PERAN SEMAR DALAM PERTUNJUKAN KULIT JAWA GAYA SURAKARTA (original) (raw)
MORALITAS JAWA DALAM WAYANG KULIT PURWA: TINJAUAN PADA LAKON LAIRE SEMAR Darmoko
The Javanese leather puppet use myths about the gods, prophets, spirits, and people of the ancient time, besides the texts of Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana, and Mahabarata to teach prudence and to enable men to respond to the happenings of their natural life, or " daya-daya kekuatan alam " (van Peursen, 1989: 37). These myths contain the moral philosophy about the relation of men with other men, with nature, and with God, determined by a pattern of thought which orients itself toward the principles of harmony and balance. The paper highlights the story of the birth of Semar, or Laire [in English: la-ee-ray} Semar, which shows how the Javanese morality was constructed and power in the Javanese conception implemented. Semar, god in human form, reveals the essence of power a king should have, and teaches that power is a godly characteristic used to enhance goodness. This concept is against the belief that power is ruthlessness and domineering that is hidden in good-look, princely manner and power. His ugly looking reflects the importance of inner strength which is generous and kind, over handsome outward look, but has a mean heart As an expression of arts, the puppeteers hold an important role to distribute the stories that have philosophical meaning to the audience when the leather puppet show was conducted. A puppeteer, after all, carries a holy role. Abstrak Lakon-lakon wayang kulit purwa bersumber pada mitos awal jaman mengenai kisah dewa-dewa, nabi-nabi, jin, dan manusia, disamping cerita dari teks Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana dan Mahabharata yang memberikan pedoman hidup dan berlaku bijaksana dalam menganggapi kejadian-kejadian sekitarnya yaitu " daya-daya kekuatan alam " (van Peursen, 1989: 37). Lakon-lakon sebagai mitos ini memuat filosofi moralitas yang berisi pemikiran tentang hubungan kehidupan manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, yang ditentukan oleh pola pemikiran yang berorientasi pada prinsip-prinsip keharmonisan dan keseimbangan. Makalah ini mengangkat permasalahan dalam lakon Laire Semar bagaimana filosofi moralitas Jawa dibangun dan konsep tentang kekuasaan Jawa diimplementasikan. Semar, seorang dewa dalam rupa manusia, memperlihatkan arti inti dari kekuasaan yang dimiliki seorang raja, mengajarkan bahwa kekuasaan adalah sifat yang luhur yang diamalkan untuk kebaikan. Konsep ini bertentangan dengan pandangan yang mengatakan bahwa kekuasaan harus dibarengi dengan kekejaman dan dominasi, yang disembunyikan dibalik wajah yang tampan, berlaku seperti seorang raja dan berkuasa. Wajahnya yang buruk menunjukan pentingnya kekuatan dari dalam, yang melakukan kemurahan hati dan kebaikan, bukan rupa lahiriah yang tampan. Sebagai ungkapan seni, dalang berperan penting dalam mendistribusikan lakon-lakon yang memuat filosofi kehidupan kepada penonton yang hadir pada pertunjukan wayang kulit yang dimainkannya. Dalang, dengan demikian, adalah seseorang yang menjalankan peranan yang suci. Pendahuluan Pertunjukan wayang kulit purwa mempergelarkan lakon yang bersumber pada kisah mengenai dewa-dewa, nabi-nabi, jin, dan manusia pada awal jaman, disamping cerita dari teks Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana dan Mahabharata. Lakon-lakon wayang kulit purwa tersebut mengajar tentang filosofi moralitas yang dapat dipergunakan sebagai baromater sejauh mana kedalaman pengetahuan kebudayaan Jawa. Lakon-lakon wayang kulit purwa itu pun juga merupakan hasil kreativitas asli Jawa yang dikembangkan melalui pemikiran yang mendalam terkait dengan masalah-masalah hubungan kehidupan manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sumber-sumber lakon wayang kulit purwa ini sangat populer di kalangan masyarakat pendukungnya, karena di dalamnya terdapat tokoh, peristiwa, dan latar yang digarap sesuai dengan keinginan penulis, dalam hal ini seorang dalang atau sutradara. Garapan tersebut menyangkut nilai-nilai kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa, seperti religi, seni, bahasa dan sastra, filosofi dan pengetahuan. Filosofi moralitas Jawa merupakan nilai-nilai dasar bagi masyarakat Jawa dalam bertuturkata, bersikap, dan berperilaku yang ditentukan oleh pola pemikiran yang berorientasi pada prinsip-prinsip keharmonisan dan keseimbangan di dalam alam semesta. Lakon wayang kulit purwa itu sendiri dipandang sebagai mitos, yakni cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam (van Peursen, 1989: 37). Dalang sebagai agen budaya Lakon-lakon wayang kulit purwa dipergelarkan oleh dalang melalui berbagai gagrag atau gaya. Beberapa gagrag pedalangan yang tumbuh dan berkembang di Jawa ada yang berorientasi pada istana namun ada juga yang tidak berkiblat pada istana. Secara garis besar gagrag pedalangan yang mengacu kepada istana terbagi menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Gagrag pedalangan Yogyakarta sering disebut gagrag Mataraman. Sedangkan yang tidak berkiblat pada istana, antara lain gagrag Jawa-Timuran dan Banyumas. Masing-masing gagrag pedalangan memiliki pengaruh yang kuat sesuai dengan tumbuh dan berkembangnya gagrag pedalangan serta persebaran masyarakat pendukung gagrag itu sendiri. Gagrag pedalangan Surakarta Paradigma, Jurnal Kajian Budaya Moralitas Jawa dalam Wayang Kulit Purwa, Darmoko 16 17 MORALITAS JAWA DALAM WAYANG KULIT PURWA: TINJAUAN PADA LAKON LAIRE SEMAR Darmoko Abstract The Javanese leather puppet use myths about the gods, prophets, spirits, and people of the ancient time, besides the texts of Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana, and Mahabarata to teach prudence and to enable men to respond to the happenings of their natural life, or " daya-daya kekuatan alam " (van Peursen, 1989: 37). These myths contain the moral philosophy about the relation of men with other men, with nature, and with God, determined by a pattern of thought which orients itself toward the principles of harmony and balance. The paper highlights the story of the birth of Semar, or Laire [in English: la-ee-ray} Semar, which shows how the Javanese morality was constructed and power in the Javanese conception implemented. Semar, god in human form, reveals the essence of power a king should have, and teaches that power is a godly characteristic used to enhance goodness. This concept is against the belief that power is ruthlessness and domineering that is hidden in good-look, princely manner and power. His ugly looking reflects the importance of inner strength which is generous and kind, over handsome outward look, but has a mean heart As an expression of arts, the puppeteers hold an important role to distribute the stories that have philosophical meaning to the audience when the leather puppet show was conducted. A puppeteer, after all, carries a holy role.
An assessment has been carried out to analyze simental fattening cattle in the central areas of cocoa and paddy rice in West Sumatera . Assessment conducted in propagation Sejahtera Farmers Group, Tanah Datar . The observations made is to compare two treatments in cattle simental each treatment consisted of 6 cows. Treatment First, as a control treatment, given basal feed 20 kg of fresh straw, 7 kg of tofu dregs, rice bran 2.0 kg, 0.5 kg of feed concentrate, 0.1 kg minerals. Assessment carried out for 4 months from March to July 2011. To see the effect of a given treatment is carried cattle weighing once every two weeks. Parameters were observed in the analysis of this farm is the advantage and feasibility ( R/C and B/C ratio). The results showed that the ration formulation on Second Treatment granting more favorable treatment than the first. In the second treatment obtained a profit of Rp.30.908 million with a R/C ratio 1:56 , while the First Treatment profits earned Rp 21.961 million with R/C ratio of 1.38 . In addition, the growth of cattle with feed treatment showed increased significant weight compared to the control treatment .
PEMANFAATAN TEPUNG KULIT PISANG DALAM PEMBUATAN KUE CUCUR
Jurnal Sains Terapan Pariwisata, 2020
Cucur cake is one of a variety of traditional cake preparations commonly found in several areas such as East Nusa Tenggara. This round cucur cake has a very sweet taste which is processed by frying it. The main ingredients in making bowsprit cake are wheat flour and rice flour. Not only wheat flour as the main ingredient in making cakes, but wheat flour can also be substituted for banana peel flour. The research objective with the addition of banana peel flour is to improve traditional cake processing by not eliminating the basic ingredients for making Cucur cakes, but using banana peel flour as an additional ingredient in making cucur cakes as a legacy of traditional cake processing. The manufacture of banana peel flour is done to reduce waste disposal products and can be used as a valuable value if it can be processed properly and correctly. This research was conducted by measuring the level of preference and sensory attributes of the aroma, color, taste, texture of the Cucur cake using banana peel flour. In making Cucur cake using banana peel flour using an experimental method. In addition, the design used was a completely randomized design using three repetitions with a concentration of 0% control, 25% banana peel flour, 50% banana peel flour and 75% banana peel flour. The results showed that the sensory bowsprit with the use of banana peel flour produced the highest value with an average value of 3.12 found in the 25% sample of banana peel flour with very blackish brown color parameters, a little taste of banana peel, a slight aroma of banana peel and with no hard texture.
PERBEDAAN KEMAMPUAN KELUARGA DALAM PERAWATAN USIA LANJUT PADA ETNIS JAWA DAN MADURA
Latar Belakang Keluarga adalah masyarakat yang paling dekat dengan usia lanjut. Keluarga merupakan pendukung utama dalam pemberian perawatan kepada usia lanjut di rumah. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut pada etnis Jawa dan Madura. Metode Desain penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel adalah 36 responden yaitu 18 responden dari etnis Jawa dan 18 responden dari etnis Madura. Cara pemilihan sampel adalah simple random sampling. Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut dinilai dari aspek aktifitas fisik, psikologis, spiritual dan interaksi sosial. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut dari aspek aktifitas fisik (p=0,229) dan aspek psikologis (p=0,60). Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut dari aspek spiritual dan interaksi sosial terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai masing-masing p=0,002 dan p=0,042. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga perlu memperhatikan dan mengingatkan usia lanjut terutama aspek spiritual dan aspek interaksi sosial pada etnis Jawa dan meningkatkan dukungan pada etnis Madura. Simpulan Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut etnis Jawa baik pada aspek psikologis dan etnis Madura baik pada aspek spiritual dan interaksi sosial. Terdapat perbedaan antara etnis Jawa dan Madura yaitu pada aspek spiritual dan interaksi sosial, sedangkan pada aspek aktifitas fisik dan psikologis tidak ada perbedaan. Perawat perlu melakukan promosi kesehatan tentang perawatan usia lanjut dari berbagai aspek holistik dan mempunyai pengetahuan tentang budaya dari berbagai etnis.