Islam dan Keindonesiaan (original) (raw)

Mengiringi krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan kekecewaan para mahasiswa dan berbagai elemen bangsa atas rapuhnya moralitas dan hegemoni struktural dan kultural yang cenderung bersifat homogenisasi dan standardisasi regim Orde Baru, Indonesia seolah-olah memasuki babak baru sejarah memperbaharui keIndonesiaan. "Umat Islam" yang sudah majemuk sejak sangat lama secara orientasi keagamaan, budaya, bahasa, sosio-ekonomik, dan politik, pun bergerak lagi, memunculkan kemajemukan yang lebih terbuka dan vokal di ranah publik. Di antara mereka, ada yang menekankan penyamaan karena yang mereka lihat kebebasan dan kemajemukan yang tidak terkendali; ada juga yang menitikberatkan kesamaan-kesamaan dan menganggap perbedaan-perbedaan harus dipinggirkan karena cenderung memecah belah; ada pula yang menyuarakan persamaan dan perbedaan sebagai dimensi positif dan konstruktif. Sekarang, titik balik (turning point) sejarah itu sudah terlewatkan lebih dari sepuluh tahun, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari umat Islam, masih terus mencari makna Islam di tengah keIndonesiaan, lokalisasi dan globalisasi: bagaimana menjadi manusia Muslim (being Muslim), dan menjadi manusia Indonesia (being Indonesian). Sebagian juga mencoba menemukan kembali (reinvent) identitas lokal: menjadi Jawa, menjadi Aceh, menjadi Papua, dan sebagainya. 3 Pencarian dan penegasan kembali berbagai identitas (agama, suku, bangsa, jender, kelas sosial, ideologi politik) berlangsung sebagai respons terhadap tantangan-tantangan baru. Dalam wacana global, ada citra umat Islam di Indonesia yang toleran, demokratis, dan akomodatif terhadap Budaya-budaya lokal, tapi di sini lain, sebagian umat Islam terlibat aksi kekerasan dan terorisme, memiliki dan menganjurkan ideologi kekerasan, dan masih terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyakit-penyakit moral