SOKONGAN TERHADAP HAK SAUDARA BARU MENURUT SYARAK (original) (raw)

KETIDAKWAJARAN SKOR SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA BARU

Vijjacariya, Vol. 5, No. 2, 2018

In educational measurement, the inappropriate scores must be detected. The inappropriate scores can occur in respondents individually. The inappropriate scores become an interesting focus because of its the information can provide input to the tester about the condition of the test takers even more in decision making. This study focused on the description of the inappropriate scores of 2018 STABN Sriwijaya Tangerang Bantens’ students candidate on the basics of Buddhism test. The population of this study was all of the 2018 STABN Sriwijaya Tangerang Bantens’ students candidate and at the same time as the samples. The data of this study were secondary data. They were the responses of the students candidate on each item in the basics of Buddhism test. The results of data analysis by using Donlon-Fisher method indicated that there were as many as 20.93% of students candidate who had an appropriate score while 79.07% of students candidate had an inappropriate score.

HAK SAUDARA BARU TERHADAP HARTA PUSAKA: ANALISIS UNDANG- UNDANG SEMASA 1

The term of " saudara baru " (new believer) refers to person who have just converted to Islam. In the ownership of property, Muslim or non-Muslim, regardless new believer or not, have their full rights to own any assets. As well as in transferring wealth during their lifetime, Islamic law also permits Muslim or non-Muslim to pass the property among them without any restraint or limit, such as by selling or purchasing, leasing, gift, endowment or will. However in cases after death, there are provisions that property of a Muslim cannot be transmitted to his non-Muslim parents or sons. Except under join-ownership, wills or maintenance, Muslim and non-Muslim have different rights as a spouse, kids or dependants as their personal rights. Thus, non-Muslim will not inherit from Muslim although both of them shared the same blood-tie. Hence, in the case of new believer, indirectly, their adherence to Islam has deprived both sides from inheritance. As for Islam, the differences of religion limit the process of transmitting wealth and at the same time, their relationship and responsibility as one family still be acknowledged and enforced among them. Therefore, this writing intends to discuss the former and the latter deeply, particularly in contemporary Malaysian society, to analyse the continuous development of rights and responsibility among parents although with different beliefs. The study also will look into the facts and theory, as well as the application in recent laws, fatwa " s and cases, on how far it is in consistent with the Islamic law.

EKSISTENSI HAK ATAS MATERI PORNOGRAFI BERDASARKAN NORMA KESUSILAAN

The elucidation of Art. 4 Act No. 44, 2008 implicitly protects a person's right to possess pornographic materials for his own use. This article argues that this reading opens up a number of moral problems. For one thing what is the limit of legal and illegal porn, a question which cannot be separated from our understanding of what is considered indecent behaviour. In addition, the porn industry, the source of pornographic materials, is considered immoral or against religious precepts in itself. The right to posses pornographic materials will be discussed from this perspective. Keywords: right to own porn material, moral norm, special/general right, adat law, human right Abstrak Penjelasan pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 secara implisit melindungi hak seseorang atas materi pornografi yang digunakan untuk dirinya sendiri. Artikel ini akan membahas perbenturan antara hak untuk menyimpan bahan-bahan pornografi dan pandangan umum yang melihat pornografi sebagai 'pintu' imoralitas. Industri pornografi sendiri pada prinsipnya selalu melibatkan pemahaman kita akan lingkup pengertian perbuatan cabul. Hak untuk memiliki, menyimpan, bahan-bahan pornografi, untuk kepentingan diri sendiri akan dibahas dari sudut pandang ini. Kata Kunci: Hak atas materi pornografi, norma kesusilaan, hak khusus/hak umum, hukum adat, hak asasi manusia Pendahuluan Sejak keberadaan manusia hingga sampai saat ini masalah kesusilaan menjadi topik penting dan menarik untuk didiskusikan. Kesusilaan sangat terkait erat dengan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermoral. Nilai kesusilaan sebagai hasil dari penghayatan manusia atas keberadaan diri dan relasinya dengan masyarakat menciptakan sebuah tatanan hidup masyarakat yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kesusilaan menjadi penanda utama

KONSEKUENSI HUKUM ATAS HAK ANGKET

Beragam informasi mengenai Hak Angket DPR yang sedang bergulir terhadap KPK menimbulkan beragam pendapat dari semua kalangan baik praktisi, akademisi dan mahasiswa. Singkatnya, bahwa Hak Angket tetap mutlak merupakan Hak yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai UUD 45 dan peraturan perundang-undangan turunan lainnya. Mengenai Hak Angket diatur pula dalam UU MD3 disebutkan Pasal 79 ayat (3) : (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan bermunculan pendapat alasan Pansus Hak Angket ditolak 1 antara lain : 1. Hak angket bukan untuk KPK tetapi pemerintah sebagaimana ditentukan Pasal 79 ayat (2) Sesuai penjelasan pasal 79 ayat (3) UU MD3, yang bisa diangket oleh DPR adalah pemerintah dan lembaga pemerintah non-kementerian, KPK bukan pemerintah. 2. Hak angket cacat prosedur karena dibentuk tidak sesuai mekanisme yang ditentukan Pasal 199 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2014 tentang UU MD3. Pasal 199 ayat (3) mengatur bahwa usul hak angket oleh pengusul (minimal 25 anggota DPR lebih dari 1 fraksi) akan menjadi hak angket DPR apabila disetujui lebih dari 1/2 (setengah) jumlah anggota DPR yang hadir dalam paripurna. 3. Panitia angket cacat administrasi karena tidak terdiri dari seluruh unsur fraksi sesuai pasal 201 UU MD3. Dalam pasal itu disebutkan DPR membentuk pansus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR. 4. Hak angket terkait e-KTP ini dilaksanakan untuk melindungi kepentingan koruptor.