TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (original) (raw)
Related papers
Tahkim, 2020
Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage with Article 35 letter a of Law No.23 of 2006 concerning Population Administration, basically there is no horizontal conflict of norms, because philosophically the birth of Law No.23 of 2006 was on the basis for orderly administration of the population including the registration of marriage different religion. And before the birth of Law No. 23 of 2006 there was the Supreme Court Jurisprudence: 1400 K / PDT / 1986 which regulates interfaith marriages. So Article 35 letter a of the Adminduk Law does not provide authorization for interfaith marriages, but only as an instrument to register interfaith marriages by establishing a court. However, the existence of the Law Adminduk has made a small hole between the walls of the haq (right) with vanity (wrong) to maintain the morality of the Islamic Ummah, and who became moral tamen mandated to the judge whether to give permission to marry interfaith or not. Related to the validity of interfaith marriages, then of course the legal basis that guides is Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage and in addition to the Compilation of Islamic Law. Besides that, the doctor of law from the Indonesian Ulema Council Number: 4 / MUNAS VII / MUI / 8/2005 which clearly and expressly forbids interfaith marriages, can become a legal reasoning for judges by referring them to Article 8 letter (f) which states that marriages are prohibited when having a relationship by religion or other applicable regulations (PP No. 9/1975, KHI and MUI Fatwa), marriage is forbidden ". So that it can be used as a guide for judges in providing determination. Keywords: Interfaith Marriage, Conflict of Norms, Marriage Registration
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan sudah menjadi merupakan salah satu sunah yang berlaku dalam kehidupan dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generai satu ke generasi yang lainnya. Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. 1 Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan salah satu budaya umtuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangaan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana, sempit dan bahkan tertutup, sedangkan dalam bentuk masyarakat modern budaya perkawinannya bersifat maju dan terbuka.
2015
Beragamnya agama yang dianut oleh masyarakat di Indonesia menimbulkan keaneragaman ritual keagamaan termasuk persoalan perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang penting dalam kehidupan manusia guna meneruskan keturanan dan membentuk bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan dijelaskan Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karenanya Undang-Undang Perkawinan tidak memandang suatu tindakan perkawinan dari aspek yuridis saja tetapi juga melihat dari aspek keagamaan. Sehingga menutup kemungkinan untuk melaksanakan perkawinan beda agama. Akan tetapi dalam praktek yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat masih banyak terdapat keluarga-keluarga yang terbentuk dari perkawinan beda agama, dimana salah satunya adalah dengan cara melalui Pengadilan Negeri Kota Magelang dengan Penetapan Nomor : 04/Pdt.P/2012/PN.MGL.Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administras...
ALIENASI DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Tomy Michael Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia 0315926014, tomy@untag-sby.ac.id Abstrak Di dalam kehidupan manusia, perkawinan selalu menjadi tujuan hidup. Perkawinan yang identik dengan kebahagiaan adalah penciptaan atas manusia itu sendiri, namun tanpa perkawinan manusia juga bisa mencapai kebahagiaan hidup. Kebahagiaan hidup ini terkait dengan pemikiran universalisme. Kesemuanya menimbulkan permaslahan hukum yaitu dimanakah alienasi hak itu berada. Denagn penelitian normaif maka hasil yang diperoleh yaitu Pasal 33 UU No. 1-1974 tidak menghasilkan pemahaman yang kompleks karena ketika hak dasar manusia dinormakan maka terdapat pelanggaran terhadapnya. Sarannya yaitu tidak memasukkan perasaan pribadi dalam merancang suatu peraturan perundang-undangan. Kata kunci: alienasi, perkawinan, hak asasi manusia
BATAS USIA KAWIN MENURUT UU. NO 1 TAHUN 1974 DALAM KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN
One aspect of birth control in demography dynamics is a restraint of marital age. As mentioned in UU No. 1/1974, normatively, marital age of male is 19 years old, while female is 16. However, empiric study indicated that indonesian culture (i.e. to have their children get married at a very early age) is a major factor in discourage the implementation of the regulations. Further study and action must be taken to overcome this reality due to the achievement of national policy in demography.