Agama sebagai Kunci Perubahan (original) (raw)

Transformasi Ajaran Agama Melawan Krisis Iklim

Buku, 2023

Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda masyarakat global. Pada tataran praksis perubahan iklim telah dirasakan dan berdampak pada kehidupan umat manusia di seluruh planet bumi. Setiap tahun Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation) melakukan pertemuan para pihak (the Conference of the Parties/COP) dalam Konferensi Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCC). Pertemuan terakhir COP ke-27 berlangsung tanggal 6 sampai 20 November 2022 di Mesir. Hasil pertemuan COP 27 menegaskan kembali target utama untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C. Untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global tersebut membutuhkan kontribusi dan keterlibatan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah kontribusi agama sebagai institusi sosial dan keterlibatan penganutnya pada tataran praksis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa jumlah orang yang percaya kepada Tuhan di planet bumi mencapai 85.06 persen. Sejumlah 73.11 persen mereka menganggap Tuhan penting dalam kehidupannya. Mereka menganggap kehadiran agama menjadi penting dalam kehidupan sebanyak 72.40 persen orang. Artinya, agama bisa menjadi institusi sosial yang digerakkan dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim global. Ajaran agama apa pun baik itu agama samawi maupun agama tradisional memiliki ajaran dan nilai-nilai yang melarang umat manusia merusak lingkungan dan ekologi. Perubahan iklim adalah bagian dari masalah yang dihadapi umat manusia akibat tindakan manusia mengeksploitasi alam, maupun ekologi yang telah berlangsung ratusan tahun. Problemnya adalah dari berbagai riset dan literatur yang ditemukan ternyata agama belum berkontribusi dan memiliki keterlibatan yang optimal dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim. Pandangan keagamaan terhadap perubahan iklim masih bersifat dualisme. Di satu sisi kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim adalah hukum alam yang bersumber dari Tuhan sehingga manusia tak perlu melawan hukum Tuhan tersebut yang dikenal sebagai teosentris. Di sisi lain kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim akibat tindakan dan perilaku manusia yang merusak dan mengeksploitasi alam yang dikenal sebagai antroposentris. Pandangan yang bersifat antroposentrisme ini dominan dalam komunitas global tanpa memandang agama apa pun, sehingga Upaya mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim baik melalui adaptasi dan mitigasi telah menjadi agenda dan kesepakatan bersama komunitas global. Dari penelitian penulis ditemukan bahwa sejumlah 70.60 persen umat manusia merasa dirinya sebagai seseorang yang religius terlepas apakah ia menghadiri kegiatan keagamaan atau tidak sama sekali. Ditemukan juga bahwa 34.03 persen orang yang mengikuti kegiatan keagamaan paling tidak sekali dalam seminggu. Dari seluruh negara yang diteliti ternyata Qatar menjadi negara yang paling religius di dunia. Sebaliknya, China menjadi negara yang paling tidak religius. Dari 95 negara yang diteliti, ternyata sepuluh negara penghasil emisi CO2 terbesar tahun 2020 adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Korea Selatan, Indonesia, dan Arab Saudi. Mereka menyumbang sekitar 74.98 persen emisi CO2 dunia. China menduduki peringkat pertama menyumbang emisi CO2 dunia sebesar 30.63 persen. Sumber emisi China adalah pesatnya industrialisasi, jumlah penduduk yang banyak dan menjadi pengguna batu bara terbesar di dunia, yakni 53 persen dari total konsumsi batu bara global. Penelitian ini juga menemukan sepuluh negara penyumbang jejak ekologis terbesar yaitu China, Amerika Serikat, India, Federasi Rusia, Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman, Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara tersebut menyumbang sekitar 74.98 persen jejak ekologis dunia. Negara China kembali menjadi penyumbang jejak ekologis terbesar dunia sebesar 29.34 persen. Jika dikaitkan dengan tingkat religiositas umat manusia dalam suatu negara ternyata religiositas mempengaruhi perilaku dan tindakannya terhadap alam (pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam) dan keberlanjutan ekologi maupun ekosistem. Negara dengan penduduknya yang memiliki tingkat religiositas tinggi memiliki tingkat kepedulian yang tinggi dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orangnya. Sebaliknya, negara dengan tingkat religiositas yang rendah justru menjadi penyumbang emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orang terbesar di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiositas memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak ekologis per orang dalam suatu negara. Hal ini membuktikan bahwa ajaran agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat ditransformasikan menjadi institusi sosial yang mampu mencegah dan mengatasi persoalan perubahan iklim secara global. Dengan demikian akan menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistemnya serta umat manusia dapat menjalankan kehidupan yang nyaman dan aman di planet bumi.