqāṣid al-sharī‘ah sebagai bahan pertimbangan terutama sisi elastisitas dalam apa yang disebut sebagai Lima Penjagaan (al-uṣūl al-khamsah), yaitu penjagaan terhadap agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.
Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial. The Proceeding of the 6th Annual Conference on MUI Fatwa Studies, the Fatwa Commission of Indonesian Ulama Council (MUI), 2022
Redaksi 'perkawinan sejenis' memang tidak disebutkan secara verbatim (manṭūq) dalam dua fatwa Maj... more Redaksi 'perkawinan sejenis' memang tidak disebutkan secara verbatim (manṭūq) dalam dua fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merespon fenomena tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender); yaitu fatwa yang ditetapkan pada 11 Oktober 1997 tentang Kedudukan Waria (Wanita Pria) dan Fatwa No 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Namun, melalui pemahaman (mafhūm), dapat diketahui bahwa terutama fatwa yang kedua jelas melarang praktik perkawinan yang mulai populer tersebut. Hanya saja, argumen yang dikemukakan dalam fatwa tersebut tampak kurang komunikatif karena belum sepenuhnya mengartikulasikan topik perdebatan tentang kasus terkait yang sedang terjadi di masyarakat terutama yang dipantik oleh Mun'im Sirry. Padahal, jawaban atas topik tersebut sudah ada dalam dalil yang dikemukakan dalam fatwa tersebut. Karena itu, dengan pendekatan teleologis (maqāṣid al-sharī'ah), penelitian ini akan berusaha menjadikan fatwa tersebut lebih komunikatif melalui pengayaan terhadap topik yang dimaksud, yaitu, di antaranya, bentuk pelarangan (sighat al-tahrim) al-Quran terhadap perkawinan sejenis dan isu kemaslahatan di dalamnya. Data penelitian ini sepenuhnya diambil dari literatur kepustakaan. Adapun proses penganalisisannya menggunakan dua metode. Tekstual, untuk meneliti redaksi Fatwa MUI No 7 Tahun 2014 agar bisa ditentukan tingkat artikulasi fatwa antara sebagai naskah akademik dan naskah sosial dan juga ayat-ayat al-Quran berkenaan perkawinan sejenis. Serta kontekstual, yaitu dalam proses pengayaan argumentasi fatwa dengan mengacu pada fakta sosial dan konsep maqāṣid al-sharī'ah. Penelitian ini akhirnya menyimpulkan bahwa, agar lebih komunikatif, pertama, teks fatwa seharusnya mengurai
Building World Peace through Cultural Studies, Proceeding of the 4th Adab-International Conference on Information and Cultural Science, the State Islamic University of Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia, 2022
Among the aspects that have not been widely discussed regarding Fazlur Rahman's theory of double ... more Among the aspects that have not been widely discussed regarding Fazlur Rahman's theory of double movement is its relation to qiyās. This is imperative because if the pattern of dual motion that he proposes completely resembles the dual motion of qiyās, from far' to original and from origin to far', why then the legal products produced become different? Therefore, this study will elaborate the comparison between the theory of double movement and qiyās and then examine it through polygamy as a case study. The data of this research is fully library-based. Historical analysis is used to understand Fazlur Rahman's historical pattern of thought and content analysis to understand the theory of double movement and qiyās as described in the books of Rahman and other scholars. This study concluded that, first, the emergence of double movement theory was influenced by the hermeneutic method as a tool in the process of contextualizing Islamic teachings. Second, the similarities between the two theories lie in the definition (ta'rīf), component (arkān), and cause (''illah). The difference lies in the characters of 'illah where those of double movement which he called macro are wider and more comprehensive. If the far' in qiyās is a new case, then the far' in double movement is the original itself. Third, Rahman stated that polygamy is basically not allowed. Meanwhile, according to qiyās, polygamy is basically permissible but it should not be done (mubah-khilaf awla).
Sekretariat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sep 1, 2021
Mawa'izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemasyarakatan, 2021
Among the consequences of the Covid-19 pandemic is the potential occurrence of the so-called lost... more Among the consequences of the Covid-19 pandemic is the potential occurrence of the so-called lost generation chiefly at the age of children. This phenomenon is marked by a certain generation's loss of direction in life, including the process of acquiring knowledge and applying it in the way of thinking and daily behaviors. With a descriptive-explanatory method, the present study seeks to reveal a correspondence between the flexibility of the Indonesian Government's measures in averting lost generation and the principle of elasticity inherent in the concept of maqāṣid al-sharī'ah. First, to reduce the spread of the disease and its death toll, the Government has restricted access to, and even prohibited the gathering of congregations in, mosques. This research concluded that in this emergent circumstance applies the elasticity of the al-ḍarūriyyāt al-khams with ḥifẓ al-nafs taking precedence over ḥifẓ al-dīn. Second, given the relatively low ratio of the Covid-19 cases mainly in children, the Government has called for a "Back to School" (face-to-face learning method) campaign. This policy proved corresponding to the prioritization of hifz al-'aql over ḥifẓ al-nafs and ḥifẓ al-dīn. Third, the Government's decision to use Covid-19 vaccines amid public questions about the permissibility of the vaccine is also in accordance with the prioritization of ḥifẓ al-nasl over al-dīn, al-nafs, and al-'aql. Based on the misunderstanding amid the Muslim ummah, the author also elastically recommended a further observation on the appropriateness of the nomenclature of "religion" among the other four protections of the alḍarūriyyāt al-khams. In a nutshel, normally, ḥifẓ al-dīn remains the top priority; however, in case of emergency, it can elastically swap places with the other four protections. It is in terms of this flexibility that lies the superiority and compassion (raḥmah) of Islamic law with maqāṣid alsharī'ah serving as one of its central points.
Jawa Pos Article Opinion, 2023
Because we share our discoveries with global partners, your support does a world of good.
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 2024
The Islamic concept of wasatiyyah is reflected in the Qur'an, which refers to the Muslim communit... more The Islamic concept of wasatiyyah is reflected in the Qur'an, which refers to the Muslim community as a moderate people (ummatan wasatan). It means that a Muslim should be in the middle path in many aspects of life, which promotes benefits and avoids extremism. In doing so, education plays a significant role in promoting the concept of wasatiyyah. However, the concept itself has been neglected in the teaching and learning of Islamic higher education, which is an inseparable part of urban Muslim communities. This study is aimed to explore the implementation of the wasatiyyah course at Universitas Islam International Indonesia. The study was conducted qualitatively with a case study research design to investigate students' perspectives on the wasatiyyah course. A total of four participants with different backgrounds of study, cultures, and religions participated in this study. The data was collected through semistructured interviews and analyzed with the Miles and Huberman framework. Overall, the result of the study shows that the students perceive positively towards the course of wasatiyyah Islam. In addition, the study also demonstrates students' reflection on the practice of the concept of wasatiyyah in a plural context. Hence, it recommends reimagining the concept of wasatiyyah in Islamic universities by implementing the idea into the course subjects to promote tolerance and harmony within diversity.
Journal of Comparative Study of Religions, 2023
Tafsīr maqāsidī appears as a response to the phenomenon of partial understanding of the religious... more Tafsīr maqāsidī appears as a response to the phenomenon of partial understanding of the religious text. The mainstreaming of that exegesis is hence deemed an intellectual project aiming to translate the wasaṭiyyah into Islamic teachings. Yūsuf al-Qaraḍāwī, given his position as the main promotor of wasaṭiyyah and maqāṣid employment in religious understanding, is worth exploring. The article, therefore, aims to explore the dimension of wasaṭiyyah in al-Qaraḍāwī's thought of tafsīr maqāsidī with special reference to religious pluralism. The data of this qualitative research is mostly taken from the works of al-Qaraḍāwī while its analysis employs two methods; content and descriptive. The article concluded that wasaṭiyyah in Yūsuf al-Qaraḍāwī's thought of tafsīr maqasīdī lies in the balance between
International Journal of Ihya’ ‘Ulum al-Din, 2024
Abundant studies on Islamic art have been written, ranging from those based on the dimensions of ... more Abundant studies on Islamic art have been written, ranging from those based on the dimensions of universality, philosophy, and legal aspects. Yet, how it represents a sense of moderation, which can be found in Islamic semantic legal theory is something underdeveloped. The present research hence aims to reveal this aesthetic dimension examined in the context of Yūsuf al-Qaraḍāwī's jurisprudence for Muslim minorities (fiqh alaqalliyyāt). Apart from the descriptive analysis, this qualitative research will employ a content analysis method to figure out al-Qaraḍāwī's paradigm in Islamic art, moderation, and fiqh alaqalliyyāt inherent in his multiple works and interrelate to each other. This study concluded that the aesthetic moderation of the Islamic semantic legal theory lies in the four terms falling under the theory of meaning clarity (naẓariyyat al-wāḍiḥ al-dilālah), i.e., manifest (al-ẓāhir), explicit (al-naṣṣ), unequivocal (al-mufassar), and perspicuous (al-muḥkam). The terms produce beautiful meanings, moving gradually from particularity to universality and corresponding to characters of perfection (symmetrical) and elasticity (asymmetrical). In al-Qaraḍāwī's fiqh al-aqalliyyāt's issues like religious pluralism, greeting other religions' festivals, and democracy, the beauty crystallizes in a thesis that every Muslim must have perfect faith and, at the same time, elastic social association with people of other religions. These findings are expected not only to provide new avenues for the discourse of Muslim minorities but also of Islamic art and semantic law.
Friksi antara simpatisan Muhammadiyah dan NU, terutama di level masyarakat akar rumput, adalah ke... more Friksi antara simpatisan Muhammadiyah dan NU, terutama di level masyarakat akar rumput, adalah kenyataan yang diakui hampir oleh semua simpatisannya. Memang di dasawarsa terakhir ini, fenomena itu kian pudar. Namun, jika tidak disikapi dengan bijak, bukan mustahil ia justru menjadi bom waktu yang kapan saja ledakannya akan mengguncang ketentraman masyarakat. Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa hampir sebagian besar perbedaan pemikiran antara keduanya, di mana ia menjadi penyebab utama friksi di atas, adalah berada di tataran al-umur al-far'iyyah, alias permasalahan cabang, bukan permasalahan pokok (al-umur al-ushuliyyah). Padahal, model perbedaan semacam itu adalah hal wajar dan Rasulullah SAW sendiri sudah mengikrarkan keberadaannya; ikhtilafu ummati rahmah. Tulisan ini mencoba untuk memformulasikan bentuk sesungguhnya dari dua pemikiran organisasi agama terbesar di Indonesia tersebut. Dengan memahami beberapa bilik persamaan (wajhu alittifaq) dan perbedaan (wajhu al-ikhtilaf) pemikiran antara Majelis Tarjih yang dalam hal ini mewakili Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Masail yang masih anak struktural NU, maka diharapkan berkontribusi dalam menjaga eratnya tali kerukunan di antara umat Islam di Indonesia.
Kementerian Agama RI, 2023
uji syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat, serta taufik-Nya, sehingga penul... more uji syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat, serta taufik-Nya, sehingga penulisan buku dengan judul "Moderasi Beragama di Tengah Isu Kontemporer" dapat terselesaikan dengan baik dan berhasil diterbitkan dalam bentuk buku. Tentu saja, diperlukan kerja keras dan ketelitian yang tinggi untuk menghasilkan penelitian yang berubah menjadi buku, termasuk proses pengumpulan data, analisis, penulisan, dan penyuntingan. Kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis:
Proceeding of the 7th Annual Conference on MUI Fatwa Studies, 2023
Isu pluralisme agama, terutama dalam konteks pemahaman keselamatan bagi agama-agama, memang sudah... more Isu pluralisme agama, terutama dalam konteks pemahaman keselamatan bagi agama-agama, memang sudah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2005. Namun, ayat al-Baqarah 62 yang menjadi pangkal argumen baik dari MUI maupun mereka yang mendukung ide pluralisme agama tersebut tidak diberikan klarifikasi dalam fatwa tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian perdebatan tentang kandungan ayat tersebut hingga hari ini masih terus terjadi. Artikel ini berusaha untuk menjawab topik perdebatan ‘benarkah Islam satu-satunya jalan keselamatan?’ dengan memberikan penjabaran terhadap argumen fatwa dengan menarik benang relevansi antara isi keputusan MUI tersebut dengan pemikiran Yusuf al-Qaradlawi, salah satu tokoh maqasid al-shariah di era kontemporer ini. enelitian kualitatif ini menggunakan dua metode analisis; konten dan deskriptif. Yang pertama digunakan untuk mengidentifikasi pola pemikiran maqasid al-Qaradlawi serta merelasikannya dengan argument fatwa MUI untuk kemudian digunakan merespon isu pluralisme agama. Metode kedua lebih digunakan untuk menyederhanakan isi uraian dalam Hasil dan Pembahasan agar mudah difahami. Selaras dengan fatwa MUI, penelitian ini menyimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan. Keyakinan ini juga harus dilandasi sikap toleransi antarumat beragama. Dalam bingkai pemikiran al-Qaradlawi yang disimpulkan berbasis wasathiyyah, hal tersebut dibangun berdasarkan dua temuan; pertama, konsep keselamatan tersebut merepresentasikan keseimbangan antara maqasid al-aqidah yaitu pemurnian akidah (tawḥīd) dan maqasid al-khalq yang berporos pada kehidupan sebagai ujian (baliyyah). Kedua, konsep keselamatan tersebut juga manifestasi dari keseimbangan antara maqasid kulliyyat yang dalam hal ini berupa universalitas ajaran Islam dan nushush juz’iyyat yang berupa kesan adanya keselamatan agama-agama. Artinya, pemahaman tentang keselamatan agama-agama tersebut harus diletakkan dalam bingkai universalitas ajaran Islam. Ke depan, penjabaran seperti ini diharapkan menjadi pendorong MUI untuk melengkapi setiap fatwa yang diterbitkan dengan sebuah naskah akademik.
Media Indonesia, 2022
Written in Indonesian, the article explores the relationship between the five principles of the P... more Written in Indonesian, the article explores the relationship between the five principles of the Pancasila and the five essentials of the maqasid al-Shariah.
"Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial”, Proceeding of the Fifth International Islamic Conference on MUI Fatwa Studies, the Council of Indonesian Ulama , 2021
“Pilih mana; agama atau nyawa?” Inilah simpul pertanyaan yang merepresentasikan salah satu diskur... more “Pilih mana; agama atau nyawa?” Inilah simpul pertanyaan yang merepresentasikan salah satu diskurus utama di masa Pandemi Covid-19 sekarang ini; dialektika antara agama dan kemanusiaan. Lebih detail lagi, pertanyaan tersebut diajukan sesungguhnya untuk mempertanyakan keabsahan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) No 31 Tahun 2020 Butir B.4.b. tentang dibolehkannya mengganti shalat Jum’at dengan Dzuhur. Dalam perspektif sang penanya, jika tetap shalat Jum’at, meski dalam keadaan pandemi, berarti agama menjadi pilihan. Sementara jika memilih menggantinya dengan Dzuhur, maka ia lebih menyayangi nyawa sembari memarginalkan agamanya. Dengan menggunakan metode analitik-deskriptif, artikel ini berusaha untuk melihat sejauh mana pertanyaan tersebut sesuai dengan maqāṣid al-shari’ah, satu konsep universal yang secara eksklusif dimiliki oleh Islam namun secara inklusif diakui oleh, dan diperuntukkan bagi, umat sekalian alam – apapun jenis latar belakangnya. Penulis akhirnya berkesimpulan bahwa, pertama, pertanyaan tersebut bertentangan dengan konsep maqāṣid-masalih yang merupakan dua entitas tak terpisahkan dalam diskursus maqāṣid al-sharī‘ah. Kedua, pertanyaan yang cenderung demarkatif tersebut juga bertentangan dengan prinsip komprehensivitas (shumūliyyah) yang merupakan ciri utama maqāṣid al-sharī‘ah. Terhadap fatwa MUI, ketiga, Penulis menemukan celah yang merupakan salah satu sebab utama munculnya pertanyaan di atas. Celah tersebut adalah tidak disebutkannya secara jelas maqāṣid al-sharī‘ah sebagai bahan pertimbangan terutama sisi elastisitas dalam apa yang disebut sebagai Lima Penjagaan (al-uṣūl al-khamsah), yaitu penjagaan terhadap agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.
Peran Fatwa MUI dalam Perubahan Sosial. The Proceeding of the 6th Annual Conference on MUI Fatwa Studies, the Fatwa Commission of Indonesian Ulama Council (MUI), 2022
Redaksi 'perkawinan sejenis' memang tidak disebutkan secara verbatim (manṭūq) dalam dua fatwa Maj... more Redaksi 'perkawinan sejenis' memang tidak disebutkan secara verbatim (manṭūq) dalam dua fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merespon fenomena tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender); yaitu fatwa yang ditetapkan pada 11 Oktober 1997 tentang Kedudukan Waria (Wanita Pria) dan Fatwa No 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Namun, melalui pemahaman (mafhūm), dapat diketahui bahwa terutama fatwa yang kedua jelas melarang praktik perkawinan yang mulai populer tersebut. Hanya saja, argumen yang dikemukakan dalam fatwa tersebut tampak kurang komunikatif karena belum sepenuhnya mengartikulasikan topik perdebatan tentang kasus terkait yang sedang terjadi di masyarakat terutama yang dipantik oleh Mun'im Sirry. Padahal, jawaban atas topik tersebut sudah ada dalam dalil yang dikemukakan dalam fatwa tersebut. Karena itu, dengan pendekatan teleologis (maqāṣid al-sharī'ah), penelitian ini akan berusaha menjadikan fatwa tersebut lebih komunikatif melalui pengayaan terhadap topik yang dimaksud, yaitu, di antaranya, bentuk pelarangan (sighat al-tahrim) al-Quran terhadap perkawinan sejenis dan isu kemaslahatan di dalamnya. Data penelitian ini sepenuhnya diambil dari literatur kepustakaan. Adapun proses penganalisisannya menggunakan dua metode. Tekstual, untuk meneliti redaksi Fatwa MUI No 7 Tahun 2014 agar bisa ditentukan tingkat artikulasi fatwa antara sebagai naskah akademik dan naskah sosial dan juga ayat-ayat al-Quran berkenaan perkawinan sejenis. Serta kontekstual, yaitu dalam proses pengayaan argumentasi fatwa dengan mengacu pada fakta sosial dan konsep maqāṣid al-sharī'ah. Penelitian ini akhirnya menyimpulkan bahwa, agar lebih komunikatif, pertama, teks fatwa seharusnya mengurai
Building World Peace through Cultural Studies, Proceeding of the 4th Adab-International Conference on Information and Cultural Science, the State Islamic University of Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia, 2022
Among the aspects that have not been widely discussed regarding Fazlur Rahman's theory of double ... more Among the aspects that have not been widely discussed regarding Fazlur Rahman's theory of double movement is its relation to qiyās. This is imperative because if the pattern of dual motion that he proposes completely resembles the dual motion of qiyās, from far' to original and from origin to far', why then the legal products produced become different? Therefore, this study will elaborate the comparison between the theory of double movement and qiyās and then examine it through polygamy as a case study. The data of this research is fully library-based. Historical analysis is used to understand Fazlur Rahman's historical pattern of thought and content analysis to understand the theory of double movement and qiyās as described in the books of Rahman and other scholars. This study concluded that, first, the emergence of double movement theory was influenced by the hermeneutic method as a tool in the process of contextualizing Islamic teachings. Second, the similarities between the two theories lie in the definition (ta'rīf), component (arkān), and cause (''illah). The difference lies in the characters of 'illah where those of double movement which he called macro are wider and more comprehensive. If the far' in qiyās is a new case, then the far' in double movement is the original itself. Third, Rahman stated that polygamy is basically not allowed. Meanwhile, according to qiyās, polygamy is basically permissible but it should not be done (mubah-khilaf awla).
Sekretariat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sep 1, 2021
Mawa'izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemasyarakatan, 2021
Among the consequences of the Covid-19 pandemic is the potential occurrence of the so-called lost... more Among the consequences of the Covid-19 pandemic is the potential occurrence of the so-called lost generation chiefly at the age of children. This phenomenon is marked by a certain generation's loss of direction in life, including the process of acquiring knowledge and applying it in the way of thinking and daily behaviors. With a descriptive-explanatory method, the present study seeks to reveal a correspondence between the flexibility of the Indonesian Government's measures in averting lost generation and the principle of elasticity inherent in the concept of maqāṣid al-sharī'ah. First, to reduce the spread of the disease and its death toll, the Government has restricted access to, and even prohibited the gathering of congregations in, mosques. This research concluded that in this emergent circumstance applies the elasticity of the al-ḍarūriyyāt al-khams with ḥifẓ al-nafs taking precedence over ḥifẓ al-dīn. Second, given the relatively low ratio of the Covid-19 cases mainly in children, the Government has called for a "Back to School" (face-to-face learning method) campaign. This policy proved corresponding to the prioritization of hifz al-'aql over ḥifẓ al-nafs and ḥifẓ al-dīn. Third, the Government's decision to use Covid-19 vaccines amid public questions about the permissibility of the vaccine is also in accordance with the prioritization of ḥifẓ al-nasl over al-dīn, al-nafs, and al-'aql. Based on the misunderstanding amid the Muslim ummah, the author also elastically recommended a further observation on the appropriateness of the nomenclature of "religion" among the other four protections of the alḍarūriyyāt al-khams. In a nutshel, normally, ḥifẓ al-dīn remains the top priority; however, in case of emergency, it can elastically swap places with the other four protections. It is in terms of this flexibility that lies the superiority and compassion (raḥmah) of Islamic law with maqāṣid alsharī'ah serving as one of its central points.