Pendekatan Postcolonialism Terhadap Surat Filemon: Merenungkan Kembali Identitas Onesimus (original) (raw)
Related papers
Pendekatan Postcolonialism Terhadap Surat Filemon
Jurnal Teologi Pambelum
Perbudakan di kekaisaran Romawi kuno merupakan realitas penting yang berkontribusi dalam bagaimana cara kita melakukan interpretasi terhadap teks-teks Alkitab yang lahir pada masa itu. Sejarah pembacaan Surat Filemon sejak dulu telah banyak didominasi dengan interpretasi yang mengusulkan bahwa Onesimus adalah budak yang melarikan diri karena telah mencuri dari Filemon, sehingga dia membutuhkan Paulus agar menuliskan surat rekonsiliasi sehingga Filemon bisa menerima kembali Onesimus. Namun, ternyata pembacaan seperti ini telah berimplikasi langsung terkait dengan interpretasi kolonialisme bahwa “penjajah” selalu lebih baik dibandingkan yang “terjajah”, dan yang “terjajah tidak mampu untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.” Karena itu, pembacaan seperti ini sebenarnya telah mendorong pembacanya untuk mengkolonisasi Onesimus. Sebaliknya, dalam penelitian ini penulis akan mencoba menampilkan kisah Onesimus ini dengan sudut pandang yang lain, yakni postcolonial yang membukakan pemaham...
Koinonia Dalam Surat Filemon 1:6: Suatu Analisis Terhadap Relasi Filemon Dan Onesimus
Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi
Persekutuan (Yun.: koinonia) sebagai salah satu tugas panggilan gereja seharusnya dapat menjembatani perbedaan dan mengubahkan kehidupan sosial. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Persekutuan Kristen terkadang menjadi tertutup bagi orang yang memiliki perbedaan status sosial tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa persekutuan di antara orang percaya mampu meruntuhkan sekat-sekat penghalang dan mengubahkan kehidupan. Melalui penelitian kualitatif yang menggunakan metode kritik sosial dan tekstual atas Surat Filemon dengan dibantu beberapa literatur terkait, diperlihatkan pemahaman bahwa seorang budak yang bersalah, bertobat dan kembali kepada tuannya tetap diperhitungkan di dalam persekutuan Kristen dan dilibatkan dalam pelayanan. Pada akhirnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa persekutuan Kristen yang sehat dapat mentransformasi kehidupan. Di dalam persekutuan Kristen ada penerimaan satu sama lain dan memberi ruang bagi semua orang dengan status sosial ya...
Jurnal Teologi Amreta (ISSN: 2599-3100)
So far, Pentecostal eschatology has always been connected with dispensational premillennialist views. But if analyzed, there are actually many things in dispensational premillennialism that are incompatible with Pentecostal theology. This article will briefly explain the history of how Pentecostal eschatology can be influenced by dispensational premillennialism, as well as providing criticisms that prove that this view actually does not correspond essentially with Pentecostal teaching. This article will also try to propose a model of conditional postmillennialism, which is seen as more appropriate to become a framework of Pentecostal eschatology. === Selama ini eskatologi Pentakosta selalu dihubungkan dengan pandangan premilenialisme dispensasional. Namun jika dianalisa, sebenarnya banyak hal di dalam premilenialisme dispensasional yang tidak sesuai dengan teologi Pentakosta. Artikel ini akan menjelaskan secara singkat sejarah bagaimana eskatologi Pentakosta dapat dipengaruhi oleh...
Kajian Postkolonial atas Identitas Ketimuran dalam Pengaruh Asing pada Film Terang Boelan
Pembahasan mengenai perkembangan film di Hindia Belanda sejak awal pembuatannya bahkan hingga kini sangat terkait dengan kondisi sosial politik dan ekonomi di negeri ini. Dalam beberapa tulisan tentang sejarah dan perkembangan film Indonesia, film juga dimaknai dengan konteks ekonomi yang sangat kental. Hal ini tentu masuk akal karena perkembangan perfilman Indonesia sangat terpengaruh dengan kekuasaan, penguasa modal, dan dominasi politik yang berlaku. Belum ada tulisan yang secara spesifik mengkaji identitas masyarakat yang “galau” di kala itu dari cerminan film-film yang berkembang pada masanya.
Tugas 1 Pembacaan Kolonial dalam Surat Filemon Elny Gunawan
Surat Filemon merupakan surat Paulus yang terpendek dan bersifat pribadi. Surat yang ditulis oleh Paulus ini berisi permohonan kepada Filemon berkenaan dengan Onesimus, yaitu seorang budak yang melarikan diri dari rumahnya. 1 Dalam pandangan tradisional, Onesimus diposisikan sebagai seorang budak yang melakukan kesalahan dan terpaksa harus melarikan diri agar terhindari dari hukuman tuannya, Filemon. Lalu, Onenimus berjumpa dengan Paulus yang sedang berada dalam penjara dan Paulus membimbingnya kepada Kristus. Onesimus yang dinilai seorang budak pelarian yang tidak berarti bagi tuannya, namun setelah menjadi Kristus, Onesimus pun dipandang sebagai seorang rekan sekerja yang berarti bagi Paulus. Karena itu, Paulus pun menulis surat permohonan kepada Filemon agar ada pengampunan dan perdamaian antara si budak yang melarikan diri dengan tuannya. Dalam gaya pembacaan postkolonial, pandangan tradisional terhadap surat Filemon di atas dipandang sebagai gaya pembacaan atau tafsir kolonial. Gaya pembacaan atau tafsir kolonial adalah sebuah pembacaan atau tafsir yang memperlihatkan adanya hegemoni Barat dalam memandang Timur, dan juga adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara superior dan inferior, yang bernada eksploitasi, misalnya berupa penjajahan, pendudukan, penguasaan wilayah, dan lainnya. Itu sebabnya, pembacaan kolonial akan memandang pihak superioritas (tuan) sebagai pihak yang kuat sehingga dapat menekan atau menjadi ancaman bagi pihak inferioritas (hamba atau budak) yang lemah. 2 Dalam gaya pembacaan kolonial surat, Filemon diposisikan sebagai pihak superior atau tuan yang berkuasa, sedangkan Onesimus diposisikan sebagai pihak inferior atau budak yang lemah atau tidak berdaya sehingga harus melarikan diri. Masih dalam gaya pembacaan kolonial, Paulus diposisikan
GENEVA: Jurnal Teologi dan Misi, 2021
Kedatangan Tuhan Yesus menjadi kebanggaan bagi umat percaya. Namun kedatangan Tuhan Yesus yang kedua, tidak seorang pun yang mengetahuinya. Akan tetapi, pandangan post-milenialisme berkeyakinan bahwa jika Injil telah diberitakan kepada semua orang, maka Kristus akan datang. Pandangan ini tentunya tidak sepenuhnya dapat dipercayai. Oleh karena itu, perlu adanya pengajaran yang benar berdasarkan Alkitab dalam menyikapi kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali.Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian kualitatif diskriftif serta literatur. Dimana dalam penelitian kualitatif deskriptif ini akan menjelaskan tentang pandangan post-milenialisme serta dasar Alkitab yang pandangan ini gunakan.Penulis juga menggunakan metode analisis teks guna mendapatkan makna Alkitab yang utuh.Melalui penelitian ini, penulis akan melihat pandangan post-milenialisme tentang kedatangan Kristus yang kedua serta mengkritik pandangan ini berdasarkan Alkitab. Dengan demikian, melalui pembahasan dalam penelitian ini, dipaparkan bahwa tidak seorang pun yang mengetahui kapan Kristus datang dan sebagai implikasinya bagi orang percaya, tetap memberitakan Injil dan tetap bersiap sedia menantikan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Kata Kunci:post-milenialisme optimisme, Injil, orang percaya, kedatangan Tuhan Yesus. ABSTARCT The coming of the Lord Jesus became a pride for the believers. But the second coming of the Lord Jesus, no one knew it. However, the post-millennialism view believes that if the gospel had been preached to all, then Christ would have come. This view is certainly not entirely believable. Therefore, there needs to be correct bible-based teaching in addressing the second coming of the Lord Jesus. The methods used in this article are qualitatively discriftive research methods as well as literature. Where in this descriptive qualitative study will explain the post-millennialism view as well as the basis of the Bible that this view uses. The author also uses text analysis methods to obtain the full meaning of the Bible. Through this study, the authors will look at the post-millennialism view of christ's second coming and criticize this view based on the Bible. Thus, through the discussion in this study, it is explained that no one knows when Christ came and as an implication for believers, continues to preach the gospel and remains prepared to wait for the second coming of the Lord Jesus.
Menimbang Kembali Konsep Kelahiran Kembali: Kritik Sosio-Historis Yohanes 3:1-21
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani
The doctrine of rebirth is a basic and important teaching in Christianity. However, the rebirth concept can be understood differently by different church traditions. The purpose of this study was to review the concept of rebirth through a socio-historical criticism of the text of John 3:1-21. Through this study, it was disclosed that the concept of rebirth as expressed in Jesus' conversation with Nicodemus is a concept that was emerge from one group in the John Community. Thus, it is necessary to have an open-minded, which features dialogue, in responding to differences in understanding the concept of rebirth so as not to cause schism in the church.
JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 2022
Dalam dunia senirupa kita sering tak dapat membedakan antara zaman Renaisans dengan zaman Barok. Banyak pecinta seni yang terlalu berfokus hanya pada Michelangelo dan Leonardo da Vinci. Padahal di ujung dari periode Renaisans, yaitu di abad 17, telah muncul suatu angkatan pelukis yang mengembangkan gaya lukisnya sendiri dengan didasarkan pada pencapaian seniman di awal abad Renaisans. Salah satunya adalah pelukis Johannes Vermeer (1632-1675) dan Peter Paul Rubens (1577-1640). Karya-karya Rubens merepresentasikan kondisi transendensi antara realitas dan mitos dalam konteks liminalitas dalam seni. Artikel ini bertujuan membahas tentang karya-karya Paul Rubens dan pada bagian akhir akan membahas secara detail lukisan “Samson dan Delilah” dari Rubens dalam konteks liminalitas seni melalui pendekatan fenomenologi. Jenis penelitian yang digunakan deskriptif kwalitatif dengan perspektif historiografi dan pendekatan fenomenologis. Hasil penelitian ini menunjukan penggalan-pengalan penting k...