Tesis: BENDERA DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (KAJIAN KONTEKS SEJARAH, KONTEKS BUDAYA, DAN ESTETIKA SEMIOTIS) (original) (raw)
INTISARI Penelitian ini mengkaji bendera yang digunakan Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY). Partai politik yang tidak masuk parlemen ini menggunakan dua jenis bendera, liwa dan rayah. Liwa berwarna putih dan rayah berwarna hitam, keduanya bertuliskan kaligrafi Arab berlafaz kalimat sahadat. Bendera itu dikaji dari konteks sejarah, konteks budaya, dan estetika semiotis. Data penelitian kualitatif ini diperoleh melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan kajian pustaka. Melalui konteks sejarah terlihat, liwa dan rayah pernah digunakan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya, berbagai jenis bendera bermunculan pada periode Khilafah Umawiyah hingga Usmaniyah. Setelah keruntuhan Khilafah, beberapa organisasi Islam, termasuk Hizbut Tahrir (HT), kembali mengibarkannya. Dalam konteks budaya terungkap, liwa dan rayah disiapkan sebagai bendera negara Khilafah yang dicita-citakan HT. HTI DIY menegaskan bahwa bendera itu bukan benderanya tapi bendera Islam, namun hampir semua kegiatannya yang bersifat terbuka menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa bendera tersebut menjadi artefak penting baginya. Analisis estetika semiotis menunjukkan, sebagai objek estetis, bentuk liwa dan rayah di HTI DIY memperlihatkan keragaman, namun tetap sesuai dengan acuan yang tertulis di buku resmi HT. Bendera itu mengandung nilai estetis yang berupa: nilai simbolis, yaitu mengacu pada Islam dan Khilafah; nilai ikonis, yakni peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad; dan nilai indeksikal, menunjukkan keberadaan HTI DIY. Pengalaman estetis yang dialami aktifis HTI DIY, ketika melihat penggunaan bendera itu, berupa efek emosional yang berujud rasa haru atau sublim. Pengalaman itu terjadi bersamaan dengan efek energetis yang berupa acungan kepalan tangan; maupun efek logikal tentang penegakan Khilafah. Kata kunci: Liwa dan rayah, Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, estetika semiotis, konteks sejarah, konteks budaya. === ABSTRACT This study examines the flag used by Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta (HTI DIY). There are two kinds of flags, liwa and rayah. Liwa’s ground is white and Rayah’s color is black, both charged the profession of faith (shahada) in Arabic Calligraphy. Those flags are analyzed from a historical context, cultural context, and semiotic aesthetics. This qualitative research data obtained through observations, interviews, documentation studies, and literature review. In the historical context, liwa and rayah have been used by the Prophet Muhammad and the first four caliphs. Furthermore, different types of flags were popped up in the period of Umayyad until Ottoman Caliphate. After the collapse of the Caliphate, the Islamic organizations, including Hizb ut-Tahrir (HT), re-raise it. In cultural contex, liwa and rayah will be flags of a new Caliphate aspired by HT. HTI DIY confirms that both were not flags of HT but flags of Islam. However, almost all of its external activities exploit them. This indicates that the flags has become an important artifact for it. In semiotic aesthetics, as aesthetic object, the forms of liwa and rayah show varieties, but still in accordance with written references in its official book. Those flags contain aesthetic values, that is: symbolic values, which refer to Islam and the Caliphate; iconic value, i.e. imitation of flags of Muhammad prophet; and indexical value, indicating the presence of HTI DIY. Aesthetic experience experienced by HTI DIY activists when looking at the use of the flags is depicting the emotional effects, as tumult or sublime. This experience occurs simultaneously with energetical efect, that is a fist raising; and logical efect, that is reviving of Caliphate. Key words: Liwa and rayah, Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta, semiotic aesthetics, historical contex, cultural contex.