Bagaimana Jika Kita Menata Ulang Sistem Quo Hak Cipta, Kira-Kira Apa yang Terjadi? (Rebecca Giblin & Kimberlee Weatherall, 2017, What If We Could Reimagine Copyright? (Australia: ANU Press)) (original) (raw)
Rebecca Giblin & Kimberlee Weatherall (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Bagaimana jika kita memulai tulisan ini dengan mengosongkan pikiran kita dari keterikatan konsep quo hak cipta dan kira-kira seperti apa jika kita menata ulang konsep yang telah ada? Bagaimana jika kita menghapus seluruh struktur mapan konsep hak cipta yang telah ada dan merancang ulang peraturan guna mendorong kreativitas, untuk memberi nilai manfaat dari ciptaan kreatif bagi Pencipta dan menciptakan dukungan terhadapnya, dan merangsang peningkatan daya beli masyarakat dengan maksud untuk memastikan adanya akses yang luas terhadap pengetahuan dan akses terhadap ciptaan kreatif baru. Intinya, bagaimana jika kita bisa merumuskan peraturan hak cipta yang baru yang benar-benar dapat memajukan kepentingan publik, kira-kira seperti apa bentuknya? Apakah kita harus memilih untuk melakukan revisi konsep hak cipta secara radikal? Atau, akankah kita mempertahankan konsep fundamental hak cipta yang ada saat ini? Kira-kira bagian mana dari sistem hak cipta sekarang yang harus kita hilangkan? Bagian mana yang harus dipertahankan? Tidak jarang, para pengkritik hak cipta saat ini menyesalkan penerapan sistem tunggal mengingat dan melihat bahwa kondisi capaian teknologi dan ekonomi masing-masing masyarakat sangatlah berbeda. Di samping itu, hukum hak cipta ditegakkan di atas fondasi yang telah lapuk disebabkan oleh capaian teknologi,ekonomi, dan sosial. Banyak yang telah berubah beberapa dekade ini sejak konsep dasar hak cipta justru telah paripurna. Mungkin faktor yang paling mendasar adalahmunculnya teknologi digital yang telah menekan biaya distribusi berbagai jenis temuan budaya dan informasi menuju pada "zero cost" yang, setidaknya dalam beberapa hal dan bagi sebagian orang, telah menciptakan kemudahan untuk mendapatkannya. Namun hak dan kewajiban dalam hukum hak cipta, realitas politik, dan kepentingan ekonomi serta motif bisnis hak cipta dewasa ini, semuanya saling berkelindan dan digunakan sebagai alasan pembenar status quo hak cipta. Sebagian besar diskusi buku ini tentang peluang adanya penataan ulang sistem hak cipta yang merupakan kebutuhan pragmatis dengan metode mempertanyakan ulang batas-batasnya: bertujuan untuk mencapai suatu perubahan dalam kerangka kerja internasional yang ada.Kumpulan tulisan dalam buku ini mencoba melakukan terobosan yang lebih berani. Para kontributor diminta untuk menggunakan pendekatan atas realitas baru dan capaian pengetahuan utamanya pada bidang kebijakan hak cipta: ini bermaksud untuk menemukan gambaran, seperti apa hukum hak cipta jika kita mendesainnya ulang sedari awal di lingkup sosio-teknologi saat ini, tidak dibatasi oleh perjanjian internasional yang ada dan hukum serta praktik-praktik lainnya. Ada kebutuhan mendesak untuk melakukan eksperimen pemikiran semacam ini.Meski ada kendala tersendiri dihadapi, saat kita menulis buku ini, berupa kerangka kerja internasional. Perjanjian internasional dalam bidang hak kekayaan intelektual dibingkai sedemikian rupa bukan menegaskan prinsip-prinsip umum, melainkan sebagai refleksi atas kebekuan keberadaan perundang-undangan hak cipta domestik. Baru-baru ini, wacana ini mengapung untuk dinegosiasikan dalam perdagangan (meskipun terhenti pada saat publikasi buku ini), terutama dalam "the Trans-Pacific Partnership" dan "the Transatlantic Trade and Investment Partnership". Muncul kecurigaan besar untuk mendapat penjelasan secara gamblang dan spesifik dari keberadaan sistem hak cipta yang tak boleh diganggu gugat saat ini. Kita hidup di lingkungan sosial dan teknologi yang cepat berubah. Hanya segelintir orang yang memiliki kesempatan mengakses teknologi informasi pada 20 tahun yang lalu.Sekarang banyak dari kita selalu menenteng sarana digital yang dapat digunakan mengakses sebagian besar pengetahuan dunia dan budaya di seluruh dunia yang ada di saku kita. Kita pun tidak tahu seperti apa capaian teknologi pada 20 tahun dari sekarang atau bagaimana masyarakat akan bertranformasi nantinya,bagaimana kita bisa tahu sistem regulasi apa yang tepat yang akan kita butuhkan dimasa mendatang? Memang ada juga risiko jika kita berkeyakinan secara membabi buta akan adanya peluang merubah secara sistemik hak cipta tanpa menghiraukan kendala-kendala internasional yang akan dihadapi, namun kita akan kehilangan kemampuan bernalar dalam mengidentifikasi terkait cara seperti apa yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan kita. Pemikiran inkremental mengusulkan hanya terbatas sejauh perubahan-perubahan kecil dalam lingkup hak cipta tidaklah cukup. Maka dari itu, Jessica Litman secara inspiratif bernarasi: kami mengundang anda semua untuk bergabung dalam eksperimen pemikiran kami ini, bagaimana jika kami dapat membuat undang-undang hak cipta baru yang betul-betul menyusun konsep justifikasinya dari dasar, mengabaikan batasan hukum internasional yang ada, kira-kira seperti apa bentuknya? Sebagai titik awal, setiap upaya untuk memikirkan kembali hingga menukik ke hal yang paling mendasar seperti itu membutuhkan setidak-tidaknya beberapa prinsip atau menetapkan kompas tujuan.Karena itu, kami telah memiliki prinsip sebagai panduannya: bepegang pada prinsip yang tujuannya untuk memajukan kepentingan publik.