FENOMENA TRANSGENDER CHILDREN (original) (raw)

ASPEK PSIKOLOGI, SOSIAL-KULTURAL DAN SIKAP ISLAM TERHADAP PERILAKU TRANSEKSUAL DI INDONESIA

FENOMENA, 2015

In today's life many contemporary Islamic issues that caused several aspects, one of which is the social aspect where this aspect is usually discussed and became the hottest news in social life. There sebagain individuals who feel the lack of unanimity in the provision of public attitudes towards himself. This is what happened to transsexual and genital surgery. Those who have and do the things that feel cornered because people assume the actions carried out under the assumption that they have been violated. Transsexual is a person whose way of behaving or not according to the appearance of gender roles in general. Transsexual is a person who in the various levels of "breaking" cultural norms about how men and women should have it. One woman, for example, are culturally required to tender. If such a man of character, it's called transsexuals. Some are transsexual wearing the opposite sex, either occasionally or regularly. Transsexual behavior, which might make some people change gender, as male sex change into a woman, and vice versa. Many things can affect the formation of transsexual behavior. From the biological point of view can affect the genetic aspects of the condition. Being from the standpoint of social-psychological and cultural aspects are divided into three dominant. The third aspect of the social environment, perkembangn cognitive, and personality. While being essential for Muslims to take a stand against the potential problems that may result from the presence of the transsexual behavior. But in spite of these problems wise us in maintaining harmony in the life of this world.

PARAFILIA: NATURE ATAU NURTURE? TINJAUAN TEOLOGIS DAN PSIKOLOGIS

Abstrak Diskursus parafilia telah menjadi perhatian publik. Penanaman nilai-nilai agama yang kuat dan pendidikan seks sejak dini menjadi kebutuhan yang tidak bisa dielakkan oleh masyarakat. Dari sisi teologis maupun psikologis, parafilia ada yang sifatnya given (nature), dan ada pula yang disebabkan oleh karena pengaruh lingkungan (nurture). Artikel ini mencoba mengulas mengenai keberadaan parafilia, baik dari sisi hukum syariat maupun psikologisnya, yang pada jaman dahulu berdasarkan norma sosial yang berlaku dianggap sebagai tindakan menyimpang, tapi kini norma tersebut justru dipertanyakan, bahkan digugat dengan dalih kesamaan hak asasi sebagai manusia. Meski secara teologis, ajaran Islam jelas melarang hubungan seksual yang tidak berdasar aturan syariat. Abstract The discourse of paraphilia has become public attention. Enforcing religious values and sex education since on the early stage is an inevitable need by the society. Theologically and psychologically, there are paraphilia which characteristically given (nature) and also nurture or affected by its environment. This article tries to explore the existence of paraphilia, theologically based on Islamic law and physiologically, which is for longtime based on the societal norm judged as deviant, but today the norm was questioned, even criticized through the reason of human right. Even theologically, Islamic teaching has clearly prohibited sexual relation which is not properly following the sharia law.

POLITIK, HUKUM, DAN PENGUATAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Buku Antologi, Suka Press, ISBN : 978-602-1326-61-9, 2018

Hampir dua dasawarsa Indonesia telah melewati proses reformasi (transisi demokrasi) dengan berbagai perubahan materi konstitusi, regulasi dan restrukturisasi ketatanegaraan. Namun dalam dua level kehidupan negara, berubahan masih dirasa belum signifikan. Pada level struktural kenegaraan, penyelenggara negara, birokrasi dan aparatur pemerintahan masih terjebak dalam pusaran korupsi, konflik kelembagaan, egoisme sektoral, degradasi moral seperti asusila dan narkoba. Di level akar rumput yakni masyarakat sendiri, kesenjangan ekonomi masih tinggi, kemiskinan semakin meluas, kerusakan lingkungan semakin parah, dan konflik berbagai isu SARA dan kekerasan juga tak kunjung berkurang. Secara konseptual, demokrasi yang telah diintroduksi dalam reformasi politik sebagai landasan konstitusional kedaulatan rakyat, seharusnya mampu memberi jalan keluar dan mencegah reproduksi masalah tersebut. Sebab, demokrasi telah membebaskan jeratan otoriterisme sehingga kebebasan akan menjamin perolehan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan politik secara damai, namun kesempatan yang sama dalam demokrasi dapat menjadi sarana pencapaian keadilan hukum yang substantif. Jika merunut pada proses demokratisasi regulasi dan kelembagaan, beberapa hasil yang telah dicapai misalnya adanya regulasi yang partisipatoris, munculnya lembaga negara bantu yang independen, pembentukan lembaga tinggi negara baru, pendirian sejumlah partai politik baru, rekruitmen keanggotaan parpol yang terbuka dan bebas, netralitas aparatus sipil dan nonsipil pemerintah dalam politik partai, rekruitmen jabatan publik melalui parlemen, dan pengawasan kebijakan pemerintah dan kekuasaan kehakiman melalui parlemen, dan yang paling prestisius adalah kewenangan parlemen atas kebijakan politik anggaran. Harus diakui bahwa transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan kado istimewa bagi sebuah otoritas parlemen dan partai politik sekaligus. Amandemen UUD 1945 telah memberikan alas konstitusional pada pilar kekuasaan ini melalui Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15, dan yudikatif ketika terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden (Pasal 7A dan B dan Pasal 24C ayat (1)). Takcukup sampai di situ, manifestasi parlemen diperkuat dengan pengaturan partai politik dan sistem rekruitmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Partai politik menjadi suprastruktur dalam sistem ketatanegaraan (Pasal 6A (rekruitmen capres/cawapres), Pasal 7A dan B (Mekanisme pemberhentian Presiden), pengusung calon Kepala Daerah/ wakil kepala daerah (Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 29 UU Parpol), peserta pemilu untuk memilih anggota DPRD dan DPRD adalah Partai Politik (Pasal 22E ayat (3)), pembubaran parpol oleh MK (Pasal 24C ayat (1)). Melebarnya ‘kelopak’ kuasa parlemen dan partai politik seharusnya dapat mendorong proses demokratisasi pemerintahan dari sekedar prosedural menjadi lebih substansial, dari sekedar instrumental menjadi prinsipal. Namun disayangkan, hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, pasca pemilu 1999 delegitimasi partai politik dan parlemen justru terus mengalami penurunan. Berbagai skandal hukum kerap menyeret kader parpol. Perpecahan internal parpol kerap terjadi. Kekisruhan jabatan di kalangan parpol di parlemen terus meruncing. Perseteruan konflik kewenangan antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara bantu kerap terjadi. Mengapa demokrasi masih gagal melahirkan partai politik yang progresif? Partai politik yang seperti apakah yang kita butuhkan? Bagaimana caranya? Apa yang menjadi tujuan dari sebuah partai politik itu?

Psikolog dan waria, ada apa? (Psychologist and transgender, what is matter?)

Waria or transgender are individuals who uncomfortable with biological genitalia and gender norms that conflict with gender identity. For waria, male body is a "prison" and they strive to be free from it with conditioning the body to the female body. Stigma and discrimination toward waria making them difficult to be opened, it makes iceberg's phenomenon. However, according to the Department of Social Welfare until the year 2008 amounted to 11.049 transgender people in Indonesia. Transgender, which is considered abnormal, classified as having irregularities social pathology. As a consequences, arise the view that transgender is an object that must be disciplined and punished so the discrimination towards transgender is considered as the exclusion of all forms of social relations. The evidence, National Human Rights Commission received about 1.000 cases of torture toward waria every year. Discrimination against waria, which is a form of transphobia and lead to human rights violations, placing transgender into a vicious circle: the impoverishment-prostitution-sexual infection. Ironically, psychopathologization of transgender is a product of psychology and psychiatry. However, " Gender Identity Disorder " changes into Gender Dysphoria in the DSM V is confirmed that waria are more likely to describe the condition of a person, not as a nuisance. Psychologists as a professional helper should hold the principle that all human beings have the same rights, including waria. So, the answer to "Psychologists and Transgender, What The Matter?" is depathologization. The way is through psychoeducation to the public about transgender condition in order to stigma and discrimination toward transgender can be eliminated and increase public empathy. Psychologists can also provide psychological assistance to waria through self-acceptance, preventing internalization transphobia, increase self esteem, and help the process of resilience especially waria who got violence.

Prosiding Seminar Nasional &Temu Ilmiah Jaringan Peneliti IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM DAN EKSISTENSI LGBT DI INDONESIA

Abstrak Dalam Islam hasrat seksual adalah fitrah manusia, sehingga hal tersebut merupakan sebuah kodrat. Akan tetapi, hukum Islam telah mengatur bagaimana menyalurkan hasrat seksual biologis manusia yang benar yaitu melalui lembaga perkawinan. Islam tentu sangat menolak atas penyimpangan seksual seperti LGBT. Pada dasarnya eksistensi LGBT di Indonesia dalam perspektif HAM memiliki hak yang sama seperti halnya semua orang, pemenuhan hak-hak tersebut meliputi hak untuk non-diskriminasi. Namun, eksistensi organisasi LGBT yang dianggap merupakan bagian dari HAM perlu dipahami bahwa disisi lain konsep HAM dalam Islam tidak sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqâshid alsyarî'ah (tujuan syari'ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama. Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Islam dan Organisasi LGBT PENDAHULUAN Dalam Islam hasrat seksual adalah fitrah manusia, sehingga hal tersebut merupakan sebuah kodrat. Akan tetapi, hukum Islam telah mengatur bagaimana menyalurkan hasrat seksual biologis manusia yang benar yaitu melalui lembaga perkawinan. Islam tentu sangat menolak atas penyimpangan seksual seperti LGBT. Dalam al-Qur " an dan Hadis sudah dijelaskan bahwa homoseksual merupakan perbuatan keji yang telah dilarang keras. Apabila terjadi penyimpangan seksual, maka penyimpangan tersebut disebabkan oleh peradaban manusia dewasa ini yang telah

Pengalaman Interaksi dan Penyesuaian Sosial Waria: Studi Kasus Waria Yang Tinggal di Gang 'X' Surabaya

2016

The aim of this study was to understand the experience of social interaction and adjustment among transvestites who live in Gang 'X' Surabaya. This qualitative study was a case study. The participants were five transvestites selected using purposive and snowball sampling. Data collected using semi-structured interviews and analyzed using thematic analysis. The result shows four themes namely the perception of social acceptance, the experiences of direct interaction, social adjustment of transvestites and the ways the participants use to overcome problem and difficulties in interaction. In general, the transvestites experience both positive and negative reaction from their neighbors. They also participate actively in direct social interaction and give some contribution. However, they still experience some psychological discomfort that requires them to solve. The participants use emotional focused and problem focused coping to solve the problems. Keywords: transvestites, social interactions, social adjustment. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman interaksi dan penyesuaian sosial waria di Pacarkembang Gang 'X' Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lima waria dipilih sebagai partisipan menggunakan purposive dan snowball sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur dan observasi semi-partisipan dan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini menunjukkan empat tema yaitu persepsi penerimaan sosial, pengalaman interaksi secara langsung, penyesuaian sosial waria dan strategi mengatasi masalah dan kesulitan berinteraksi. Secara umum, waria mendapatkan reaksi secara positif maupun negatif dari warga sekitar. Mereka juga berpartisipasi aktif dalam interaksi sosial secara langsung dan memberikan kontribusi dalam kegiatan tertentu di kampunya. Namun, mereka masih mengalami beberapa permasalahan yang mengharuskan mereka untuk mengatasinya. Para partisipan menggunakan strategi berfokus pada emosi dan berfokus pada problem dalam rangka mengatasi kesulitan dari lingkungannya. Kata Kunci: waria, interaksi sosial, penyesuaian sosial. References Daftar Pustaka Ahmadi, A. (2007). Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Almog, N. (2011). Academic and Social Adjustment of University Students with Visual Impairment. Tesis, tidak diterbitkan. Online. http://in.bgu.ac.il. Diakses 15 Juli 2015. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Fifth Edition. Washington, DC. Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Edisi 10, Jilid 1. (Alih Bahasa: Ratna Djuwita). Jakarta: Penerbit Erlangga. Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychology. Qualitative Research in Psychology, 3 (2), 77-101. Online. http://eprints.uwe.ac.uk. Diakses 29 Desember 2014. Corrigan, P. W. (2004). Beat the Stigma and Discrimination! Four Lessons for Mental Health Advocates. Online. http://workingwelltogether.org. Diakses 25 Januari 2015. Daldjoeni, N. (1997). Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni. Danandjaja, J. (2003). Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual di Indonesia sehingga Perlu Ditanggulangi Segera. Online. http://www.lfip.org. Diakses 15 Desember 2014. Faaizah, L. (2013). Persepsi Masyarakat Muslim terhadap Waria dan Dampak Hubungan Sosial (Studi di Kampung Sidomulyo RT XVI RW XIV, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta). Skripsi, tidak diterbitkan. Online. http://digilib.uin-suka.ac.id. Diakses 13 Juli 2015. Haq, A. (2012). Ritual Bissu, Waria-Waria Sakti di Bone. Online. http://nasional.kompas.com. Diakses 15 Desember 2014. Herdiansyah, H. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif: untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Hinshaw, S.P. (2005) The Stigmatisation of Mental Illness in Children and Parents: Developmental Issues, Family Concerns, and Researchneeds. Journal of Child Psychology and Psychiatry 46(7), 714–734. Huang, K. (2012). Tales of the Waria: Inside Indonesia’s Third-Gender Community. Online. http://huffingtonpost.com. Diakses 15 Desember 2014. Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2012). Kementerian Sosial dalam Angka, Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Online. http://www.dissos.jabarprov.go.id. Diakses 9 Desember 2014. Koeswinarno. (1993). Profil Waria Yogyakarta. Yogyakarta: PP Kependudukan Universitas Gajah Mada. Koeswinarno. (2004). Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LkiS. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Apraisal, and Coping. New York: Springer. Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. (Alih Bahasa: Anindito Aditomo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nadia, Z. (2005). Waria: Laknat atau Kodrat?. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Ningsih, E. S. W., & Syafiq, M. (2014). Pengalaman Menjadi Pria Transgender (Waria): Sebuah Studi Fenomenologi. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 3, 1-6. Oetomo, D. (2001). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press. Pahlawani, N. (2011). Dinamika Psikologis Harga Diri pada Waria. Skripsi, tidak diterbitkan. Online. http://eprints.ums.ac.id. Diakses 15 Juli 2015. Prabowo, S. (2006). Studi Kasus Kehidupan Sosial Kaum Masyarakat Paiton Kabupaten Probolinggo. Online. http://student-research.umm.ac.id. Diakses 20 Juli 2015. Pyror, J. B. & Reeder, G. D. (2013). Stigma: Advances in Theory and Research. Basic and Applied Social Psychology. 35, 1-26. Online. http://portal.ou.nl. Diakses 30 Desember 2014. Rachman, A. (2014). Waria Show: Politik Identitas Waria Pedesaan di Mojosari Mojokerto dan Nilai Edukasinya. Skripsi, tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Saparudin. (2015). Strategi Waria Memperjuangkan Pengakuan Diri sebagai Jenis Kelamin Ketiga (Studi Kasus di Kelurahan Juata Laut, Kecamatan Tarakan Utara). eJournal Sosiatri – Sosiologi. 3 (3): 104-124. Online. http://ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id. Diakses 20 Juli 2015. Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajawali. Suryadjaja, F. (2014). Kekerasan pada Kaum Transgender. Online. http://berita.suaramerdeka.com. Diakses 12 Desember 2014. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Seas, D. O. (2009). Psikologi Sosial. Edisi Kedua Belas. (Alih Bahasa: Tri Wibowo B. S.). Jakarta: Kencana. Winter, S. (2012). Lost in Transition: Transgender People, Rights, and HIV Vulnerability in The Asia-Pasific Region. Online. http://undp.org. Diakses 18 Desember 2014.