Kertas Kebijakan - PENETAPAN HUTAN ADAT MENUJU PENGAKUAN HAK MASYARAKAT ADAT (original) (raw)

Paska putusan MK 35, Perkumpulan HUMA dengan 12 mitra lokalnya, melakukan upaya-upaya untuk mendorong pelaksanaan putusan tersebut. Salah satu langkah awal adalah melakukan riset di 13 lokasi yang diselenggarakan sepanjang Februari-Oktober 2014. Salah satu tujuan utama dari riset tersebut adalah memeriksa tingkat pemenuhan produk hukum daerah di 13 daerah terhadap persyaratan yang dikehendaki oleh peraturan perundangan nasional berkenaan dengan pengakuan masyarakat adat. Ketiga belas lokasi riset tersebut adalah: 1) Seko di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan; 2) Marga Serampas di Kabupaten Merangin, Jambi; 3) Mukim Lango di Kabupaten Aceh Barat, Aceh; 4) Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak, Banten; 5) Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; 6) MalaloTigo Jurai di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat; 7) Margo Suku IX di Kabupaten Lebong, Bengkulu; 8) Ketemenggungan Desa Belaban Elladi Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat; 9) Ngata Marena di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah; 10) Lipu Wana Posangke di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengan; 11)Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, Aceh; 12) Ketemenggungan Desa Tapang Semadak di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat; dan 13) Kampong Mului di Kabupaten Paser. Hasil riset di 13 lokasi tersebut menunjukan bahwa sebagian daerah sudah memiliki produk hukum daerah (Perda, SK) yang mengukuhkan atau menetapkan masyarakat hukum adat tertentu. Sebagian yang lain belum memiliki produk hukum daerah tersebut. Terhadap daerah-daerah yang sudah memiliki produk hukum daerah, perlu diperiksa apakah bentuk dan muatan produk-produk hukum daerah tersebut sudah sesuai dengan yang ditentukan oleh peraturan perundangan nasional. Bentuk menyangkut jenis peraturan sementara muatan terkait dengan kriteria masyarakat hukum adat. Pemeriksaan tersebut akan sangat menentukan apakah pengakuan bisa dilanjutkan ke dua tahapan berikutnya yaitu pelepasan dari kawasan hutan negara dan pengakuan hak. Pekerjaan memeriksa pemenuhan tersebut tidak akan akan berlangsung mudah karena muatan berbagai peraturan perundangan nasional mengenai pengakuan masyarakat adat sebagaimana digambarkan sebelumnya, tidak sepenuhnya saling sinkron. Ketidaksinkronan tersebut meliputi perbedaan bentuk peraturan dan proses pengukuhan keberadaan masyarakat adat dan perbedaan proses penetapan hutan adat. Kertas kebijakan ini dibuat dengan latar belakang seperti di atas sehingga dengan demikian tujuannya adalah memberikan gambaran mengenai tingkat pemenuhan bentuk dan muatan produk hukum daerah yang terkait dengan pengukuhan keberadaan, serta menyediakan panduan untuk melakukan tahapan pelepasan dari kawasan hutan negara dan pengakuan hak. Pengakuan hak yang dimaksud dalam hal ini adalah tindakan hukum yang membolehkan masyarakat hukum adat sebagai kelompok,untuk memiliki, memanfaatkan dan menggunakan sumberdaya hutan dan tanahnya tanpa harus selalu mendapat persetujuan daripemerintah. Kertas Kebijakan ini dihasilkan melalui serangkaian kegiatan. Proses pembuatannya diawali dengan penelitian, termasuk kunjungan lapangan ke 13 lokasi, yang tujuannya mengumpulkan data-data yang terkait dengan kriteria atau indikator keberadaan suatu masyarakat adat. Kunjungan lapangan dilakukan dalam periode Februari-Oktober 2014. Penelitian tersebut melahirkan sebuah laporan yang kemudian dijadikan bahan utama untuk menyusun Kertas Kebijakan ini. Untuk keperluan mengumpulkan komentar dan masukan dalam rangka penyempurnaan Kertas Kebijakan, diselenggarakan sebuah lokakarya di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, pada 27-28 April 2015.