(1) Mengenal Rezim Hukum WTO dan Rezim Hukum HAM Internasional (Sarah Joseph, 2012, "Blame It on WTO?: A Human Critique" (Oxford: Oxford Press)). (original) (raw)
Related papers
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Bab ini menganalisis pendapat yang menyatakan telah terjadi “defisit demokrasi” di WTO. Adanya defisit memunculkan sangsi terhadap legitimasi dan keragu-raguanan terhadap cita-cita yang hendak dicapai oleh segala aturan main WTO. Pertama-tama, bab ini akan mengupas proses pengajuan klaim di internal WTO. Misalnya, jalannya negosiasi dan penyelesaian sengketa yang justru melemahkan kapasitas anggota karena wajib mengambil kebijakan sejalan dengan keinginan anggota WTO lainnya berdasar hasil voting. Hal ini merupakan yang ingin dikaji dalam bagian pembukaan bab ini. Di samping itu, bab ini juga menganalisis proses jalannya kelembagaan WTO yang merugikan konstituen tertentu, yaitu bagi negara-negara berkembang dan kepentingan keadilan sosialnya. Kedua, membahas isu-isu di atas yang beresonansi terhadap hukum HAM internasional, khususnya hak partisipasi politik dalam Pasal 25 ICCPR 1966, sebagaimana akan diuraikan nanti. Ketiga, membahas dugaan banyaknya defisit demokrasi dari dan di dalam WTO yang berdampak pada rezim hukum internasional lainnya. Untuk memeriksanya, perlu mengomparasikan dua rezim hukum tersebut, dengan maksud mengidentifikasi kebenaran terjadinya defisit demokrasi di WTO. Hal ini penting mendapat perhatian lebih dibanding terjadinya defisit demokrasi yang terjadi dalam ranah tata kelola internasional lain pada umumnya. Keempat, saya beranjak membahas secara argumentatif mengenai dampak dari praktik demokrasi di WTO secara singkat. Subbab tersebut akan membahas subtansi dari pertanyaan apakah WTO benar-benar merangsang pengembangan demokrasi di setiap negara anggotanya terlepas dari minimnya legitimasi demokrasi di lingkup domestiknya. Subbab kelima membahas proposisi terkait benarkah adanya WTO bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara berkembang dalam memenuhi kewajiban HAM-nya terlepas dari kelemahan tata kelola pemerintahan nasionalnya. Subbab keenam berisi simpulan bab ini.
Vivi Sandra, 2021
World Trade Organization (WTO) hadir sebagai lembaga yang berperan dalam penyelesaian sengketa dalam perdagangan internasional yang terjadi pada negara-negara anggotanya. Saat ini, aktivitas perdagangan internasional semakin kompleks, dan di dalamnya terkandung pula banyak potensi sengketa antara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Nikel menjadi salah satu bahan tambang mineral yang diperdagangkan di pasar global oleh Indonesia sejak dahulu. Namun, Indonesia mulai membatasi bahkan melarang ekspor bijih nikel karena dilatarbelakangi oleh beberapa alasan yaitu jumlah cadangan nikel dalam negeri yang jumlahnya semakin sedikit, Indonesia ingin mengembangkan hilirisasi dan industrialisasi dari bahan mentah, dan Indonesia ingin membatasi pembangunan proyek smelter nikel. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel tersebut, justru memunculkan gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia karena alasan Indonesia telah melanggar ketentuan Pasal XI ayat (1) GATT 1994 mengenai penghapusan terhadap pembatasan jumlah impor (General Elimination on Quantitative Restriction) dan menilai Indonesia menghambat perdagangan internasional. Gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel, sedang dalam proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh WTO melalui Dispute Settlement Body (DSB). Kata kunci: WTO, kebijakan larangan ekspor bijih nikel, gugatan Uni Eropa, GATT.