INTEGRASI AGAMA DAN SAINS DALAM PERSFEKTIF TASAWUF (original) (raw)

Bertemunya antra agama dan ilmu-ilmu sosial harus diletakkan dalam dua dimensinya, yaitu normativitas dan historisitas. Aspek normativitas ditekankan pada ajaran wahyu yang berupa teks-teks keagamaan, sedangkan sisi historisitas terletak pada pemahaman dan bagaimana orang atau kelompok orang melakukan interpretasi terhadap aturan-aturan agama dan menjadi pilihannya yang kemudian menjadi aktivitas kesehariannya. Namun, aspek normatif dan historis kerap berjalan secara timpang. Misalnya, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya. Akibatnya, manusia terpinggirkan dari kandungan nilai spiritualitas-moralitas dan terasing dari aspek-aspek kehidupan yang menopang kehidupannya. Akibatnya, proses dehumanisasi secara massif dalam berbagai aspek kehidupan dalam keberagamaan maupun aplikasi keilmuan terjadi. Akan tetapi, seiring perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan yang semakin kompleks, dikotomi radikal normatifitas dan historisitas mengalami shifting paradigm keilmuan. Integrasi tasawuf dan kebudayaan dalam hubungannya akan memperlihatkan hal yang sama: Kebuadayaan adalah realitas, yang sudah diciptakan, sudah dihasikan, sudah terbentuk atau sudah dilembagakan. Ini berarti, pengelihatan ilmu sosial terhadap budaya adalah memandang sebagai produk. Jika budaya dilihat sebagai sebuah proses, maka proses itupun adalah suatu proses, sebgaimana suadah ada, sebgaimana sedang berjalan. Kebudayaan itu terbentuk oleh sebuah kelompok yang dilakukan berulang-ulang dan diakui oleh masayarakat. Dalam kenyataan seperti itu, agama tidak lain menjadi identik dengan tradisi. Atau sebuah ekspresi budaya yang keyakinan orang terhadap suatu yang suci, tentang ungkapan keimanan terhadap yang kuasa. Jika hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang sifatnya sangat relatif. Artinya bahwa, kebenaran agama yang diyakini setiap orang sebgai yang " benar " , pada dasarnya hal itu sebatas yang bisa ditafsirkan dan diekspresikan oleh manusia yang relatif atas " kebenaran " , tuhan yang absolut. Dengan demikian apapun bentuk yang dilakukan oleh sikap manusia untuk mempertahankan, memperbaharui atau memurnikan tradisi agama, tetap saja harus dipandang sebagai fenomena manusia atas sejarahnya, tanpa harus dilihat bahwa yang satu berhak menegasikan " kebenaran " yang diklaim oleh orang lain, sambil menyatakan bahwa " kebenaran " yang dimilikinya sebagai yang " paling benar.