EFEKTIVITAS ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK BISNIS (original) (raw)
Related papers
LEBIH MEMBERDAYAKAN ARBITRASE UNTUK PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
On normative perspective, court upheld law based on the regulation and justice. Judicature was carried out fast, simple and cheap. However, in practice, judicature process always spent much time because of the formal procedure. From entering the case to court until decision or finding of court which got the law confirmation, it always needed much time, complicated process, and much money. Especially for businessmen, case or long conflict would inflict financial loss. In business world, special skill was needed to decide special conflict in business world which was not always known by every judge, for example contract. To be able to investigate and decide those kinds of conflicts completely, it was not enough only having knowledge about regulation as the law principle. To make a business conflict completion reflected justice or it could be accepted by all parties, law system gave alternative of conflict completion out of court. By this way, the burden of court was decreased and more than that the completion which was the will meeting would not cause a new case. The character of completion above became an alternative which had to be passed by all parties in conflict, especially business conflict, to get the effective solution and to decrease or even to abolish conflict because of business.
PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI DASAR SUATU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS .docx
PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI DASAR SUATU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS, 2018
Semakin berkembangnya bidang-bidang kehidupan masyakarat, termasuk bidang bisnis, berimplikasi besar baik terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundangundangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis. Lahirnya Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan suatu bentuk penyesuaian hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya pada sektor bisnis. Perkembangan sektor bisnis yang sedemikian pesatnya membuat pengadilan tidak maksimal dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Banyak hakim pengadilan yang tidak mahir menyelesaikan sengketa bisnis, tidak independen, bahkan acapkali kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Bagi para pengusaha, sengketa yang memakan waktu yang lama adalah sebuah kerugian besar. Dengan demikian, kehadiran arbitrase secara resmi di Indonesia melalui Undang-undang No. 30 tahun 1999 sangat didambakan karena lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis yang berlaku saat ini. Agar suatu sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, diperlukan adanya perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat disebut sebagai dasar fundamental yang menunjukkan kehendak para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui forum arbitrase. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa para pihak bersangkutan.
ARBITRASE SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
Penanaman Modal Asing saat ini sangat diperlukan diIndonesia, namun demikian Investor Asing seolah enggan berpaling keIndonesia. Walaupun dengan imbalan keuntungan dan fasilitas yang sangat baik, serta jaminan keamanan dari pemerintahIndonesia. Hal ini disebabkan belum adanya perlindungan hukum yang jelas dari HukumIndonesiaterhadap investor asing. Peraturan tentang Penanaman Modal Asing sudah sangat usang. Selain itu peradilan diIndonesiatidak memihak para investor asing apabila terjadi sengketa, sehingga untuk mendapatkan perlindungan hukum harus mencari lembaga di luar pengadilan (arbitrase) di negara lain untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
PERAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN PERCERAIAN
Abstrak: Dalam kajian fiqh Islam arbitrase disebut dengan istilah tahkim, akan tetapi tahkim dalam kajian fiqh hanya mencakup penyelesaian persengketaan dalam keluarga saja, tidak mencakup perkara perdata lainnya. Arbitrase dalam konsep modern dan perunang-undangan cenderung hanya menyelesaikan sengketa ekonomi saja. Sementara di dalam perundang-undangan dijelaskan perkara yang dapat diselesaikan dengan cara arbiterase adalah perkara yang memungkinkan terjadi perdamaian di antara orang-orang yang bersengketa. Persengketaan sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik itu persengketaan dengan orang lain, seperti persengketaan masalah ekonomi, perdagangan, maupun persengketaan yang menjadi wilayah hukum keluarga, seperti persengketaan antara ayah dengan anak, suami dengan isteridan yang lainnya. Arbiterase ini diperlukan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara suami isteri, dalam rangka menekan angka perceraian dan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Lembaga arbiterase khusus bagi umat Islam di Indonesia yaitu BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari'ah Nasional). Perkara-perkara percekcokan antara suami isteri yang tidak bisa diselesaikan sendiri diharapkan tidak sampai ke pengadilan, tetapi cukup diselesaikan di BP4 dan BASYARNAS saja. Menurut penulis BASYARNAS ini merupakan alternatif yang dapat dipilih umat Islam pada masa akan datang dalam menyelesaikan perkara perdatanya. Walaupun perkara perceraian belum tersurat atau tercantum secara jelas di dalam pasal-pasal aturan BASYARNAS, akan tetapi peluang itu telah tersirat di dalamnya, yaitu dapat menyelesaikan perkara perdata umat Islam.
PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG MELALUI ARBITRASE
Dalam era globalisasi, seperti sekarang ini, dalam hal ini terjadi perselisihan dalam dunia perdagangan joint venture, alih teknologi dan sebagainya, maka alternatif memilih Arbitrasesebagai upaya penyelesaian perselisihan adalah lebih tepat. Hal ini di sebabkan karakteristik dari Arbitrase yang sangat berbeda dengan lembaga peradilan maupun sistem-sistem penegakan hukum yang tidak dibenarkan dalam negara hukum. Ciri atau karakteristik tersebut adalah cepat, sederhana, informal prosedur, pemeriksaan dengan pintu tertutup, putusan yang tidak dapat dibanding atau dikasasi dan berkekuatan mengikat serta berkuasa eksekutorial. Karakteristik yang demikianpara pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan antara mereka secara lebih baik.
ARBITRASE DAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
Arbitration as an alternative form of dispute resolution to litigation which does not require recourse to the Courts. It is a process used by agreement of the parties to resolve disputes. In arbitration, disputes are resolved, with binding effect, by a person or persons acting in a judicial manner in private, rather than by a national court of law that would have jurisdiction but for the agreement of the parties to exclude it. It is a consensual process in the sense that it will only apply if both parties come to an agreement. Arbitration, along with mediation and mini trial are classified as ADR (Alternative Dispute Resolution) settles dispute with the help of a third person or persons or in arbitration, the arbiter, who is not in currently in the dispute itself, to decide and settle the dispute for them with the arbiter in the case settling the dispute how as he wishes, however, studied laws and understands the consequences of his actions.
TELAAH KRITIS PASAL 70 UU NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, meskipun demikian putusan arbitrase masih dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan. Permohonan pembatalan ini untuk mengakomodir prinsip keadilan dan hanya dimungkinkan apabila putusan arbitrase terbukti memenuhi alasan pembatalan sebagaimana diatur dan dibatasi di dalam undang-undang. UU No. 30/1999 sebagai hukum arbitrase (lex arbitri) Indonesia telah menentukan tiga alasan pembatalan putusan arbitrase secara alternatif di dalam Pasal 70. Akan tetapi ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan karena di dalam bagian Penjelasan Umum alinea ke-18 yang menggunakan frase "antara lain", telah mengakibatkan banyak pihak menafsirkan bahwa alasan pembatalan putusan tidak terbatas pada tiga alasan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999.