PENAFSIRAN BĀTINĪ (ESOTERIS) THABĀTHABĀ’Ī DALAM TAFSĪR AL-MĪZĀN (original) (raw)
Related papers
TAFSIR ESOTERIK AL-MAJLISIY DALAM BIHÂR AL-ANWÂR
One salient feature of the approach to the Qur’anic exegesis among Shi’i is concerned with the interpretation of the inner meaning (esoteric) of the Qur’an. This study discusses the argument of the esoteric exegesis in the work of Allamah al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr. He was an influential Muslim scholar in the era of Syah Sulayman and Syah Husayn of the Safawid. The purpose of the work was to disseminate Shi’i doctrine to the people. The work highlights the esoteric interpretation of Imam and therefore it was considered as the continuation of the Imam Ja’far esoteric tradition. The study demonstrates that one fundamental characters of the esoteric interpretation in the work is its concern on the proportional and balanced element between esoteric and exoteric interpretation. According to al-Majlisiy, the Qur’an contains both inner and outer meanings and dimensions. However, the knowledge about the inner and outer dimensions of the Qur’an exclusively belongs to Imam; none knows such dimensions except Imam. The main focus of al-Majlisiy esoteric interpretation are about leadership (imâmah) such as the authority of Imam, Imam as the heir and sole interpreter of the Qur’an, the Prophet family circle (ahl bayt) and the obligation to comply Imam. This kind of Shi’i interpretation enriches the tradition of the Qur’anic exegesis in Islam.
EPISTEMOLOGI TAFSIR Al-QUR’AN KONTEMPORER
Al-A'raf : Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, 2015
This article discussed about the epistemology of the contemporary Qur'anic interpretation. As the holy book which is shâlih likulli zaman wa makan, Qur'an would always be understood by Muslim scholars in order to be able to find out its various meanings. In those processes of comprehension, human being as both reader and interpreter has very important roles. He/she will then formulate various methods to be able to understand practically, in order that God's ideas and meanings being able to be reach comprehensively. Furthermore, this article showed that contemporary Qur'an hermeneutic, as well as formulated by Fazlur Rahman, Amin al-Khuli, Nasr Hamid Abu Zaid, be possible to be used In understanding the Holy Qur'an comprehensively. Just like the hermeneutic approach from the western thinkers, such as Gadamer. A. Pendahuluan Sebagai teks, Al-Qur"an bisa berbicara dan bermakna bila dipahami dan diungkap maknanya oleh para pembacanya. Umat Islam-subjek yang mengimaninya sebagai kitab petunjuk-memegang peran penting dalam pemahaman dan pemaknaan tersebut, karena pesan-pesan Allah bisa dipahami oleh dan melalui akal manusia, meskipun kadar kebenarannya bersifat tidak absolut. Dalam sejarah khazanah Islam, beribu judul tafsir Al-Qur"an telah lahir dari tangan umat Islam sebagai wujud dari praktik penafsiran Al-Qur"an: mulai dari kitab Ja> mi" al-Baya> n "an Ta"wi> l A< ya> t al-Qur"a> n
MUSIBAH DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFISR AL-MISBAH
Jurnal Al Ashriyyah, 2023
This article describes how the Qur'an explains the calamities that befall humans. One form of disaster is natural disasters that often occur in Indonesia, so the author takes two interpretations of Indonesian scholars, namely Tafsir Al-Azhar and Tafsir Al-Misbah. This research as a whole is a library research. The author uses the maudhû`i interpretation approach (thematic) & comparative approach, the data that has been collected is analyzed using the interpretation and comparison (muqarran) method of both interpretations. The results of this study conclude that in interpreting verses related to the nature of disasters, both Hamka and M. Quraish Shihab have the same opinion, that calamities that befall humans have essentially been written in Lauhul Mahfudz and with the permission and will of Allah SWT, the difference is when the term Hamka's use of the Qur'an for the meaning of calamity is not mentioned by Hamka while M. Quraish Shihab explains the meaning and differences in scope. Hamka classifies disasters into big and small disasters, in contrast to M. Quraish Shihab, both of them have the same view that disasters occur as a result of human actions themselves, only Hamka emphasizes in his interpretation, not to blame others easily. the same view that when a disaster befalls a human being he should be patient, grateful and trustful and say the sentence istirja'.
EPISTEMOLOGI TAFSIR SUFI AL-GHAZALI DAN PERGESERANNYA
Jurnal Theologia, 2018
In the history of tafsir development, there is a certain moment where there are some interactions between the Qur'an and the Sufis. Epistemologically, Sufis have a peculiar characteristic in looking at the Qur'an. The Sufis thaught that the Qur'an has two dimensions, esoteric and exoteric. These two sides are one unity and can not be separated. Al-Ghazali has its own nomenclature to refer to the ẓahir and inner sides of the Qur'an. The esoteric and exoteric dimensions of the Qur'an in the term al-Ghazali are called 'ilm sadf and 'ilm lubāb. The process of crossing from sadf to lubāb involves the role of imagination in istiqāmah suluk ilā Allāh. Viewed from the perspective of epidemiological division ala Abid al-Jabiri, the epistemology of al-Ghazali include the category of 'irfānī. But in its development al-Ghazali made a dialectic between the epistemology 'irfānī and bayānī at the same time, although the nuances of irfānī still remain dominant. This research attempts to answer the problem of how the process of the dialectic epistemology of al-Ghazali and how its building style. This kind of dialectic is one of al-Ghazali effort to built the harmonization between sadf science which tends to bayānī with the science of lubāb which tend to irfānī. Clearly, the process of this dialectic can be seen in one of his works Ihyā' 'Ulūm al-Dīn. This research uses the qualitative method and includes library research. Abstrak: Dalam sejarah perkembangan tafsir, ada momen tertentu saat terjadi interaksi antara al-Qur'an dan kaum Sufi. Secara epistemologis, para Sufi me-miliki ciri khas dalam memandang al-Qur'an. Kaum Sufi memandang bahwa Qur'an memiliki dua dimensi, esoterik dan eksoteris. Dua dimensi ini merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Al-Ghazali memiliki nomenklatur tersendiri untuk menyebut sisi ẓahir dan baṭin al-Qur'an. Dimensi esoterik dan eksoterik al-Qur'an dalam istilah al-Ghazali disebut dengan 'ilm sadf dan 'ilm lubab. Proses penyebrangan dari sadf ke lubāb ini melibatkan peran khayal dengan cara istiqāmah suluk ilā Allah. Ditinjau dari perspektif pembagian epistemologi ala Abid al-Jabiri, epistemologi al-Ghazali masuk dalam kategori 'irfānī. Namun dalam perkembangannya al-Ghazali melakukan dialektika antara epistemologi 'irfānī dan bayānī secara bersamaan, meskipun nuansa 'irfānī masih tetap dominan. Penelitian ini berupaya untuk menjawab rumusan masalah bagaimana proses dialektika epistemologi al-Ghazali dan bagaimana corak bangunannya. Dialektika ini merupakan upaya harmonisasi al-Ghazali antara ilmu sadf yang cenderung bayānī dengan ilmu lubab yang mendekati 'irfānī. Secara jelas proses dialektika ini dapat dilihat dalam salah satu karyanya Ihyā' Ulūm al-Dīn. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan merupakan penelitian kepustakaan.
TELAAH KARAKTERISTIK TAFSIR ARAB PEGON AL-IBRIZ
Every time, a dialogue between the Quran and its readers happens; and the long period process of such understanding has resulted thousands and tons of interpretation books (kitab tafsir). One of them is Tafsir al-Ibriz by K.H. Bisri Mustofa and is written in Arab Pegon (Javanese language and Arabic letters). This article is discussing the characteristics of the book and its method.
TAFSIR AL QUR'AN KONTEKSTUAL: SEMANTIK
2018
Disusun oleh: Fina Fatmah 16551015 PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018 A. PENDAHULUAN Seperti yang telah kita yakini bersama, bahwasanya Al Qur'an adalah firman Allah yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad saw yang mutlak kebenarannya dan keberadaannya teteap eksis sepanjang zaman. Al Qur'an membicarakan tentang berbagai hal yang merupakan pokok ajaran Tuhan dan berkaitan langsung dengan kehidupan banyak orang. Namun kenyataannya, Al Qur'an bukanlah kitab suci yang siap pakai, artinya berbagai konsep yang dikemukakan Al Qur'an belum langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah yang dimaksud. Menyikapi persoalan itu, maka diperlukan adanya upaya yang sungguhsungguh dari para ahli untuk memberikan penjelasan terhadap persoalan tersebut sebagai langkah awal untuk memudahkan umat dalam memahami ajaran Al Qur'an. Apalagi jika dilihat dari aspek kebahasaan serta ayat-ayatnya akan dirasa semakin tidak mudah untuk dipahami. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan keindahan Al Qur'an bagi yang tidak memiliki rasa bahasa dan pengetahuan tentang tata bahasanya. 1 Bahkan Al Qur'an telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah swt agar dapat diterima oleh akal manusia, namun tetap saja Al Qur'an masih perlu banyak dilakukan kajiann agar tidak terjadi kesalahpahaman atas pemaknaannya.salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik. Salah satu cabang linguistik untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam Al Qur'an adalah semantik atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah dilalah. Berangkat dari sini, pemakalah akan mencoba menguraikan seluk beluk mengenai salah satu cabang dari linguistik yakni semantik yang akan dimulai dari pengertian, sejarah, ruang lingkup, tokoh, hingga karya tetntang semantik. 1 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al Qur'an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Alam Ghaib, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1998), hal. 131 B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Semantik Semantik merupakan salah satu cabang dari ilmu linguistik. Sebelum membahas lebih dalam mengenai semantik, sebaiknya kami paparkan lebih dulu mengenai apa yang dimaksud dengan linguistik itu sendiri. Kata linguistik berasal dari bahasa Latin lingua berarti bahasa yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah linguistics dan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ilmu lughah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, linguistik berarti ilmu tata bahasa yang menelaah bahasa secara ilmiah. 2 Linguistik terbagi menjadi linguistik murni dan terapan. Linguistik murni terdapat empat unsur murni yaitu fonetik (ilmu bunyi), morfologi (ilmu sharf), sintaksis (ilmu nahwu), dan semantik (ilmu dilalah). 3 Sedangkan linguistik terapan adalah ilmu lanjutan yang membahas kajian-kajian dari linguistik murni. Disini kami hanya akan membahas salah satu dari empat unsur utama linguistik, yaitu ilmu semantik adalah ilmu yang membahas tentang sifat-sifat dari simbol bahasa dan mengkaji makna yang ada pada simbol tersebut dari aspek relasi makna dengan struktur bahasa, perkembangan makna, macammacam makna dan sebagainya. 4 Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema atau semantikos yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. 5 Semantik secara istilah berarti cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang membahas arti atau makna. 6 Semantik juga diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna, yakni mempelajari makna yang terkandung Di Indonesia sendiri terdapat beberapa karya yang sudah menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-kata dalam Al Qur'an meskipun tidak secara menyeluruh dan hanya menguraikan makna dasar serta makna relasionalnya saja. Salah satu karya tersebut adalah karangan dari M. Dawam Raharjo yang berjudul 'Ensiklopedi Al Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci'. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Paramadina pada tahun 1996. Buku ini memuat 27 tema kunci yang ditafsirkan. Secara umum buku ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Pendahuluan yang memuat yang memuat metodologi tafsir dan akses terhadap Alquran serta gagasan tentang penyusunan Ensiklopedi Alquran 2. Pembahasan 27 tema kunci yang dibagi lagi pada dua kategori: a. Dimensi spiritual-keagamaan yang mencakup 12 tema yakni fithrah, hanif, ibrahim, din, islam, taqwa, 'abd, amanah, rahmah, ruh, nafs, dan syaithan. b. Dimensi sosial-keagamaan yang mencakup 15 tema yakni nabi, madinah, khalifah, 'adl, zhalim, fasiq, syura, ulu al-amri, ummah, jihad, 'ilm, ulu al albab, rizq, riba, dan amr ma'ruf nahi munkar 3. Penutup yang memuat visi sosial Al Qur'an dan fungsi ulama. Adapun sistematika penafsiran Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al Qur'an yaitu: 1. Mencantumkan judul tema di awal pembahasan dengan tulisan arab dan latin 2. Memberikan sedikit kalimat pembuka dan pengenalan pada tema yang akan dikaji 3. Mengkaji makna tema tersebut dalam Al Qur'an. Disinilah letak metode semantik digunakan. Beliau seringkali mengemukakan asal kata tema serta maknanya secara bahasa. Selanjutnya, beliau mengemukakan beberapa ayat Al Qur'an yang memuat tema tersebut kemudian mengkaji maknanya. 4. Melakukan analisa kritis terhadap beberapa sumber yang dikemukakan. 5. Pada bagian terakhir, beliau memberikan nama sub bab dengan tema yang sedang dikaji dan tema yang akan dikaji selanjutnya. Berikut ini adalah ringkasan contoh penafsiran Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al Qur'an: 22 أمانة AMANAH Amanah, kalau kita mengikuti bacaan aslinya dalam bahasa Arab, atau amanat, adalah kata yang sudah menjadi bagian perbendaharaan bahasa Indonesia. Bahkan, kata itu sudah dikenal akrab dan menjadi bahasa seharihari. Tetapi justru karena itu, pengertian yang dapat ditangkap menjadi bersifat awam. Padahal kata amanah dalam Alquran dan hadis mengandung bobot yang dalam, dan merupakan salah satu kunci dalam konsep syari'ah.