Sarah Sumiati | Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (original) (raw)
Papers by Sarah Sumiati
Arief S. Sadiman (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) berpendapat bahwa pembelajaran tidak hanya ad... more Arief S. Sadiman (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) berpendapat bahwa pembelajaran tidak hanya ada dalam konteks guru-siswa di dalam kelas secara formal. Selain daripada itu, pembelajaran meliputi kegiatan belajar siswa melalui usaha-usaha yang terencana dengan memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar pada siswa. Peran guru dalam pembelajaran adalah membuat siswa belajar. Pembelajaran merupakan tugas yang dibebankan kepada guru karena guru merupakan tenaga profesional untuk hal tersebut. Menurut Adam dan Dickey (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) peran guru sesungguhnya sangat luas. Proses pembelajaran tidak akan terlaksana secara sempurna apabila komponen-komponen didalamnya tidak terpenuhi. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, komponen diartikan sebagai bagian dari keseluruhan (unsur). Komponen-komponen yang terkandung dalam pembelajaran adalah saling terikat dan saling mempengaruhi. Jika terdapat salah satu dari komponen tersebut tidak lengkap atau terganggu, maka proses pembelajaran pun akan ikut terganggu. Komponen dalam kurikulum terdiri dari tujuan, materi atau bahan ajar, metode atau media, evaluasi, peserta didik dan pendidik. Komponen tujuan pembelajaran merupakan penguraian mengenai hierarki tujuan pembelajaran yang terdiri atas tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, serta tujuan instruksional umum dan khusus. Tujuan pendidikan nasional tercantum pada tujuan pendidikan nasional terkandung dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3. Tujuan institusional merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak sekolah atau lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi. Tujuan ini merupakan penjabaran dari tujuan institusional, sehingga kumulasi dari setiap tujuan kurikeler akan menggambarakan tujuan institusional. Dan tujuan instruksional atau pembelajaran, merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa ketika ia telah mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu pada satu kali pertemuan. Menurut Bloom (1965) komponen tujuan ini ada tiga, yaitu (1) kognitif (the cognitive) meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi, (2) afektif (the affective) meliputi receving, responding, valuing, organisasi dan karakterisasi nilai, dan (3) psikomotor (the psychomotor) meliputi gerakan jasmaniah dan kontrol fisik. Komponen kedua yaitu materi pembelajaran yang merupakan isi dari kurikulum, berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik dan sub topik serta perincian di dalamnya. Secara umum materi ini dapat dikategorikan ke dalam 6 jenis yaitu fakta, konsep/teori, prinsip, proses, nilai serta keterampilan. Komponen selanjutnya adalah metode pembelajaran. Metode dan teknik dalam pembelajaran bergatung pada tingkah laku yang terkandung di dalam rumusan tujuan tersebut. Dengan kata lain metode dan teknik yang digunakan untuk tujuan yang menyangkut pengetahuan, akan berbeda dengan metode dan teknik untuk tujuan yang menyangkut keterampilan dan sikap. Hal yang penting terkait metode pembelajaran adalah pendekatan, strategi dan media pembelajaran. Keempat hal ini selalu saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Komponen evaluasi berfungsi sebagai alat untuk melihat keberhasilan dari tujuan kurikulum tersebut. Evaluasi ini meliputi konsep dasar evaluasi, cara pengukuran melalui penilaian dan tes. Demikian komponen-komponen tersebut akan terlaksana apabila didalamnya terdapat peserta didik atau siswa dan guru atau pendidik yang saling berinteraksi.
Apa itu Belajar? Apa itu Pembelajaran?
Learning to Know Learning to know (belajar untuk tahu), merupakan sebuah proses pembelajaran yang... more Learning to Know
Learning to know (belajar untuk tahu), merupakan sebuah proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik untuk dapat memahami bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari setiap hal yang terjadi. Pengetahuan didapatkan dalam proses yang tidak pernah berakhir dan senantiasa diperkaya oleh semua bentuk pengalaman. Pengetahuan secara umum dapat diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai dengan pendidikan di perguruan tinggi. Dengan jenjang lembaga pendidikan yang ada ini, diharapkan dapat terciptanya generasi yang dapat menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi untuk mengelola dan mendayagunakan alam dengan bijak dan benar. Untuk menciptakan masyarakat agar mampu menguasi paradigma “learning to know” diperlukan pemahaman yang jelas mengenai “apa” yang harus diketahui, “bagaimana” cara untuk mendapat pengetahuan, “mengapa” ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunakan ilmu pengetahuan tersebut. Learning to know akan diarahkan pada peserta didik agar mereka mempunyai pengetahuan yang berfleksibilitas, adaptable, dan mempunyai nilai tambah untuk penggunanya.
Learning to know mengembangkan kemampuan memori, imajinasi, penalaran, pemecahan masalah, dan kemampuan berpikir yang koheren dan bersikap kritis. Tawil, S. and Cougoureux (2013) mengatakan “learning to know, includes learning to learn, an instrumental learning skill inherent to basic education, which allows individuals to benefit from educational opportunities that arise throughout life.” Dari pengetahuan yang didapatkan oleh individu tersebut, setiap keterampilan belajar berperan melekat dan memungkinkan individu untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatan pendidikan yang muncul sepanjang hayat.
Learning to Do
Learning to do (belajar untuk melakukan) merupakan pembelajaran yang memberdayakan peserta didik agar bersedia dan mampu memperkaya pengalaman belajarnya (Ismail SM & M. Agung Hidayatulloh, 2014:233). Pilar ini berarti sebagai tempat pertama untuk peserta didik mengaplikasikan apa yang telah dipelajari atau dikenal sebagai praktek. Peserta didik ditekankan bukan sekedar tahu, namun menghayati proses belajar dengan “active learning” yang bermakna pembelajaran aktif. Yang dimaksudkan sebagai suatu cara penyampaian bahan ajar oleh guru yang dilakukan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar dan sekaligus mengaktifkan seluruh aspek yang ada dalam diri siswa (Sukardi, 2013:111). Berdasarkan penelitian Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987), pada dasarnya otak akan melakukan tugas proses belajar yang lebih baik, jika kita membahas informasi tersebut dengan orang lain dan jika kita diminta untuk mengajukan pertanyaan tentang hal tersebut (Silberman, 2006:26). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses belajar bukan semata-mata kegiatan menghafal. Karena banyak sekali hal yang kita lupa dari apa yang kita hafal. Tapi pemahaman dan kemampuan mengolah informasilah yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengingat apa yang telah ia pelajari.
Tawil, S. and Cougoureux (2013) berpendapat bahwa learning to do menekankan perolehan keterampilan kejuruan yang diperlukan untuk praktek profesi atau perdagangan . Hubungan antara dunia pendidikan dengan bisnis dan industri adalah pendidikan sebagai alat pelatihan untuk berinteraksi dengan dunia kerja. Selain belajar untuk berlatih profesi atau perdagangan, orang perlu mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi yang tak terduga dan bekerja dalam tim. Namun keterampilan ini biasanya tidak diberi perhatian mendalam dalam pendidikan. Menurut Zhou Nan-Zhao learning to do ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, atitude terhadap kerja tim, keterampilan sosial dalam membangun hubungan interpersonal, adaptasi untuk perubahan dunia kerja dan kehidupan sosial, kompetensi dalam mentransformasikan pengetahuan ke dalam penciptaan lapangan kerja, kesiapan untuk mengambil risiko dan menyelesaikan atau mengelola konflik.
Learning to Live Together
Learning to live together (belajar hidup bersama) merupakan pembelajaran yang diarahkan dengan upaya pembentukan kepribadian untuk memahami keanekaragaman, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku positif terhadap perbedaan. UNESCO mengungkapkan bahwa pilar ini merupakan persoalan besar dalam pendidikan karena dewasa ini, persaingan, perselisihan, dan pertengkeran sangat kental sehingga menimbulkan kekecauan-kekacauan (chaos) hanya karena masalah sepele yang pada akhirnya membuat individu mementingkan egonya sendiri. Namun tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa secara kodrati, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Melalui learning to live together tujuan yang ingin dicapai adalah kehidupan yang humanis di tengah masyarakat yang pluralis. Pendidikan yang mengajarkan arti kebersamaan, mengajarkan menghargai orang lain, mengajarkan kepedulian, kepekaan terhadap kehidupan orang lain.
Pembelajaran mempunyai jangkauan lebih dari sekedar isi akademik dan keterampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan kemanusiaan yang selaras dengan norma dan nilai-nilai sosial. Secara khusus, learning to live together mengarahkan peserta didik untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, mengapresiasi keragaman umat manusia, memahami sikap saling ketergantungan antar manusia, bersikap empati, saling menghormati sistem nilai dan budaya, kemampuan menghadapi orang lain dan menyelesaikan konflik melalui komunikasi, dan kemampuan bekerja sama dalam pencapaian tujuan yang sama.
Learning to Be
Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri seseorang. Proses ini harus mengarah pada penemuan jati diri yang utuh sehingga mempunyai pijakan kuat dalam bertindak dan dapat menjadi individu yang tidak mudah terbawa arus. Secara keseluruhan aspek kepribadiannya dapat berkembang dengan optimal dan seimbang baik pada segi intelektual, emosi, sosial, fisik, moral dan religius. Belajar menjadi diri sendiri akan membentuk peserta didik pada pencapaian aktualisasi diri dan dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungannya dimana dia tinggal dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Ketika seseorang sudah mengakutalisasi diri dan menjadi diri sendiri, ditengah masyarakat ia harus peduli terhadap lingkungannya, menjaga dan memelihara, beretika dengan akhlakul karimah.
Jenis pembelajaran ini merupakan konseptualisasi dari the Report to UNESCO in 1972, Learning to Be (Edgar Faureet al ), out of the fear that ‘the world would be dehumanized as a result of technical change’. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa tujuan pembangunan adalah pemenuhan kebutuhan manusia. Learning to be ditafsirkan sebagai satu cara untuk menjadi manusia melalui akuisisi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang kondusif untuk pengembangan kepribadian dalam dimensi intelektual, moral, budaya dan fisik.
Kesimpulan
Penting untuk dicatat bahwa empat pilar pembelajaran berhubungan dengan semua tahapan dan bidang pendidikan. Semuanya mendukung dan saling merasuk satu sama lain. Oleh sebab itu, harus diterapkan dan diintegrasikan dalam dalam bidang studi atau pembelajaran.
Mengapa kurikulum perlu dievaluasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa evaluasi ... more Mengapa kurikulum perlu dievaluasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa evaluasi merupakan sebuah penilaian terhadap hasil; pengumpulan dan pengamatan dari berbagai macam bukti untuk mengukur dampak dan efektivitas dari suatu objek, program, atau proses berkaitan dengan spesifikasi dan persyaratan pengguna yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurikulum sebagai sebuah kumpulan konsep dan rancangan manusia dalam upaya peningkatan pendidikan perlu dievaluasi untuk melihat pencapaian tujuan yang telah dihasilkan dari kurikulum tersebut dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan kurikulum selanjutnya. Evaluasi kurikulum jelas merupakan proses dimana kita mencoba mengukur nilai dan efektivitas setiap bagian dari kegiatan pendidikan yang telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan kurikulum. Meurut Scrivens (1967), evaluasi kurikulum dapat dilaksanakan pada dua tingkat yaitu (i) formatif dan (ii) sumatif. Evaluasi formatif merupakan proses pengukuran keberhasilan melalui nilai. Evaluasi formatif dimaksudkan untuk memantau kemajuan belajar siswa selama proses belajar-mengajar berlangsung agar kelemahan-kelemahan siswa yang memerlukan perbaikan diketahui sehingga guru dapat memperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa saja yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat untuk proses dan hasil yang lebih baik dalam rangka pencapaian tujuan utama kurikulum pendidikan. Evaluasi sumatif diartikan sebagai penilaian yang dilakukan hanya di akhir tahun proses belajar mengajar selesai (Arifin, 2009). Dengan pengertiannya ini, dapat diartikan bahwa evaluasi kurikulum berupa ujian akhir semester atau ujian nasional. Dimana semua materi untuk mata pelajaran tertentu telah semua disampaikan, barulah dilaksanakan evaluasi. Penilaian sumatif ini lebih berorientasi pada sebuah hasil, dimana proses dianggap tidak terlalu penting. Untuk penggunaan evaluasi sumatif ini, siswa tidak bisa memperbaiki kelemahannya saat itu juga melainkan harus kembali mencoba di tahun atau semester selanjutnya.
Praktisi dan pelaksana kurikulum dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan dalam perencanaan, ... more Praktisi dan pelaksana kurikulum dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian kurikulum. Dalam membahas pendekatan untuk pengembangan kurikulum, terlebih dahulu harus fokus pada cara yang diatur untuk memfasilitasi keefektifan oleh pelaksana. Pendekatan pengembangan kuriklum yang strategis digunakan dalam pengorganisasian konten kurikulum dan kegiatan belajar yang disajikan kepada peserta didik. Hal tersebut merupakan cara untuk mencapai suatu pengembangan kurikulum secara fungsional. Mbakwem (2009), mengatakan bahwa pendekatan kurikulum dan desain dapat digunakan secara bergantian. Pendekatan untuk pengembangan kurikulum juga dapat dianggap sebagai model pengembangan kurikulum. Model pengembangan kurikulum merupakan langkah sistematis dalam proses penyusunan kurikulum. Berfungsi sebagai suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi suatu kurikulum. Suatu model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan seluruh proses sitem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan yang tercapai dalam pendidikan. Beberapa model pengembangan kurikulum secara umum diantaranya 1) model Ralph-Tyler yang meliputi menentukan tujuan pendidikan, menentukan proses pembelajaran, menentukan rganisasi pengalaman belajar, dan menentukan evaluasi pembelajaran; 2) model administratif merupakan pengembangan kurikulum yang ide awal dan pelaksanaannya dimulai dari pemegang pejabat tingkat atas pembuat keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum; 3) model grass roots yang merupakan kebalikan dari model administratif; 4) model demonstrasi yang idenya datang dari bawah; 5) model Miller-Seller yang merupakan model kombinasi transmisi dan transaksi; 6) model Taba yang memusatkan perhatian dari guru; dan yang ke 7) model Beauchamp.
Bagaimana peran landasan dalam pengembangan kurikulum? Landasan diibaratkan sebuah pondasi dalam ... more Bagaimana peran landasan dalam pengembangan kurikulum? Landasan diibaratkan sebuah pondasi dalam suatu bangunan, yang mana landasan ini akan berfungsi sebagai penopang utama dalam proses pembangunan. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin mencuat, kurikulum pendidikan pun harus menyesuaikan agar tujuan terciptanya insan yang mengikuti era terlaksana atau dalam istilah lain kurikulum haruslah berkembang. Landasan awal tadilah yang akan menjaga kurikulum agar tidak keluar dari titik tolak utama kurikulum tersebut. Dalam penerapan kurikulum sebagai ide, rencana, proses dan hasil, pada proses pengembangannya tetap mengacu pada landasan yang kuat dan kokoh. Hal ini bertujuan agar kurikulum tetap berfungsi dan berperan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Para ahli membagi landasan pengembangan kurikulum ini menjadi berbagai jenis. Diantaranya pendapat C Allan (1998) membagi menjadi philosophy, history, psychology, and sociology. Lain halnya dengan Tyler (1988) menurutnya aspek yang melandasi pengembangan kurikulum adalah " use of philosophy, studies of learners, suggestions from subject specialist, studies of contemporary life, and use of psychology of learning. " Secara umum ada empat landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan kurikulum, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, dan landasan teknologi. Landasan filosofis merupakan asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan, dan nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Asumsi ini berimplikasi pada tujuan pendidikan, pengembangan isi atau materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan pendidik. Landasan psikologis merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi. Ada dua jenis psikologi yang harus menjadi acuan yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan mempelajari proses dan karakteristik perkembangan peserta didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan psikologi belajar mempelajari tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar. Ada tiga jenis teori belajar yang mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan kurikulum, yaitu teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistik. Landasan sosial budaya merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antropologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Karakteristik sosial budaya dimana peserta didik hidup berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangakan. Landasan teknologi merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari hasil-hasil riset atau penelitian dan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum membutuhkan sumbangan dari berbagai kajian ilmiah dan teknologi baik yang bersifat hardware maupun software sehingga pendidikan yang dilaksanakan dapat menyaesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen. Dalam kamus besar Bahasa In... more Kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, komponen diartikan sebagai bagian dari keseluruhan (unsur). Komponen-komponen yang terkandung dalam kurikulum adalah saling terikat dan saling mempengaruhi. Jika ada salah satu dari komponen tersebut tidak lengkap atau terganggu, maka sistem kurikulum pun akan ikut terganggu. Komponen-komponen yang terdapat dalam kurikulum ini adalah sebagai berikut. (1) Komponen tujuan, komponen ini berhubungan dengan hasil yang diharapkan dari suatu sistem kurikulum tersebut. Terdapat dua komponen tujuan dalam skala makro dan mikro. Dalam skala makro, komponen utama tujuan sistem kurikulum Indonesia adalah membentuk masyarakat yang Pancasilais, hal ini dikarenakan Indonesia menganut sistem Pancasila. Dalam skala mikro, komponen tujuan ini dapat berarti visi dan misi suatu sekolah atau tujuan dari setiap mata pelajaran tertentu. Tujuan pendidikan di Indonesia diklasifikasikan menjadi 4 diantaranya : (a) tujuan pendidikan nasional, yang terkandung dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3. (b) tujuan institusional, merupakan kualifikasi yang harus dimiliki setiap siswa setelah menempuh atau menyelesaikan program pembelajaran di suatu lembaga pendidikan. (c) tujuan kurikuler, merupakan kualifikasi yang harus dimiliki setiap siswa setelah menyelesaikan suatu bidang studi tertentu pada suatu lembaga pendidikan. (d) tujuan instruksional atau pembelajaran, merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa ketika ia telah mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu pada satu kali pertemuan. Menurut Bloom (1965) komponen tujuan ini ada tiga, yaitu kognitif (the cognitive) yaitu pengetahuan, afektif (the affective) yaitu sikap, dan psikomotor (the psychomotor) yaitu keterampilan. (2) Komponen isi, komponen ini merupakan seperangkat pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya digambarkan pada setiap mata pelajaran yang diberikan pada aktivitas atau kegiatan siswa. Materi atau aktivitas ini seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. (3) Komponen metode, komponen ini akan menunjang komponen tujuan dan isi dari sebuah kurikulum. Bagaimanapun bagusnya suatu kurikulum, tanpa adanya metode atau strategi dalam mewujudkannya maka kurikulum tersebut tidak akan tercapai tujuannya. (4) Komponen evaluasi, berfungsi sebagai alat untuk melihat keberhasilan dari tujuan kurikulum tersebut. Untuk melakukan evaluasi kurikulum ini, evaluasi dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu tes dan non tes. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa pada aspek kognitif atau tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari. Contohnya, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Evaluasi non tes merupakan alat evaluasi yang biasanya dilakukan untuk menilai aspek tingkah laku siswa tersebut. Contohnya, observasi, wawancara, studi kasus, dan skala penilaian.
Hakikat Kurikulum dan Pembelajaran (Definisi dan Dimensi)
Arief S. Sadiman (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) berpendapat bahwa pembelajaran tidak hanya ad... more Arief S. Sadiman (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) berpendapat bahwa pembelajaran tidak hanya ada dalam konteks guru-siswa di dalam kelas secara formal. Selain daripada itu, pembelajaran meliputi kegiatan belajar siswa melalui usaha-usaha yang terencana dengan memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar pada siswa. Peran guru dalam pembelajaran adalah membuat siswa belajar. Pembelajaran merupakan tugas yang dibebankan kepada guru karena guru merupakan tenaga profesional untuk hal tersebut. Menurut Adam dan Dickey (Kurikulum dan Pembelajaran, 2016) peran guru sesungguhnya sangat luas. Proses pembelajaran tidak akan terlaksana secara sempurna apabila komponen-komponen didalamnya tidak terpenuhi. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, komponen diartikan sebagai bagian dari keseluruhan (unsur). Komponen-komponen yang terkandung dalam pembelajaran adalah saling terikat dan saling mempengaruhi. Jika terdapat salah satu dari komponen tersebut tidak lengkap atau terganggu, maka proses pembelajaran pun akan ikut terganggu. Komponen dalam kurikulum terdiri dari tujuan, materi atau bahan ajar, metode atau media, evaluasi, peserta didik dan pendidik. Komponen tujuan pembelajaran merupakan penguraian mengenai hierarki tujuan pembelajaran yang terdiri atas tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, serta tujuan instruksional umum dan khusus. Tujuan pendidikan nasional tercantum pada tujuan pendidikan nasional terkandung dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3. Tujuan institusional merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak sekolah atau lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi. Tujuan ini merupakan penjabaran dari tujuan institusional, sehingga kumulasi dari setiap tujuan kurikeler akan menggambarakan tujuan institusional. Dan tujuan instruksional atau pembelajaran, merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa ketika ia telah mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu pada satu kali pertemuan. Menurut Bloom (1965) komponen tujuan ini ada tiga, yaitu (1) kognitif (the cognitive) meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi, (2) afektif (the affective) meliputi receving, responding, valuing, organisasi dan karakterisasi nilai, dan (3) psikomotor (the psychomotor) meliputi gerakan jasmaniah dan kontrol fisik. Komponen kedua yaitu materi pembelajaran yang merupakan isi dari kurikulum, berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik dan sub topik serta perincian di dalamnya. Secara umum materi ini dapat dikategorikan ke dalam 6 jenis yaitu fakta, konsep/teori, prinsip, proses, nilai serta keterampilan. Komponen selanjutnya adalah metode pembelajaran. Metode dan teknik dalam pembelajaran bergatung pada tingkah laku yang terkandung di dalam rumusan tujuan tersebut. Dengan kata lain metode dan teknik yang digunakan untuk tujuan yang menyangkut pengetahuan, akan berbeda dengan metode dan teknik untuk tujuan yang menyangkut keterampilan dan sikap. Hal yang penting terkait metode pembelajaran adalah pendekatan, strategi dan media pembelajaran. Keempat hal ini selalu saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Komponen evaluasi berfungsi sebagai alat untuk melihat keberhasilan dari tujuan kurikulum tersebut. Evaluasi ini meliputi konsep dasar evaluasi, cara pengukuran melalui penilaian dan tes. Demikian komponen-komponen tersebut akan terlaksana apabila didalamnya terdapat peserta didik atau siswa dan guru atau pendidik yang saling berinteraksi.
Apa itu Belajar? Apa itu Pembelajaran?
Learning to Know Learning to know (belajar untuk tahu), merupakan sebuah proses pembelajaran yang... more Learning to Know
Learning to know (belajar untuk tahu), merupakan sebuah proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik untuk dapat memahami bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari setiap hal yang terjadi. Pengetahuan didapatkan dalam proses yang tidak pernah berakhir dan senantiasa diperkaya oleh semua bentuk pengalaman. Pengetahuan secara umum dapat diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai dengan pendidikan di perguruan tinggi. Dengan jenjang lembaga pendidikan yang ada ini, diharapkan dapat terciptanya generasi yang dapat menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi untuk mengelola dan mendayagunakan alam dengan bijak dan benar. Untuk menciptakan masyarakat agar mampu menguasi paradigma “learning to know” diperlukan pemahaman yang jelas mengenai “apa” yang harus diketahui, “bagaimana” cara untuk mendapat pengetahuan, “mengapa” ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunakan ilmu pengetahuan tersebut. Learning to know akan diarahkan pada peserta didik agar mereka mempunyai pengetahuan yang berfleksibilitas, adaptable, dan mempunyai nilai tambah untuk penggunanya.
Learning to know mengembangkan kemampuan memori, imajinasi, penalaran, pemecahan masalah, dan kemampuan berpikir yang koheren dan bersikap kritis. Tawil, S. and Cougoureux (2013) mengatakan “learning to know, includes learning to learn, an instrumental learning skill inherent to basic education, which allows individuals to benefit from educational opportunities that arise throughout life.” Dari pengetahuan yang didapatkan oleh individu tersebut, setiap keterampilan belajar berperan melekat dan memungkinkan individu untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatan pendidikan yang muncul sepanjang hayat.
Learning to Do
Learning to do (belajar untuk melakukan) merupakan pembelajaran yang memberdayakan peserta didik agar bersedia dan mampu memperkaya pengalaman belajarnya (Ismail SM & M. Agung Hidayatulloh, 2014:233). Pilar ini berarti sebagai tempat pertama untuk peserta didik mengaplikasikan apa yang telah dipelajari atau dikenal sebagai praktek. Peserta didik ditekankan bukan sekedar tahu, namun menghayati proses belajar dengan “active learning” yang bermakna pembelajaran aktif. Yang dimaksudkan sebagai suatu cara penyampaian bahan ajar oleh guru yang dilakukan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar dan sekaligus mengaktifkan seluruh aspek yang ada dalam diri siswa (Sukardi, 2013:111). Berdasarkan penelitian Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987), pada dasarnya otak akan melakukan tugas proses belajar yang lebih baik, jika kita membahas informasi tersebut dengan orang lain dan jika kita diminta untuk mengajukan pertanyaan tentang hal tersebut (Silberman, 2006:26). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses belajar bukan semata-mata kegiatan menghafal. Karena banyak sekali hal yang kita lupa dari apa yang kita hafal. Tapi pemahaman dan kemampuan mengolah informasilah yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengingat apa yang telah ia pelajari.
Tawil, S. and Cougoureux (2013) berpendapat bahwa learning to do menekankan perolehan keterampilan kejuruan yang diperlukan untuk praktek profesi atau perdagangan . Hubungan antara dunia pendidikan dengan bisnis dan industri adalah pendidikan sebagai alat pelatihan untuk berinteraksi dengan dunia kerja. Selain belajar untuk berlatih profesi atau perdagangan, orang perlu mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi yang tak terduga dan bekerja dalam tim. Namun keterampilan ini biasanya tidak diberi perhatian mendalam dalam pendidikan. Menurut Zhou Nan-Zhao learning to do ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, atitude terhadap kerja tim, keterampilan sosial dalam membangun hubungan interpersonal, adaptasi untuk perubahan dunia kerja dan kehidupan sosial, kompetensi dalam mentransformasikan pengetahuan ke dalam penciptaan lapangan kerja, kesiapan untuk mengambil risiko dan menyelesaikan atau mengelola konflik.
Learning to Live Together
Learning to live together (belajar hidup bersama) merupakan pembelajaran yang diarahkan dengan upaya pembentukan kepribadian untuk memahami keanekaragaman, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku positif terhadap perbedaan. UNESCO mengungkapkan bahwa pilar ini merupakan persoalan besar dalam pendidikan karena dewasa ini, persaingan, perselisihan, dan pertengkeran sangat kental sehingga menimbulkan kekecauan-kekacauan (chaos) hanya karena masalah sepele yang pada akhirnya membuat individu mementingkan egonya sendiri. Namun tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa secara kodrati, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Melalui learning to live together tujuan yang ingin dicapai adalah kehidupan yang humanis di tengah masyarakat yang pluralis. Pendidikan yang mengajarkan arti kebersamaan, mengajarkan menghargai orang lain, mengajarkan kepedulian, kepekaan terhadap kehidupan orang lain.
Pembelajaran mempunyai jangkauan lebih dari sekedar isi akademik dan keterampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan kemanusiaan yang selaras dengan norma dan nilai-nilai sosial. Secara khusus, learning to live together mengarahkan peserta didik untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, mengapresiasi keragaman umat manusia, memahami sikap saling ketergantungan antar manusia, bersikap empati, saling menghormati sistem nilai dan budaya, kemampuan menghadapi orang lain dan menyelesaikan konflik melalui komunikasi, dan kemampuan bekerja sama dalam pencapaian tujuan yang sama.
Learning to Be
Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri seseorang. Proses ini harus mengarah pada penemuan jati diri yang utuh sehingga mempunyai pijakan kuat dalam bertindak dan dapat menjadi individu yang tidak mudah terbawa arus. Secara keseluruhan aspek kepribadiannya dapat berkembang dengan optimal dan seimbang baik pada segi intelektual, emosi, sosial, fisik, moral dan religius. Belajar menjadi diri sendiri akan membentuk peserta didik pada pencapaian aktualisasi diri dan dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungannya dimana dia tinggal dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Ketika seseorang sudah mengakutalisasi diri dan menjadi diri sendiri, ditengah masyarakat ia harus peduli terhadap lingkungannya, menjaga dan memelihara, beretika dengan akhlakul karimah.
Jenis pembelajaran ini merupakan konseptualisasi dari the Report to UNESCO in 1972, Learning to Be (Edgar Faureet al ), out of the fear that ‘the world would be dehumanized as a result of technical change’. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa tujuan pembangunan adalah pemenuhan kebutuhan manusia. Learning to be ditafsirkan sebagai satu cara untuk menjadi manusia melalui akuisisi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang kondusif untuk pengembangan kepribadian dalam dimensi intelektual, moral, budaya dan fisik.
Kesimpulan
Penting untuk dicatat bahwa empat pilar pembelajaran berhubungan dengan semua tahapan dan bidang pendidikan. Semuanya mendukung dan saling merasuk satu sama lain. Oleh sebab itu, harus diterapkan dan diintegrasikan dalam dalam bidang studi atau pembelajaran.
Mengapa kurikulum perlu dievaluasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa evaluasi ... more Mengapa kurikulum perlu dievaluasi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa evaluasi merupakan sebuah penilaian terhadap hasil; pengumpulan dan pengamatan dari berbagai macam bukti untuk mengukur dampak dan efektivitas dari suatu objek, program, atau proses berkaitan dengan spesifikasi dan persyaratan pengguna yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurikulum sebagai sebuah kumpulan konsep dan rancangan manusia dalam upaya peningkatan pendidikan perlu dievaluasi untuk melihat pencapaian tujuan yang telah dihasilkan dari kurikulum tersebut dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan kurikulum selanjutnya. Evaluasi kurikulum jelas merupakan proses dimana kita mencoba mengukur nilai dan efektivitas setiap bagian dari kegiatan pendidikan yang telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan kurikulum. Meurut Scrivens (1967), evaluasi kurikulum dapat dilaksanakan pada dua tingkat yaitu (i) formatif dan (ii) sumatif. Evaluasi formatif merupakan proses pengukuran keberhasilan melalui nilai. Evaluasi formatif dimaksudkan untuk memantau kemajuan belajar siswa selama proses belajar-mengajar berlangsung agar kelemahan-kelemahan siswa yang memerlukan perbaikan diketahui sehingga guru dapat memperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa saja yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat untuk proses dan hasil yang lebih baik dalam rangka pencapaian tujuan utama kurikulum pendidikan. Evaluasi sumatif diartikan sebagai penilaian yang dilakukan hanya di akhir tahun proses belajar mengajar selesai (Arifin, 2009). Dengan pengertiannya ini, dapat diartikan bahwa evaluasi kurikulum berupa ujian akhir semester atau ujian nasional. Dimana semua materi untuk mata pelajaran tertentu telah semua disampaikan, barulah dilaksanakan evaluasi. Penilaian sumatif ini lebih berorientasi pada sebuah hasil, dimana proses dianggap tidak terlalu penting. Untuk penggunaan evaluasi sumatif ini, siswa tidak bisa memperbaiki kelemahannya saat itu juga melainkan harus kembali mencoba di tahun atau semester selanjutnya.
Praktisi dan pelaksana kurikulum dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan dalam perencanaan, ... more Praktisi dan pelaksana kurikulum dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian kurikulum. Dalam membahas pendekatan untuk pengembangan kurikulum, terlebih dahulu harus fokus pada cara yang diatur untuk memfasilitasi keefektifan oleh pelaksana. Pendekatan pengembangan kuriklum yang strategis digunakan dalam pengorganisasian konten kurikulum dan kegiatan belajar yang disajikan kepada peserta didik. Hal tersebut merupakan cara untuk mencapai suatu pengembangan kurikulum secara fungsional. Mbakwem (2009), mengatakan bahwa pendekatan kurikulum dan desain dapat digunakan secara bergantian. Pendekatan untuk pengembangan kurikulum juga dapat dianggap sebagai model pengembangan kurikulum. Model pengembangan kurikulum merupakan langkah sistematis dalam proses penyusunan kurikulum. Berfungsi sebagai suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi suatu kurikulum. Suatu model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan seluruh proses sitem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan yang tercapai dalam pendidikan. Beberapa model pengembangan kurikulum secara umum diantaranya 1) model Ralph-Tyler yang meliputi menentukan tujuan pendidikan, menentukan proses pembelajaran, menentukan rganisasi pengalaman belajar, dan menentukan evaluasi pembelajaran; 2) model administratif merupakan pengembangan kurikulum yang ide awal dan pelaksanaannya dimulai dari pemegang pejabat tingkat atas pembuat keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum; 3) model grass roots yang merupakan kebalikan dari model administratif; 4) model demonstrasi yang idenya datang dari bawah; 5) model Miller-Seller yang merupakan model kombinasi transmisi dan transaksi; 6) model Taba yang memusatkan perhatian dari guru; dan yang ke 7) model Beauchamp.
Bagaimana peran landasan dalam pengembangan kurikulum? Landasan diibaratkan sebuah pondasi dalam ... more Bagaimana peran landasan dalam pengembangan kurikulum? Landasan diibaratkan sebuah pondasi dalam suatu bangunan, yang mana landasan ini akan berfungsi sebagai penopang utama dalam proses pembangunan. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin mencuat, kurikulum pendidikan pun harus menyesuaikan agar tujuan terciptanya insan yang mengikuti era terlaksana atau dalam istilah lain kurikulum haruslah berkembang. Landasan awal tadilah yang akan menjaga kurikulum agar tidak keluar dari titik tolak utama kurikulum tersebut. Dalam penerapan kurikulum sebagai ide, rencana, proses dan hasil, pada proses pengembangannya tetap mengacu pada landasan yang kuat dan kokoh. Hal ini bertujuan agar kurikulum tetap berfungsi dan berperan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Para ahli membagi landasan pengembangan kurikulum ini menjadi berbagai jenis. Diantaranya pendapat C Allan (1998) membagi menjadi philosophy, history, psychology, and sociology. Lain halnya dengan Tyler (1988) menurutnya aspek yang melandasi pengembangan kurikulum adalah " use of philosophy, studies of learners, suggestions from subject specialist, studies of contemporary life, and use of psychology of learning. " Secara umum ada empat landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan kurikulum, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, dan landasan teknologi. Landasan filosofis merupakan asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan, dan nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Asumsi ini berimplikasi pada tujuan pendidikan, pengembangan isi atau materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan pendidik. Landasan psikologis merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi. Ada dua jenis psikologi yang harus menjadi acuan yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan mempelajari proses dan karakteristik perkembangan peserta didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan psikologi belajar mempelajari tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar. Ada tiga jenis teori belajar yang mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan kurikulum, yaitu teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistik. Landasan sosial budaya merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antropologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Karakteristik sosial budaya dimana peserta didik hidup berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangakan. Landasan teknologi merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari hasil-hasil riset atau penelitian dan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum membutuhkan sumbangan dari berbagai kajian ilmiah dan teknologi baik yang bersifat hardware maupun software sehingga pendidikan yang dilaksanakan dapat menyaesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen. Dalam kamus besar Bahasa In... more Kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, komponen diartikan sebagai bagian dari keseluruhan (unsur). Komponen-komponen yang terkandung dalam kurikulum adalah saling terikat dan saling mempengaruhi. Jika ada salah satu dari komponen tersebut tidak lengkap atau terganggu, maka sistem kurikulum pun akan ikut terganggu. Komponen-komponen yang terdapat dalam kurikulum ini adalah sebagai berikut. (1) Komponen tujuan, komponen ini berhubungan dengan hasil yang diharapkan dari suatu sistem kurikulum tersebut. Terdapat dua komponen tujuan dalam skala makro dan mikro. Dalam skala makro, komponen utama tujuan sistem kurikulum Indonesia adalah membentuk masyarakat yang Pancasilais, hal ini dikarenakan Indonesia menganut sistem Pancasila. Dalam skala mikro, komponen tujuan ini dapat berarti visi dan misi suatu sekolah atau tujuan dari setiap mata pelajaran tertentu. Tujuan pendidikan di Indonesia diklasifikasikan menjadi 4 diantaranya : (a) tujuan pendidikan nasional, yang terkandung dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3. (b) tujuan institusional, merupakan kualifikasi yang harus dimiliki setiap siswa setelah menempuh atau menyelesaikan program pembelajaran di suatu lembaga pendidikan. (c) tujuan kurikuler, merupakan kualifikasi yang harus dimiliki setiap siswa setelah menyelesaikan suatu bidang studi tertentu pada suatu lembaga pendidikan. (d) tujuan instruksional atau pembelajaran, merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa ketika ia telah mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu pada satu kali pertemuan. Menurut Bloom (1965) komponen tujuan ini ada tiga, yaitu kognitif (the cognitive) yaitu pengetahuan, afektif (the affective) yaitu sikap, dan psikomotor (the psychomotor) yaitu keterampilan. (2) Komponen isi, komponen ini merupakan seperangkat pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya digambarkan pada setiap mata pelajaran yang diberikan pada aktivitas atau kegiatan siswa. Materi atau aktivitas ini seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. (3) Komponen metode, komponen ini akan menunjang komponen tujuan dan isi dari sebuah kurikulum. Bagaimanapun bagusnya suatu kurikulum, tanpa adanya metode atau strategi dalam mewujudkannya maka kurikulum tersebut tidak akan tercapai tujuannya. (4) Komponen evaluasi, berfungsi sebagai alat untuk melihat keberhasilan dari tujuan kurikulum tersebut. Untuk melakukan evaluasi kurikulum ini, evaluasi dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu tes dan non tes. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa pada aspek kognitif atau tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari. Contohnya, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Evaluasi non tes merupakan alat evaluasi yang biasanya dilakukan untuk menilai aspek tingkah laku siswa tersebut. Contohnya, observasi, wawancara, studi kasus, dan skala penilaian.
Hakikat Kurikulum dan Pembelajaran (Definisi dan Dimensi)
Kualifikasi keterampilan karyawan bagian produksi dikatakan bagus sekali jika dapat menyelesaikan... more Kualifikasi keterampilan karyawan bagian produksi dikatakan bagus sekali jika dapat menyelesaikan pekerjaan per unit barang kurang dari 50 menit. Seorang karyawan yang baru selesai mengikuti pelatihan ternyata berhasil menyelesaikan 100 unit barang dalam waktu 5169 menit dengan standar deviasi 9.5 menit. Ujilah dengan menggunakan level of signifikan = 1% apakah karyawan tersebut telah memenuhi ketentuan kualifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan. Jawaban (yg merah buat jelasin aja) Hipotesa Statistik H 0 : 50 karyawan tidak memenuhi ketentuan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh perusahaan H 1 : 50 karyawan memenuhi ketentuan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh perusahaan (HIPOTESISNYA SEPERTI INI KARENA ADA PERNYATAAN yang ditandai merah, Ho kalo sama dengan atau lebih dari 50 menit berarti tidak memenuhi, H1 kalo kurang dari 50 menit berarti memenuhi alias bagus) Karena ini uji rata2 maka yg dipakai uji Z Statistik uji : Rata2nya adalah 5169 menit/100 unit jadi 51,69 dengan = 1% dari tabel normal baku diperoleh Z 0.01 = 2,325 2,325 darimana? Luas Z tabel = 0,5 – 0,01 (0,5 luas normal daerah penerimaan kalo 0,01 itu yg 1%) Luas Z table = 0.4900 (cari di table Z yang isinya 4900, ada diantara 2,32 dan 2,33 jadi interpolasi pilih tengah2 menjadi 2,325) Kriteria uji Z hit Z 0.01 1,78 > 2,325, maka H 0 diterima (kenapa jadi-2,325 karena uji pihak kiri (disebelah kiri titik 0, lihat H1 diatas)) Kesimpulan : karyawan tidak memenuhi ketentuan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh perusahaan