SENI DAN AGAMA1 (original) (raw)
Bayangkan kita berada di tengah kerumunan hadirin sebuah Musabaqah Tilawatil Qur'an. Di atas podium para qori dan qoriah secara bergilir melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an di hadapan dewan penilai yang mendengarkan lantunan mereka dengan cermat untuk kemudian menentukan qori dan qoriah terbaik. Sementara para qori dan qoriah tampil, tampak juru foto membidikkan kamera pada mereka dan memantulkan kilatan cahaya. Namun demikian, tak seperti lomba pada umumya, para penonton tidak memberi apresiasi pada peserta lomba dengan tepuktangan, sebaliknya mereka juga tidak merespon peserta lomba dengan seruan cemooh. Bagaimana kita akan mencerna peristiwa semacam itu? Pada saat menyusun tulisan ini, terdengar jelas adzan dari masjid. Suaranya lantang, dilantunkan seorang pria dewasa dalam nada medium (menengah), dengan lafal yang jelas, frasa kalimat panjang dilafalkan dalam satu tarikan nafas, menciptakan suasana syahdu. Berbeda dari pelantun adzan lain yang pernah terdengar di waktu lalu. Pelantun di waktu lalu itu membawakan adzan secara cepat, dengan nada tinggi, frasa dibawakan pendek-pendek, dan [kebetulan] nadanya sumbang pula. Alih-alih kesyahduan, saat itu saya peroleh kesan terburu-buru dan sembrono. Barangkali kesan yang saya peroleh itu berbeda dari kesan warga Muslim yang mendengar dua contoh adzan tersebut. Namun mungkin pula warga Muslim pun memiliki kesan serupa dengan yang muncul dalam diri saya. Sebagai seorang non-Muslim, tanggapan saya terhadap adzan yang terdengar terutama berada pada lingkup citarasa (estetika) musikal. Bagi saya, kesan syahdu atau sembrono tadi muncul sebatas evaluasi citarasa, tidak muncul emosi keagamaan ketika mendengar suara adzan. Ini tidak berarti bahwa saya mendengar adzan melulu dengan telinga, tanpa mengikut sertakan hati. Syahdu atau sembrono tadi juga merupakan hasil evaluasi rasa. Meskipun demikian, rasa yang muncul dalam diri saya adalah citarasa musikal, bukannya rasa (emosi) keagamaan. Saya bayangkan, adzan yang dilantunkan cepat-cepat dan sumbang tadi barangkali bagi warga Muslim menimbulkan kesan yang setara dengan kesan yang muncul apabila saya mendengar koor di gereja Katolik menyanyikan doa Bapa Kami dengan sumbang. Bila mendengar lagu Bapa Kami dibawakan dengan sumbang, dalam diri saya tidak hanya muncul kegusaran karena terganggunya citarasa musikal; melainkan juga karena emosi keagamaan saya terusik.