Pengakuan dan Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Pemerintahan Adat (original) (raw)

Jaminan Hukum atas Pengakuan dan Eksistensi Hak Ulayat pada Masyarakat Hukum Adat

Lex Publica

Hak-hak masyarakat hukum adat harus diakui sebagaimana terlihat dalam Pasal 56 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hak-hak masyarakat hukum adat akan diatur dalam undang-undang yang belum dilaksanakan. Karena tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik, pelaksanaan hak ulayat mengalami masalah, pengabaian hak bisa terjadi terhadap masyarakat adat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kemauan politik dan itikad baik dari pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Meninggalkan hak ulayat dengan asumsi tergantung perkembangan zaman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif atau penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengetahuan dasar dan teori-teori yang dibahas secara tertulis dengan melakukan kajian hukum normatif yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang realitas atau fenomena pengakuan Hak Ulayat oleh Negara se...

Pengakuan Negara Terhadap Masyarakat Hukum Adat

Binamulia Hukum

Masyarakat hukum adat (MHA) telah lahir dan telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga harus diakui dan dihormati keberadaannya. Apakah Masyarakat hukum adat masih ada dan diakui. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif untuk meninjau Pasal 18B dan 28I ayat (1) dan (2) amandemen ketiga, peraturan perundang-undangan, dan analisis isi untuk membedakan antara norma imperatif dan fakultatif terkait hak-hak MHA. Hasil dari penelitian ini adalah Keberadaan MHA di Indonesia diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Pokok Agraria, Kehutanan, Penataan Ruang, Desa, Pemerintahan Daerah, dan Perkebunan. Namun, pengakuan tersebut mensyaratkan MHA harus masih hidup, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang, sehingga merupakan pengakuan bersyarat.

Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya

Pandecta: Research Law Journal, 2015

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-barang material dan immateri. Mereka juga memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, dan peradilan adat yang diakui oleh kelompok. Perlindungan pada masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam Konstitusi Indonesia 1945 dan di beberapa tata hukum Indonesia tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena sangat perlu peraturan operasional. Hal ini dikarenakan amandemen UUD 1945 saat itu sarat dengan Kepentingan politik pada saat itu, sehingga kata-kata pembangunan Pasal 18B ayat (2) ambivalen dalam arti. Dalam satu sisi, negara mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat, namun di sisi lain mereka dituntut dengan persyaratan yang sulit dalam mewujudkan hak-hak mereka.<br /><br /><br />Indigenou...

Ketidakteraturan Hukum Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat DI Indonesia

LAW REFORM, 2019

Peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) sudah banyak dilahirkan tapi masyarakat hukum adat justru merasakan ketidakteraturan hukum. Tulisan ini membahas apa yang menyebabkan ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan MHA, bagaimana menjaga orientasi pembaruan hukum terkait MHA, dan tata pikir yang seperti apa perlu dibangun dalam rangka pengakuan dan perlindungan MHA di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan hukum MHA terjadi karena banyak sebab, antara lain ragam istilah dan banyaknya dimensi serta lembaga yang menangani MHA itu sendiri. Orientasi pembaruan hukum terkait MHA terlihat adanya pengajuan yudicial review terhadap UU yang tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada empat putusan MK yang sangat penting terkait dengan keberadaan MHA, yakni Putusan MK No. 001-21-22/PUU-I/2003 dan No. 3/PUU-VIII/2010 (memperjelas tolak ukur frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”), Putusan ...

Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU- X/2012 Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Penguasaan terhadap hak atas tanah adat dan hutan adat merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik kehutanan di Indonesia. Konflik yang sering terjadi adalah ketidakpastian status hak masyarakat adat di kawasan hutan. Hal ini disebabkan karena produk hukum dikeluarkan oleh pemerintah menempatkan persepsi yang dominan terhadap peran dan fungsi pemerintah sebagai pelaku tunggal, akhirnya pada tanggal 16 Mei 2013, melalui putusan atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012. Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif (normative law research). Dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Akan tetapi, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memperlakukan masyarakat hukum adat secara berbeda dengan subjek hukum yang lain. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang ...

Peran Masyarakat Adat Dalam Mempertahankan Eksistensi Hukum Sasi

Batulis Civil Law Review

The purpose of this research is to analyze and find out the function and role of Sasi Law in the management of the environment, natural resources and ecosystems in it by the people in Negeri Seith and Negeri Ouw, Central Maluku district, and regulations in Seith and Ouw countries in maintaining the existence of Sasi law. This research method is empirical law, which is a research based on field data by taking data according to the sample and conducting an assessment of positive legal provisions and legal principles. The results of the study show that the implementation of Sasi is currently experiencing degradation because it has not been carried out as the implementation of Sasi was originally, even though Sasi has been considered as part of customary law in each Negeri. The regulation of Sasi is not regulated in a Negeri Regulation so that it binds the community and people in each Negeri, as well as being a guide for the next generation to be maintained.

Menggagas Kebijakan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat yang Lebih Operasional

Jelaslah, seperti yang disebut Safitri & Uliyah (2014: 11 - 12), istilah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat atau desa adat itu adalah konsep, yaitu pernyataan abstrak atau dikenal pula sebagai ‘abstraksi’ mengenai suatu realitas yang diungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuan mengenai realitas tersebut. Dikatakan pula “Meskipun istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan beragam, dalam kenyataannya Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat adat merujuk pada fakta komunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya tidak digunakan istilah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat, melainkan istilah yang menunjukkan identitas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, Orang Rimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya”. Pernyataan Safitri dan Uliyah itu sebagian ada benarnya. Sebagian lainnya justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Pertama, apakah ‘kasepuhan’, ‘orang’, dan ‘nagari’ merujuk pada ‘satuan sistem pengorganisasian’ yang sama? Kedua, apakah ‘satuan-satuan sistem pengorganisasian’ yang sudah disebutkan itu saja yang tercakup ke dalam konsep ‘masyarakat hukum adat’ dan/atau ‘masyarakat adat’ itu? Oleh sebab itu, sebelum merumuskan kebijakan terkait dengan pengakuan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat itu perlu diketahui dan dipahami apa bentuk-bentuk riel dari realitas yang dipresentasikan oleh konsep ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’ itu. Dengan kata lain, perlu diungkap ‘pandangan emik’ – sebagai anti tesis dari konsep yang sejatinya merupakan ‘pandangan etik’ -- dari komunitas-komunitas yang bersangkutan terkait dengan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai ‘hak’ dan ‘masyarakat hukum adat’ itu. Inilah yang kurang – untuk tidak mengatakannya alpa – untuk dilakukan selama ini.