Hilmar Farid_Masalah Kelas Dalam Ilmu Sosial di Indonesia (original) (raw)
2006, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (editor Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz)
Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik tersebut. Kelangkaan itu begitu hebat sehingga seorang mahasiswa undergraduate yang baru mulai belajar tentang Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya (Levine, 1969). Ia menilai para sarjana di zaman itu hanya sibuk dengan perkembangan politik harian di parlemen, partai politik dan birokrasi pemerintah. Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan pedagang atau tuan tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai 'massa'. Walau hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik itu jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian Benedict Anderson-seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia-sambil lalu mengatakan bahwa ada beberapa karya "yang menunjukkan bahwa seruan Levine (untuk memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89). Tidak jelas karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana dalam database elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa tak seorang pun yang dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah ilmuwan Indonesia. Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia modern, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan cepat dikaitkan dengan munculnya Orde Baru. Seperti halnya penghancuran berbasis kelas 'membersihkan lahan' bagi pembangunan (Hilmar Farid 2000), represi dalam dunia keilmuan 'membersihkan pikiran' dan diiringi oleh apa yang oleh seorang penulis disebut 'de-edukasi' (Ward 1973: 75). Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka sesungguhnya. Bagian awal tulisan ini akan membahas berbagai perubahan dan discursive practices setelah peristiwa 1965-66 yang turut membentuk ilmu sosial di Indonesia. Sikap antikomunis dan doktrin pembangunan melalui pertumbuhan dan stabilitas, praktek 'massa mengambang', peran Amerika Serikat dan gagasan modernisasi yang lahir dalam Perang Dingin, adalah unsur-unsur penting untuk memahami discursive formation ilmu sosial di Indonesia semasa Orde Baru. Banyak masalah yang kemudian dikeluhkan para ilmuwan sendiri, seperti rendahnya kualitas penelitian, mentalitas proyek, kelangkaan kritik teori serta menghilangnya berbagai konsep penting seperti kelas dan gender dalam ilmu sosial, sangat dipengaruhi masalah ini. 1 Sejumlah intelektual sejak 1970-an mulai mengkritik paham liberal yang dominan dalam ilmu sosial di Indonesia dan menawarkan 'ilmu sosial historis' sebagai alternatifnya, yang antara lain memperkenalkan kembali konsep kelas. Usaha itu cukup berhasil menantang paradigma dominan itu dengan membongkar bias ideologi dan politik yang terkandung di dalamnya, tapi gagal melakukan pembalikan radikal terhadap apa yang mereka kritik. Dari pengamatan terhadap beberapa studi dan tulisan dalam langgam 'ilmu sosial historis' dan perbandingannya dengan analisis kelas dalam doktrin ortodoksi Marxis, saya berusaha merumuskan sebuah kerangka analisis kelas yang berguna untuk menjangkau "lebih dari apa yang nampak di permukaan" (Levine 1969:5). Berkebalikan dengan anggapan bahwa masalah kelas tidak relevan lagi dalam 'dunia serba-pasca' sekarang ini, saya ingin menunjukkan bahwa