Polarisasi 'Ilm: Sains dan Agama (Sameer Akkach (ed), 2019, Polaritation of 'Ilm: Science, Art and Religion in Islam (South Australia: The University of Adelaide)). (original) (raw)
Sameer Akkach (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam tradisi Islam, ada sejarah singkat terjadinya polarisasi pengertian tradisional ʿilm, 'pengetahuan', bergeser menjadi ʿilm yang merujuk sains dan dīn, 'agama'. Munculnya konflik antara 'ilm dan dīn dapat ditelusuri kembali pada awal-awal dekade dalam abad ke-19; namun begitu, intensitas perdebatan terkait polarisasinya dimulai di kemudian waktu, di abad yang sama. Secara umum, lahirnya konflik dalam mengartikan 'ilm muncul setelah masuknya pengaruh ide-ide abad Pencerahan Eropa dan lahirnya karya "tesis konflik", JW Draper dan AD White, pada khususnya. Para akademisi Arab dan Ottoman menyambut gembira lahirnya karya Draper yang menyatakan bahwa Islam memelihara dan mengembangkan sains, berbeda dengan Kristen. Tesis Driper selalu dirujuk sebagai bukti keunggulan Islam atas Kristen, mereka mengacu tesis konflik itu sejauh untuk memperbandingkannya dengan Kristen dan menilai hal itu sebagai hasil dari praktik represif Gereja. Pada pertengahan abad ke-20, muncul adaptasi baru tesis konflik, dengan diketemukannya polarisasi sains secara tradisional menurut Islam dengan membedakannya ke dalam rasional (ʿaqlī) dan yang ditransmisikan (naqlī). Bab ini membahas terjadinya polarisasi ʿilm menjadi sains dan agama dalam dunia Islam yang terjadi pada abad ke-19, dengan maksud untuk menunjukkan, pertama, memang ada pergeseran pemaknaan dalam sumber-sumber klasik Islam, yaitu sebelum abad ke-19 yang mengklasifikasikan sains menjadi (i) yang berdasar akal dan (ii) yang ditransmisikan, dan, kedua, menelaahnya dalam cara yang berbeda, dengan mengambil titik anjak cara pandang Arab-Islam. Dapat dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait munculnya polarisasi dalam Islam, utamanya bukan behubungan dengan perkembangan kesejarahannya dan bukan dimaksudkan untuk menghilangkan panduan moral dari lembaga-lembaga "saintifik"-nya, melainkan disebabkan pendekatan Islam terhadap sains yang skizofrenik ketika dihadapkan pada modernitas dan pondasi humanistiknya.