Takdir Ali Mukti | Muhammadiyah University of Yogyakarta (original) (raw)
Uploads
Papers by Takdir Ali Mukti
Kerjasama Luar Negeri Paradiplomasi Transnasional
Understanding world history will lead to understand world life today. World politics or internati... more Understanding world history will lead to understand world life today. World politics or international relations experiences many periodical momentums along the centuries, from barbarian to institutionalized system in Westphalia Treaty, with a lot of historical facts such as colonialism, world wars and cold war. The further period is from Westphalian system to post Westphalian system, where international societies have changed dramatically. This article will explore the new world system nowadays, and the responds of local actors in transnational relations.
Tinjauan Yuridis dan Teoritis Kerjasama Luar Negeri
Secara historis, sebelum diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan melakukan kerjasama i... more Secara historis, sebelum diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan melakukan kerjasama internasional telah dimulai sejak diberlakukannya UU tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 atau yang lebih dikenal sebagai UU otonomi daerah. Dalam konteks UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan mengadakan kerjasama luar negeri ini masuk dalam kategori kewenangan Tidak Wajib bagi Daerah. Pasal 88, ayat (1) memaklumkan hal ini, sebagai berikut : Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (yaitu Politik Luar Negeri). 1 Dalam UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan daerah otonom untuk melakukan kerjasama luar negeri ini tetap berlaku sebagaimana terdapat dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/provice, Pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal & kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2 Ada kenyataan bahwa para birokrat di pemda provinsi, kabupaten dan kota yang sebelumnya nyaris tidak pernah bersentuhan dengan hubungan antar bangsa, jelas akan mengalami banyak masalah baik yang berkaitan dengan skill maupun 1 1 pengalaman praktis berhubungan dengan pihak asing. Padahal, dalam pelaksanaan kewenangan hubungan internasional itu diperlukan kemampuan yang cukup untuk menjalin relasi dan negosiasi, termasuk di dalamnya penguasaan atas hukum dan kode etik hubungan antar bangsa. Kerjasama luar negeri oleh daerah otonom jika dilihat dari sudut pandang studi hubungan internacional, secara teoritis, merupakan hubungan yang tidak lagi bersifat state-centris di mana aktor-aktor non-pemerintah dapat secara leluasa mem-by pass hubungan dengan tanpa melibatkan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sistem hukum yang berlaku di NKRI dengan hukum yang berlaku di negara asing yang akan bekerjasama, dimana beberapa gubernur/walikota dari negara asing dapat langsung membuat/menandatangani kerjasama internasional tanpa 'full power' dari pemerintah pusatnya (contoh Propinsi Geongsangbuk-Do dan Chungnam-Do di Korea Selatan, Provinsi/Kota-kota di Cekoslovakia, serta Negara Bagian California, USA). Dalam hubungan yang 'non-state centris' ini, aktor-aktor dapat berwujud
Books by Takdir Ali Mukti
Indonesia is a nation of diversity. Thus various traditions, cultures, religions, beliefs, ethnic... more Indonesia is a nation of diversity. Thus various traditions, cultures, religions, beliefs, ethnics, tribes and languages were united when the Republic was founded. Based on those facts, Indonesia’s founding fathers showed strong efforts in uniting the existing diversity and political currents under the national concensus ‘Bhinneka Tunggal Ika’, Hindu-Sankrit words meaning unity in diversity, and The Pancasila, five national basic principles. Consequently national law, mechanism of governance and political considerations followed the concept of Indonesia as a secular nation-state. It means that Indonesia also respects to the international law, human rights, and democracy, such as freedom of association and press, as well as the idea of individual human rights. From a perspective of human rights, the legitimacy of self determination for each human includes the aspect of sexual orientation and living in partnerships. Factually, people who perform their ‘coming out’ and those who advocate understanding or empathy on lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) issues, so far experience little support, yet often harsh negative reactions, pressure, and harassment particularly from traditionalistic and religious communities that see a diversification of forms of partnership and sexual orientation as un-Indonesian or sinful. This article will show the emerging of LGBT movement and religious-society reactions relating to the government policies. (This is a Book Chapter of 'Diversity Concept, Diversity Politics' by Christoph Behrens (Ed.), Publish by Verlag DR. Kovac, Hamburg Germany 2016)
Kerjasama Luar Negeri Paradiplomasi Transnasional
Understanding world history will lead to understand world life today. World politics or internati... more Understanding world history will lead to understand world life today. World politics or international relations experiences many periodical momentums along the centuries, from barbarian to institutionalized system in Westphalia Treaty, with a lot of historical facts such as colonialism, world wars and cold war. The further period is from Westphalian system to post Westphalian system, where international societies have changed dramatically. This article will explore the new world system nowadays, and the responds of local actors in transnational relations.
Tinjauan Yuridis dan Teoritis Kerjasama Luar Negeri
Secara historis, sebelum diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan melakukan kerjasama i... more Secara historis, sebelum diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan melakukan kerjasama internasional telah dimulai sejak diberlakukannya UU tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 atau yang lebih dikenal sebagai UU otonomi daerah. Dalam konteks UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan mengadakan kerjasama luar negeri ini masuk dalam kategori kewenangan Tidak Wajib bagi Daerah. Pasal 88, ayat (1) memaklumkan hal ini, sebagai berikut : Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (yaitu Politik Luar Negeri). 1 Dalam UU Nomor 32 tahun 2004, kewenangan daerah otonom untuk melakukan kerjasama luar negeri ini tetap berlaku sebagaimana terdapat dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/provice, Pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal & kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2 Ada kenyataan bahwa para birokrat di pemda provinsi, kabupaten dan kota yang sebelumnya nyaris tidak pernah bersentuhan dengan hubungan antar bangsa, jelas akan mengalami banyak masalah baik yang berkaitan dengan skill maupun 1 1 pengalaman praktis berhubungan dengan pihak asing. Padahal, dalam pelaksanaan kewenangan hubungan internasional itu diperlukan kemampuan yang cukup untuk menjalin relasi dan negosiasi, termasuk di dalamnya penguasaan atas hukum dan kode etik hubungan antar bangsa. Kerjasama luar negeri oleh daerah otonom jika dilihat dari sudut pandang studi hubungan internacional, secara teoritis, merupakan hubungan yang tidak lagi bersifat state-centris di mana aktor-aktor non-pemerintah dapat secara leluasa mem-by pass hubungan dengan tanpa melibatkan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sistem hukum yang berlaku di NKRI dengan hukum yang berlaku di negara asing yang akan bekerjasama, dimana beberapa gubernur/walikota dari negara asing dapat langsung membuat/menandatangani kerjasama internasional tanpa 'full power' dari pemerintah pusatnya (contoh Propinsi Geongsangbuk-Do dan Chungnam-Do di Korea Selatan, Provinsi/Kota-kota di Cekoslovakia, serta Negara Bagian California, USA). Dalam hubungan yang 'non-state centris' ini, aktor-aktor dapat berwujud
Indonesia is a nation of diversity. Thus various traditions, cultures, religions, beliefs, ethnic... more Indonesia is a nation of diversity. Thus various traditions, cultures, religions, beliefs, ethnics, tribes and languages were united when the Republic was founded. Based on those facts, Indonesia’s founding fathers showed strong efforts in uniting the existing diversity and political currents under the national concensus ‘Bhinneka Tunggal Ika’, Hindu-Sankrit words meaning unity in diversity, and The Pancasila, five national basic principles. Consequently national law, mechanism of governance and political considerations followed the concept of Indonesia as a secular nation-state. It means that Indonesia also respects to the international law, human rights, and democracy, such as freedom of association and press, as well as the idea of individual human rights. From a perspective of human rights, the legitimacy of self determination for each human includes the aspect of sexual orientation and living in partnerships. Factually, people who perform their ‘coming out’ and those who advocate understanding or empathy on lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) issues, so far experience little support, yet often harsh negative reactions, pressure, and harassment particularly from traditionalistic and religious communities that see a diversification of forms of partnership and sexual orientation as un-Indonesian or sinful. This article will show the emerging of LGBT movement and religious-society reactions relating to the government policies. (This is a Book Chapter of 'Diversity Concept, Diversity Politics' by Christoph Behrens (Ed.), Publish by Verlag DR. Kovac, Hamburg Germany 2016)