ALIRAN IḤYĀ' MANHAJ AL-MUTAQADDIMĪN DAN PEMBAHARUAN WACANA KRITIK HADIS MODEN (original) (raw)
Related papers
TARIQ RAMADAN: EKSPONEN ISLAM MODEN
AL-DIN Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan, 2021
Tulisan ini bertujuan mengetengahkan pemikiran Tariq Said Ramadan (lahir 1962), reformis Islam abad ke dua puluh satu, dan menyorot pengaruh intelektual dan idea pembaharuan Islamnya dari sumber-sumber penulisannya yang ekstensif. Kajian membuktikan bahawa Ramadan merupakan antara penganjur Islam moden yang terpenting di abad ke-21. Idealisme pembaharuan ini diketengahkan dalam buku-bukunya seperti What I Believe, Radical Reform, To Be A European Muslim dan Western Muslims and the Future of Islam yang membawa filsafat pemikiran modennya dan tinjauannya tentang Islam dan masyarakat Muslim di Eropa. Pengembangan pengaruh intelektualnya di kalangan Muslim Eropa banyak terkesan oleh karya dan wacana modennya yang berpengaruh tentang semangat inklusivisme dan pluralisme, idea reform, masyarakat sivil, prinsip ijtihad dan pembelaan kaum minoriti. Paul Donnelly dalam The Washington Post mengungkapkannya sebagai "A Muslim Martin Luther" atau "Martin Luther-nya Islam". Kaedah penelitian bersifat kualitatif, berasaskan tinjauan kepustakaan dan analisis kandungan terhadap sumber data secara deskriptif dan historis. Hasil kajian menyimpulkan bahawa Ramadan telah menggerakkan reformasi yang signifikan di dunia Islam dalam menghadapi tantangan moden Barat dan memainkan peran yang instrumental dalam upaya kebangkitan dan nahdah yang mengesankan.
METODE IMAM AL-SHĀFI'Ī DALAM KRITIK HADITH
Journal of Hadith Studies, 2019
Kepakaran Imam al-Shāfi'ī dalam ilmu hadith telah menjadi topik perdebatan sejak abad 4/10 hingga abad moden. Meskipun telah banyak kajian yang dihasilkan untuk membuktikan ketokohan al-Shāfi'ī dalam hadith, akan tetapi kajian ini akan membincangkan permasalahan ini dengan pendekatan yang berbeza. Penulis berusaha membuktikan kepakaran al-Shāfi'ī dalam wacana 'illah yang sangat ekslusif dan hanya diterima daripada seseorang yang memiliki kepakaran tertinggi dalam kritik hadith. Kajian ini mengaplikasi kajian perpustakaan dan analisis dokumen. Data kajian dikumpulkan daripada buku-buku karangan al-Shāfi'ī dan para ulama yang menghimpun ucapan-ucapan beliau. Selanjutnya, data dianalisis dengan mengaplikasi metode historis dan perbandingan. Kajian membuktikan bahawa al-Shāfi'ī menguasai kepakaran yang tinggi dalam kritik hadith. Selain memiliki perbendaharaan hadith yang memadai, beliau diiktiraf tidak pernah tersilap dalam periwayatan. Dalam kritik hadith, analisis beliau dibina di atas pengamatan fenomena tafarrud dan mukhālafah sebagai penanda 'illah. Beliau turut mengamalkan metode kritik matan sebagai dalil sokongan yang menguatkan kritik sanad. Secara amnya, tiada perbezaan antara metode kritik yang beliau amalkan dengan metode ahli hadith terdahulu. Temuan ini sekaligus mempersoalkan dakwaan adanya perbezaan metodologi antara ahli hadith dan ahli fiqh dalam kritik hadith.
KONSEP PEMIKIRAN MOHAMMED ARKOUN DALAM AINA HUWA ALFIKR AL-ISLĀMIY AL-MU'ĀSHIR
Ruslan Rasid & Huilman Djafar, 2019
Mohammed Arkoun's thought in his monumental work, "aina huwa al-fikr al-islāmiy" was inspired by two famous Muslim intellectuals, Imam Ghazali and Ibn Rusyd. Arkoun's work is an idea that spurs the spirit of contemporary Muslims to think ahead by using all the potential they have so that it can make Islam a religion that can adapt to the development of the times or in religious language called shālihun likulli makānin wa shālihun likulli zamānin. In addition, the concept of thought in the work is aimed primarily at opening up broader horizons of Arabic Islamic thought, and can be used as a method of understanding contemporary social science based on Islamic views. One effort undertaken by Mohammed Arkoun is to consolidate modern historical methodology with classical Islamic thought, because for Arkoun that is the only way to achieve a scientific understanding of the historical reality of Islamic society. The perceived impact is the disappearance of all disputes, both racial and religious. Some of the directions of his thinking are as follows: 1) Arkoun's way of perceiving himself; 2) Agendas that must be implemented include building an applied Islamology / islāmiỹāt tathbȉqhiỹah by trying to apply scientific methodology to the Koran; 3) The Western way (alGharb) knows Islam; 4) Return to the starting point; 5) Secularism and Islam; 6) Islam, Science and Philosophy; 7) Islam and Human Rights; 8) Sufism; 9) European nationalism; 10) Think openly. Keywords: Arkoun, contemporary Islam, concepts, social science
KONSTRUKSI ILMU MA'ANI AL-HADIS KAUM KONTEKSTUALIS
JURNAL FARABI, 2016
Understanding the hadith is the most important step after examing its authenticity. The aim of this paper is to explain the development history of ma'ani> al-h} adi> s\ and to analyze the comtemporary methods from five thinkers namely: Fazlur Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail and Khaled M. Abou El Fadl. This concludes that the prosess of understanding hadis (ma'ani> al-h} adi> s\) has been developed by many Islamic scholars from classical era to contemporary era. Analyzing the ways of ma'a> ni al-h} adi> s\ of five thinkers above, are able to be classified into three steps; analyzing the text, historical context (micro and macro-asba> b al-wuru> d), and applying in reader's context. Memahami hadis menjadi tahapan yang sangat penting setelah menguji otentisitasnya. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan sejarah perkembangan ma'ani> al-h} adi> s\ dan untuk menganalisis metode-metode kontemporer dari lima pemikir; yaitu Fazlur Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali; Syuhudi Ismail; dan Khaled M Abou El Fadl. Dapat disimpulkan bahwa proses pemahaman hadis (ma'ani> al-h} adi> s\) telah dikembangkan oleh banyak pemikir muslim sejak era klasik hingga era kontemporer. Analisis terhadap cara-cara pemahaman terhadap hadis oleh kelima pemikir ternama di atas, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahap; analisis teks, konteks historis (asbab al-nuzul mikro dan makro), dan aplikasinya dalam konteks sang pembaca.
Kiai Haji Muḥammad Shalih Ibn 'Umar al-Samarani telah berperan cukup sentral bagi masyarakat Indonesia dalam menyebarkan agama Islam, karena sumbangsihnya dalam bidang ilmu agama Islam. Salah satu mahakaryanya yang masyhur adalah Faiḍ al-Raḥmān fī Tarjamāt Tafsīr Kalām Malik al-Dayyān. Kitab tersebut ditulis karena keinginan Kiai Shalih Darat untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa sehingga orang-orang awam pada masa itu bisa mempelajari al-Qur'an karena saat itu orang-orang tidak bisa bahasa Arab dan kitab tafisr tersebut tidak lain sebagai jawaban bagi kegelisahan R.A. Kartini. Beliau menggunakan metode tahlīlī dipadukan dengan ishārī dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Sedangkan sumber penafsiran yang digunakan adalah bi al-ma'thūr, yakni menafsiri al-Qur'an dengan al-Qur'an sunnah Nabi, qaul al-ṣaḥabat, merujuk pendapat ulama salaf, dan merujuk pada sejarah.
METODE KRITIK SANAD (NAQD AL-SANAD
Sanad merupakan salah satu unsur hadis, sebagaimana yang dikenal bahwa unsur hadis terdiri dari sanad, matan, dan rawi. Hadis sebagai sumber hukum tertinggi setelah al-Qur'an, kredibilitasnya harus terjamin. Keberadan sanad sebagai bagian dari unsur hadis seringkali menjadi bahan kritikan, mengingat sanad ini merupakan unsur vital yang turut serta menentukan kualitas dan kredibilitas suatu hadis. Pada masa awal, periwayatan hadis terbangun atas dasar saling percaya antara murid dengan gurunya, namun dalam perkembangannya ulama penting untuk menetapkan metode khusus dalam mengkritisi hadis. Kritik terhadap sanad hadis berpedoman kepada ketesambungan sanad, perawi tergolong tsiqah ('adil dan dhabith), tidak ada syaz, dan tidak ada 'illat. Jika para perawi dalam suatu hadis memenuhi semua kriteria ini, maka sanadnya adalah shahih, selanjutnya tinggal menunggu hasil dari kritik terhadap matan hadis untuk kemudian memutuskan kualitas suatu hadis.
SHĀHĪH MUSLIM: METODE PEMAHAMAN HADIS
Shāhīh Muslim merupakan kitab yang dianggap valid dan otentik dalam khazanah Islam setelah shahīh al-Bukhārī[1], meskipun ada sebagian kalangan yang lebih mengunggulkan shāhīh Muslim daripada shahīh al-Bukhārī. Hal ini dapat menjustifikasi sebagian besar umat Islam ketika beristinbath hukum dari keduanya. Namun seiring mencuatnya polemik yang mendasarkan apakah muhaddits juga seorang fuqoha atau hanya seorang kolektor hadis saja?' perlu adanya peninjauan lebih lanjut. Hal ini tidak dapat diketahui dengan mudah tanpa ada sikap ktiris dalam menanggapi hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim.
Umat Islam dari generasi manapun selalu dihadapkan pada pertanyaan seputar makna Alquran. Jarak antara realitas yang terus berubah dan berkembang, dan teks yang diturunkan pada abad awal ke-7 di Jazirah Arab menjadi perhatian utama para pemikir Muslim dan ulama. Menafsirkan Alquran di era di mana kebebasan manusia mendapat apresiasi yang tinggi, sarjana Muslim modern dituntut untuk menemukan mekanisme interpretasi baru yang mampu menghadirkan pemahaman kegamaan yang tidak selalu 'dogmatik', namun juga dinamis, peka zaman dan pada level tertentu juga 'humanis'. Artikel ini menjelaskan bahwa kajian al-Qur`an di era modern mengadopsi pendekatan interdisipliner, yaitu dengan mengadopsi temuan-temuan studi sejarah, sosiologi agama, hubungan lintas budaya, termasuk kritik tradisi (riwayat).
DR. HASANI AHMAD SAID, M.A. - MENGGAGAS MUNĀSABAHALQURANPERAN DAN MODEL PENAFSIRANALQURAN
JURNAL HUNAFA IAIN PALU, 2016
The Quran has the miracle of each of its dimensions, it can be understood as presented al-Zarkasyī that the Quran was not revealed by accident, by chance, and without specific goals and objectives. Accordingly, any use and wording (lafadz), construction of verses and letters (munāsabah baina al-āyāt wa al-sūrah) and transitional themes contained in, it has the power concept as a kalam intact and coherent (muttasiqāt al-mabānī wa muntadzimāt al-ma'ānī ka al-kalimah al-wāhidah). And the whole Quran is meet that requirement, which consists of 30 chapters, 114 letters, nearly 88,000 words and more than 300,000 letters, as asserted Al-Qurtubi (641) is like a letter that cannot be separated. Thus, the unity of the Quran is happening at all is not as forced, but it can be proved through the relationship between section by section. The birth of the knowledge of the conformity (Munāsabah), originate from the fact that the Quran systematic as contained in Ottoman manuscripts now is not based on chronological descent. That is why there is a difference of opinion among scholars Salaf on the order of letters in the Quran. This paper will address concerns about the chronological arrangement of the Quran. Abstrak. Alquran memiliki kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana dipaparkan al-Zarkasyī bahwa Alquran bukanlah kalam yang diturunkan secara tidak sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan susunan kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munāsabah baina al-āyāt wa al-sūrah) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki kekuatan konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu (muttasiqāt al-mabānī wa muntadzimāt al-ma'ānī ka al-kalimah al-wāhidah). Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir 88.000