Hilmar Farid_Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda (original) (raw)

1991, Jurnal Prisma edisi Peralihan Budaya Mencipta Makna,

Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan kebudayaan. Berbeda dengan pandangan tersebut, melalui telaah terhadap Balai Poestaka, tulisan ini berusaha memperlihatkan pengaruh dan keterlibatan negara Hindia Belanda dalam pembentukan budaya dan perkembangan intelektual di Hindia Belanda. Keterlibatan itu tentu tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme kolonial, yang tengah berubah sejak masa Politik Etis hingga lepas Perang Dunia I. SELAMA ini Balai Poestaka dikenal sebagai perintis dalam kesusastraan Indonesia modern. Pengertian yang terkandung di balik pernyataan ini, bahwa melalui lembaga tersebut, karya-karya sastra penulis pribumi dapat dibaca luas oleh masyarakat.[1] Pandangan seperti ini agaknya mengabaikan pendirian dan perkembangan Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial yang berhadapan dengan masyarakat Hindia Belanda. Kecenderungan lain dalam pembahasan tentang Balai Poestaka: pengamatan yang hanya diarahkan pada hubungan lembaga tersebut dengan perkembangan kesusastraan. Pengamatan seperti ini dapat menimbulkan pemahaman yang sama sekali keliru, karena Balai Poestaka jelas memiliki jangkauan yang lebih luas, karena pengaruhnya dalam dunia susastra memang besar. Studi mengenai aparatus negara kolonial yang berkaitan dengan perkembangan intelektual dan budaya sampai saat ini masih terbatas jumlahnya. Secara umum kaitan antara kolonialisme dan budaya belum mendapat perhatian yang memadai. Tulisan ini coba menguraikan hubungan kolonialisme dan perkembangan budaya di mana negara atau penguasa kolonial memegang peranan penting. Usaha penguasa kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri jajahan juga dilakukan melalui pembentukan lembaga-lembaga, yang kerap disebut ''lembaga budaya". Dalam pandangan yang dominan saat ini, budaya ditempatkan secara terpisah dari perkembangan ekonomi politik, sehingga Balai Poestaka dapat dikenang terbatas pada "jasa-jasanya" menerbitkan buku bacaan secara luas di Hindia Belanda. Kealpaan mendasar ini justru berakibat timbulnya pemahaman yang dangkal terhadap Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial. Gagasan dasar tulisan ini tentu tidak melihat lembaga yang dibentuk negara kolonial pada posisi netral seperti yang sering dibayangkan sejumlah penulis.[2] Karena berhubungan langsung dengan kolonialisme maka Balai Poestaka (selanjutnya disingkat BP) harus diletakkan dalam konteks hubungan penguasa kolonial dengan tanah jajahannya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga (di samping negara) sarat dengan kepentingan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepentingan ini bersama dengan perkembangan lainnya dalam masyarakat pada gilirannya juga berpengaruh pada berbagai teks (naskah) yang diterbitkan atau diproduksi lembaga itu. Sebagai produk yang khas, teks bukan sekedar hasil dari kreativitas seorang pengarang. Keadaan atau kondisi "di luar" teks, seperti penulisan, pengetikan, penyuntingan, penyebaran dan seterusnya sangat berpengaruh dalam pembentukan teks. Semua kondisi "di luar" teks ini, harus dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk secara historis.[3] Untuk dapat memahaminya secara mendalam, teks harus ditempatkan dalam konteks, di mana semua elemen yang turut membentuknya, mulai dari kondisi umum masyarakat sampai ke corak produksinya yang sangat khusus, turut diperhitungkan.