PERBANDINGAN PERENCANAAN WILAYAH BERBASIS MITIGASI BENCANA DI JEPANG DAN INDONESIA (Studi Kasus: Tohoku Region dan Kota Banda Aceh) (original) (raw)

PERENCANAAN WILAYAH BERBASIS MITIGASI BENCANA

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas mata kuliah Perencanaan Wilayah yang berjudul "Perencanaan Wilayah Berbasis Mitigasi Bencana, Studi Kasus : Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Kabupaten Sleman"

PERINGATAN DINI DAN POTENSI BAHAYA SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA DI KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT

2020

Kabupaten Majalengka merupakan wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian, pariwisata, dan juga Industri, namun disamping itu Kabupaten Majalengka juga memliki permasalahan, diantaranya adalah Kabupaten Majalengka merupakan kawasan yang memiliki beberapa potensi rawan bencana alam, diantaranya Gunung api, Longsor, Gempa Bumi, serta Banjir. Kabupaten Majalengka bagian utara memiliki 10 Kecamatan yang berpotensi mengalami bahaya kekeringan, dan banjir, karena topografi pada wilayah ini cenderung dataran dengan ketinggian tidak lebih dari 120m diatas permukaan laut. Sedangkan pada wilayah Kabupaten Majalengka bagian selatan dan tengah memiliki 16 kecamatan yang memiliki potensi bahaya bencana Gunung api, Longsor dan juga gempa bumi karena wilayahnya berupa tinggian dengan puncak tertingginya adalah gunung api Ciremai (3078mdpl). Dasar dari pembagian wilayah kerentanan bencana tersebut dilihat dari beberapa parameter, diantaranya Topografi, Kondisi Geologi, Curah Hujan, kondisi Vulkanik, dan laporan kebencanaan Bulanan/Tahunan yang diukur oleh stasiun BMKG Jatiwangi , BMKG Kertajati, BPBD Kabupaten Majalengka, dan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dari permasalahan tersebut peneliti melakukan analisis Kesiapsiagan dan peringatan dini dari potensi bahaya tersebut sebagai upaya mitigasi di Kabupaten Majalengka. Kata kunci: Bencana, Majalengka, Bahaya, Peringatan Dini, Mitigasi

MITIGASI BENCANA BANJIR DI PERUMAHAN MUSTIKA DESA PASIRNANGKA-MATAGARA KECAMATAN TIGARAKSA KABUPATEN TANGERANG

Bencana banjir dapat dikategorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam yang dipicu oleh beberapa faktor penyebab seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah, dan aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeskploitasi alam yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawsan Rawan Bencana Banjir). Bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang selalu terjadi setiap tahun di Indonesia terutama pada saat musim penghujan. Berdasarkan sudut pandang morfologi, banjir terjadi di negara-negara yang mempunyai bentuk bentangalam yang sangat bervariasi dengan sungainya yang banyak. Berdasarkan hasil rekapitulasi bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2014, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dari tahun 1815-2011 adalah banjir sebanyak 3990 kejadian (39%), angin puting beliung sebanyak 1171 kejadian (17%) dan tanah longsor sebanyak 1600 kejadian (16%). Banjir di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia barat, karena tingkat curah hujan yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian timur. Terlebih lagi, curah hujan yang tinggi di wilayah Indonesia bagian barat belum didukung dengan penyediaan infrastruktur drainase yang memadai sehingga aliran air tidak lancar. Kabupaten Tangerang merupakan salah satu wilayah yang sering terjadi banjir. Dari hasil pemetaan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tangerang, terdapat 19 kecamatan yang merupakan daerah rawan bencana banjir diantaranya adalah Kecamatan Tigaraksa, Pasar Kemis, Kresek, Kronjo, Sukadiri, Kemiri, Pakuhaji, Mauk, Gunung Kaler, Sepatan, Jambe, Pagedangan, Kosambi, Teluknaga, Mekar Baru, Sepatan Timur, Rajeg, Jayanti, dan Balaraja (www.kabar6.com, Feb 2016). Banjir di lokasi tersebut disebabkan oleh meluapnya sungai yang melintas di wilayah tersebut. Kelurahan Pasirnangka yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang menjadi titik terparah bencana banjir. Perumahan Mustika Tigaraksa merupakan satu-satunya perumahan di Kelurahan Pasirnangka yang selalu terjadi banjir setiap tahunnya. Banjir ini banyak menyebabkan kerugian bagi masyarakat seperti terhambatnya aktivitas masyarakat untuk bekerja, sekolah, 2 berbelanja dan lain sebagainya akibat sulitnya akses jalan. Selain itu, banjir juga banyak menimbulkan berbagai macam penyakit seperti gatal-gatal, diare, malaria, deman berdarah dan lain sebagainya. Kerugian materi juga dialami oleh masyarakat yang terkena bencana banjir seperti kerusakan dan kehilangan harta benda dan bahkkan dapat menimbulkan korban jiwa. Untuk mengurangi risiko bencana atau kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana banjir, maka perlu adanya upaya mitigasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Untuk itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi karakteristik banjir di Perumahan Mustika Tigaraksa, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis penyebab masalah banjir di Perumahan Mustika Tigaraksa, sehingga dapat merumuskan strategi pengendalian bencana banjir yang tepat di Perumahan Mustika Tigaraksa.

MITIGASI BENCANA DAERAH TUJUAN WISATA STUDI KASUS: PENTINGSARI, NGLANGGERAN, PENGLIPURAN (TOURISM DESTINATIONS DISASTER MITIGATION CASE STUDIES: PENTINGSARI, NGLANGGERAN, PENGLIPURAN)

Journal of Tourism Destination and Attraction, 2019

Abstract The use of MSPDM (Marketibility, Sustainibility, Participatory, & Disaster Mitigation) analysis in community-based tourism (CBT) areas quite helpful. CBT helps stakeholders in planning the development of tourist areas in rural destination. In the MSPDM analysis there are various indicator sizes that can be used to assess a CBT area. In this study, we only present the results of an assessment of the DM/Disaster mitigation aspects of all the MSPDM analysis indicators available. CBT Nglanggeran and Pentingsari in Yogyakarta and Penglipuran in Bali have implemented several things that support disaster mitigation in its areas. The purpose of disaster mitigation is primarily to reduce the risk of disasters that occur to local residents and visitors. Disaster mitigation measures are carried out and adjusted to the characteristics of the local environmental and cultural area. Keywords: MSPDM, Disaster Mitigation, Pentingsari, Nglanggeran, Penglipuran Abstrak Pemanfaatan analisis MSPDM (Marketibility, Sustainibility, Participatory, & Disaster Mitigation) pada kawasan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism/CBT). CBT membantu pemangku kepentingan dalam merencanakan pengembangan kawasan wisata. Di dalam analisis MSPDM terdapat berbagai ukuran indikator yang dapat digunakan untuk menilai suatu kawasan CBT. Pada penelitian ini kami hanya menampilkan hasil penilaian dari aspek DM/ Disaster mitigation (mitigasi bencana) dari keseluruhan indikator analisis MSPDM yang ada. CBT Nglanggeran dan Pentingsari di Yogyakarta serta Penglipuran di Bali telah menerapkan beberapa hal yang mendukung dalam mitigasi bencana di kawasan wisata. Tujuan mitigasi bencana ini terutama adalah mengurangi resiko bencana yang terjadi pada warga lokal dan wisatawan. Tindakan mitigasi bencana dilakukan menyesuaikan karakteristik kawasan lingkungan dan budaya setempat. Kata kunci: MSPDM, Mitigasi Bencana, Pentingsari, Nglanggeran, Penglipuran

UPAYA PENJAGAAN LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA WILAYAH PESISIR

Wawasan Sosial Budaya Maritim, 2019

ABSTRAK Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang bermacam, dari wilayah pesisir sangat membantu dalam pembangunan pada sektor ekonomi Indonesia bahkan dunia. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dalam pemanfaatan wilayah pesisir. Masyarakat pesisir seringkali lupa bahwa keseimbangan lingkungan perlu dijaga setiap saat. Banyaknya pengerusakan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir baik sadar maupun tidak sadar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tentang wilayah pesisir. Banyak dampak yang ditimbulkan dari perilaku masyarakat pesisir yang bertindak seenaknya terhadap lingkungan pesisir. Selain perilaku masyarakat pesisir kondisi alam juga memengaruhi kondisi lingkungan alam pesisir. Lingkungan pesisir terdiri dari bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimanapun juga di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumberdaya di dalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekeci-kecilnya dan untuk menghindari pertikaian antarkepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir. Oleh karenanya dibutuhkan pengenalan atau penyuluhan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mitigasi bencana kepada masyarakat pesisir. Mitigasi merupakan upaya prventiv untuk meminimalkan dampak bencana yang diantisipasi akan terjadi di masa mendatang. Mitigasi bencana sangat penting karena suatu bentuk investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Kata kunci : Wilayah pesisir, Masyarakat pesisir , penjagaan lingkungan pesisir dan mitigasi bencana.

PROSIDING 20 11© ZONASI KAWASAN PESISIR PANTAI MAKASSAR BERBASIS MITIGASI BENCANA (STUDI KASUS PANTAI BARAMBONG-CELEBES CONVENTION CENTRE

Kota Makassar merupakan salah satu kota pesisir yang ada di Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 32 km dan mencakup 11 pulau-pulau kecil dengan luas keseluruhan mencapai 122.370 Ha atau sekitar 1,1% dari luas wilayah daratannya. Fakta tersebut menjadikan Kota Makassar memiliki berbagai keunikan sebagai kota pesisir. Dalam beberapa tahun terakhir, garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan, menurut artikel dari Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir, oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003 halaman 10-11, Kota Makassar merupakan salah satu kota dari 30 kota pantai di Indonesia yang diperkirakan potensial terkena dampak kenaikan muka air laut. Beberapa asumsi dasar tentang kawasan pesisir antara lain; Kawasan pesisir menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan perubahan regim hidrologi akibat aktivitas manusia & pembangunan di daratan dan juga laut lepas, Kawasan pesisir rentan (vulnerable) terhadap perubahan lingkungan. Kawasan pesisir Makassar mengalami degradasi daya dukung lingkungan yang cukup significant yang diakibatkan oleh adanya pemanfaatan ruang yang kurang terkendali dari kegiatan pembangunan serta kondisi geomorfologi kawasan pesisir yang rawan terhadap resiko bencana. Kondisi kawasan pesisir tersebut jika tidak diatasi/diperbaiki dan dimitigasi akan mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir yang juga akan berdampak pada daerah disekitarnya. Perencanaan kawasan pesisir ini perlu ditangani dengan cara mengembangkan konsep mitigasi bencana melalui pendekatan Zonasi yang tepat dengan mempertimbangkan tingkat resiko dan karakteristik kawasan pesisir kota Makassar (wilayah studi). Hasil analisis pantai Kota Makassar dikaitkan dengan tingkat resiko bencana pada wilayah studi yaitu: tingkat resiko bencana wilayah studi terdiri dari dua yaitu tingkat resiko sedang dan tingkat resiko tinggi. Prosentase tingkat resiko bencana yang tinggi adalah 59% (1,96 Km2) sedangkan tingkat resiko sedang 41% (1,35 Km2). Konsep Zonasi berbasis mitigasi bencana yang ditawarkan yaitu, dengan sekmentasi kawasan dalam beberapa kategori Zonasi, yaitu; zona Proteksi, zona Akomodasi, zona Relokasi, sehingga pemanfaatan lahan di kawasan tersebut mempertimbangkan factorfaktor pembatas tersebut. Kata Kunci: mitigasi bencana, kota pesisir, konsep zonasi (segmentation)

INTEGRASI PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA DALAM KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH DI KABUPATEN SUKOHARJO

Pengurangan resiko bencana dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Jalur pendidikan formal diharakan dapat dipergunakan untuk meningkatkan efektivitas pengurangan resiko bencana karena bersifatmassal dan struktural. Namun, standar isi dalam pendidikan menengah telah ditetapkan dalam kapasitas kurikulum sekolah menengah yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk memunculkan mata pelajaran baru. Identifikasi alternatif pendidikan pengurangan resiko bencana melalui pendidikan formal dilakukan dengan mengkaji standar isi yang menjadi acuan kurikulum sekolah menengah dan dengan memperhatikan faktor kekahasan daerah Kabupaten Sukoharjo. Identifikasi dilakukan melalui focus group discussion (FGD) dengan melibatkan guru-guru di kabupaten Sukoharjo. Analisa deskriptif kualitatif dipergunakan untuk mengulas data yang masuk dan menentukan alternatif terbaik dalam mengintegrasikan pengetahuan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah Menengah. Mendasarkan pada karakteristik mata pelajaran dan kekhasan mata pelajaran maka dapat dipergunakan modul sebagai bahan integrasi maupun aplikasi kurikulum terpadu. Kata kunci: pendidikan mitigasi bencana; mitigasi bencana dalam kurikulum sekolah PENDAHULUAN Berbagai keresahan yang muncul dari kalangan masyarakat maupun institusi mengenai kesiapan masyarakat indonesia menghadapi bencana banyak mengemuka pada masa pasca kejadian bencana. Banyak pihak meyakini bahwa sosialisasi mengenai mitigasi bencana harus dilakukan dengan cara cepat dan massal. Namun, sebagaimana disinyalir oleh BAPPENAS (2009) bahwa kegiatan-kegiatan tersebut belum terkoordinasi dengan baik dan belum terintegrasi dalam satu kerangka yang sama. Selain itu, aktivitas pendidikan di berbagai wilayah rawan bencana di Indonesia masih sangat minim dan terpusat. Kajian LIPI (2006-2007) di berbagai wilayah mengenai kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana menunjukkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah sebagai representasi bidang pendidikan (LIPI, 2006 – 2007). Daerah-daerah rawan bencana memerlukan kesiapsiagaan untuk mengurangi resiko bencana. Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi untuk mengalami bencana namun dalam pendidikan belum memasukkan pengetahuan mitigasi bencana. Pada

ARTI PENTING PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA DALAM MENGURANGI RESIKO BENCANA

The Significance of Disaster Mitigation Education in Reducing Disaster Risks. More than 60% of the areas in our country are threatened by earthquakes, besides tsunamis, volcano eruptions, floods, landslides, forest fires, and biodiversity degradation. This article focuses on the mitigation of such natural disasters, especially earthquakes, tsunamis, and volcanic eruption, through the Disaster Risk Reduction (DRR) program. Up to now, there has been no technology capable of accurately predicting when earthquakes and tsunamis will occur. One effective action to anticipate them is through sustainable education and training programs for children, youths, and adults. The goals of the programs are to provide them with self-help to save their lives, encourage them to participate in the programs, and make the adults initiators in the disaster management. Thus the curriculum should be designed for learning and training to implement the DRR program and should include local wisdom.