Menyoal 'Adat adalah Adat, Agama adalah Agama' (original) (raw)
Menyoal 'Adat adalah Adat, Agama adalah Agama' Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, pernah meminta supaya Malaysia tahu diri karena telah memajang gambar identitas Dayak di stannya pada pameran buku Frankfurt, Jerman, Oktober 2014. Katanya, "Orang yang melihat mungkin ketawa, 'lho itu kan punya Indonesia'". Lalu, Joko Widodo, saat menjadi calon presiden, menguraikan alasan penentuan Papua sebagai tempat pertama dalam kampanye Pemilihan Presiden pada Juni 2014. Katanya, "Kenapa pertama kampanye di sini? Karena saya tahu matahari selalu terbit dari timur, terbit dari Papua". Tapi Joko bukanlah orang pertama yang mengatakan matahari terbit di Papua. Pemikiran bahwa entitas Dayak adalah asli dan hanya ada di Indonesia, juga matahari yang terbit di Papua, tentu saja tak perlu lagi diulas kebenarannya. Meski diucapkan oleh orang dan waktu berbeda, sesungguhnya keduanya hanyalah dua aliran sungai dari hulu yang sama. Hulu itu adalah model pendidikan yang dibangun oleh pemerintah pusat Indonesia dan menciptakan satu cara berpikir yang khas. Model pendidikan itu adalah menempatkan sejarah dan kebudayaan sesuai batas--batas administrasi hari ini (kemudian hari). Ia adalah pendidikan yang menutup wilayah Indonesia dari segala macam persinggungannya dengan dunia luar. Perlakuan terhadap narasi kebudayaan dan sejarah ini menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan isolasi kesadaran terhadap warganya dari dunia. Upaya menghapus peran yang--lain, karena ingin menampakkan diri sebagai entitas yang lain-sendiri di dunia, adalah tindakan isolasi terhadap cara berpikir warganya. Dampaknya baru terasa di kemudian hari, seperti silang sengketa kebudayaan yang menggelikan itu, yang menyeruak sejak periode 2000--an, antara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, atau Thailand. Tindakan pengisolasian itu nampak di banyak hal. Sebut saja soal pembentukan Negara Republik Indonesia (NRI) yang meminggirkan peran Jepang dalam konteks Perang Dunia II atau pelupaan atas Konferensi Inter Indonesia (KII 1 dan 2), juga Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, yang melibatkan dunia. Upaya pelupaan saling silang politik dan kebudayaan juga nampak pada kaburnya duduk perkara tentang, misalnya, bagaimana proses Indiaisasi/Hinduisasi atau proses pengubahan/klaim atas nama sebuah bahasa berdasarkan wilayah dimana Belanda pernah ada. Yang tak kalah unik barangkali adalah upaya menukar proses Islamisasi secara kultural dan fisik/administrasi, termasuk menimpa "kerja keras" Kerajaan Belanda, Inggris, Spanyol, dan Jepang, dengan Kerajaan Hindu Majapahit sebagai entitas pemersatu. Seturut dalam penghilangan Islamisasi itu adalah peran Kekhalifahan Turki serta panji--panji bulan bintang yang digunakan oleh banyak entitas politik dan kebudayaan secara luas dan nyaris merata di Asia Tenggara. Pengenyampingan atas macam--macam penanda tersebut, secara otomatis, membuat wawasan atas diaspora manusia dan (politik) kebudayaannya turut melenyap. Hanya karena ingin menjunjung prinsip "lain--sendiri", bumi rupanya tak hendak lagi dipijak. Semua yang