MEDIA DAN PEMERINTAH DALAM CONTOH KASUS UU ITE DI INDONESIA (original) (raw)
Related papers
TINJAUAN UU ITE TERHADAP PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL DI INDONESIA
Tuntunan terhadap akses telekomunikasi yang tinggi menjadi alasan penggunaan internet terutama media sosial sebagai media untuk menyampaikan berpendapat dan berserikat atau berorganisasi. Regulasi dan hukum penggunaan dan pemanfaatan media sosial telah diatur dalam Undang-Undang no.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan diperbarui di Undang-Undang No. 18 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU no 11 Tahun 2008. Terdapat dampak positif maupun dampak negative dalam pemanfaatan media sosial, oleh karena itu pemahaman dan sosialisasi mutlak perlu dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Sebab sebaik apapun Undang-Undang (ITE) dibuat jika tanpa kesadaran akan hukum dari masyarakat tidak akan berpengaruh. Dan yang terpenting sebagai pengguna dapat menjaga etika dan bijak dalam ber-media sosial. Kata kunci : Media sosial, UU ITE, Hukum dan regulasi
KEBEBASAN BERPENDAPAT TERHADAP PEMERINTAH MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UU ITE
Pemerintah menuntut keaktifan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Namun, pernyataan tersebut menimbulkan polemik berbagai kalangan. Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui respons mahasiswa terkait pemerintah yang menuntut untuk dikritik, namun terancam oleh UU ITE. Dan membahas bentuk jaminan hukum agar masyarakat dalam mengkritik pemerintah dapat terlindung dari sanksi pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan melakukan survei melalui kuesioner, dan metode yuridis normatif yaitu menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur hukum. Adanya UU ITE membuat masyarakat khawatir dalam memberi kritik dan masukan kepada pemerintah karena kurangnya jaminan atas kebebasan berpendapat dalam memberikan kritikan kepada pemerintah melalui media sosial.
PERBANDINGAN HUKUM ANTARA MEDIASI DAN WAKAI
Peace was one of the media to get a deal between two parties who had different agreement without relying on " win or lose " result. In Indonesia, the regulation that arranged peace was in article 130 HIR and article 145 RBG that was applied and effective through SEMA no 1 year 2002. On September 11 th , 2003, Supreme Court issued PERMA no 2 year 2003. Then on July 31 st , 2008 PERMA no 2 year 2003 was revised into PERMA No 1 year 2008 that had been put into effective until now. The different condition happened to Japan; that was the people tended to choose to propose a wish to be reconciled by the court and did not charge an accusation which was commonly successful that was famous with the term Wakai. Wakai was a mechanism in solving an agreement in Japan with a help of a mediator. In this case, the agreement between the parties who had a dispute was an absolute thing and it had to be reached well by appreciating the autonomy of each party. This research used the method of law regulation comparison between the regulation of legislation in Indonesia and legislation in Japan which had been translated into English. Abstrak Perdamaian merupakan salah satu sarana untuk mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang berselisih tanpa mengandalkan hasil menang atau kalah. Di Indonesia sendiri peraturan yang mengatur tentang perdamaian diatur dalam ketentuan pasal 130 HIR dan pasal 145 RBG, yang diberdayakan dan diefektifkan melalui SEMA nomor 1 tahun 2002. Pada tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA nomor 2 tahun 2003. Kemudian pada tanggal 31 Juli 2008 PERMA nomor 2 tahun 2003 direvisi oleh PERMA nomor 1 tahun 2008 yang sampai saat ini berlaku. Keadaan berbeda yang terjadi di Jepang, yaitu masyarakatnya lebih banyak memilih mengajukan permohonan untuk didamaikan oleh pengadilan dan bukan mengajukan gugatan yang pada umumnya berhasil yaitu yang dikenal dengan istilah wakai. Wakai merupakan mekanisme penyelesaian sengketa ala Jepang dengan bantuan seorang penengah. Dalam hal ini kesepakatan antara para pihak yang bersengketa merupakan hal yang mutlak dan harus dicapai sebaik-baiknya dengan menghargai otonomi para pihak. Penelitian ini menggunakan metode perbandingan aturan hukum antara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Jepang yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh
Mediation is generally known as a form of Alternative Dispute Resolution in the civil law, but in the development of mediation in criminal cases can be made known to the Penal Mediation. Penal mediation can be used in some special category of criminal acts. Application of mediation in the settlement of the criminal case does not extend a purpose other than the conflict between the offender and the victim but to help law enforcement agencies in reducing the accumulation of case files. The purpose of this paper is to understand and know about how a mediation mechanism can be used to solve a criminal case in Indonesia. In this study, using descriptive normative method. Normative approach to the legal research using secondary data sources, while the descriptive approach is the method of research that seeks to describe and interpret objects in accordance with what it is.
Regulasi Media Di Indonesia (Tinjauan UU Pers Dan UU Penyiaran)
2014
Abstract; Media merupakan salah satu lembaga penting bangsa. Untuk melaksanakan peran dan fungsi media yang benar, media harus menerapkan peraturan secara profesional. Perilaku media tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan sistem media. Secara umum, pers adalah seluruh industri media yang ada, baik cetak maupun elektronik. Namun secara khusus, pengertian pers adalah media cetak (printed media). Dengan demikian, Undang-Undang Pers berlaku secara general untuk seluruh industri media, dan secara khusus untuk media cetak. Peraturan dapat menjadi hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (seperti UU Pers); atau kode etik yang ditetapkan oleh wartawan atau organisasi profesi (seperti Kode Etik Jurnalistik). Peraturan pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Untuk mendukung pelaksanaan UU Pers, Dewan Pers menetapkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sedangkan peraturan media penyiaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 32 T...
Oleh: FAIRUZA KHAIRUL IKHSAN 0802514047 PEMINATAN BROADCASTING AND NEW MEDIA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA JAKARTA 2018 BAB I PENDAHULUAN Menurut Effendy (2002 : 21) yang dimaksud dengan televisi adalah televisi siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserampakan, dan komunikasinya bersifat heterogen. Televisi adalah salah satu media yang memilii peran besar terhadap masyarakat, media massa menduduki peran penting dalam teori pembelajaran social (Winarso, 2005:175). Televisi juga dapat membentuk sifat masyarakat dengan tayangan yang disajikan. Stasiun televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang jumlahnya sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Pada dasarnya apa saja bisa dijadikan program untuk ditayangkan di televisi selama program itu menarik dan disukai audien, dan selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum dan peraturan yang berlaku (Morrisan, 2011:217). pembalut wanita, iklan kondom dan/atau alat pencegah kehamilan lain, promo program siaran yang masuk klasifikasi remaja dan dewasa, iklan majalah dan tabloid yang ditujukan bagi pembaca dewasa, dan iklan alat pembesar payudara dan alat vital; g. hubungan asmara antara lawan jenis dan sesama jenis; dan h. jasa pelayanan seksual dan/atau alat bantu seksual. (5) Program siaran anak-anak diutamakan disiarkan dari pukul 05.00 hingga pukul 18.00 waktu setempat. BAB IV ANALISIS DAN DISKUSI Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya televisi telah membawa dampak negatif sekaligus positif. Oleh karena itu, televisi kerap disanjung karena kebaikan siarannya, dan seringkali juga jadi kambing hitam karena efek negatif siaran yang ditayangkan. (Aep Kusnawan, 2004 : 73). Dalam hal ini KPI seharusnya lebih peka pada jam tayang anak, karena sebenarnya pada jam jam tersebut masih banyak stasiun televisi yang masih melanggar P3SPS. Pada saat ini KPI hanya focus pada konten yang disajikan oleh stasiun televisi. Dalam P3SPS jam tayang yang dilindungi untuk anak yaitu pada pukul 05.00 hingga 18.00 waktu setempat. Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak TRANS TV yaitu menayangkan program Insert Pagi, FTV, Insert dan Katakan Putus, Rumpi (no secret). Program TV tersebut mengandung unsur perceraian, perselingkuhan, hubungan asmara antara lawan jenis, adegan kekerasan dan/atau berbahaya. Begitu juga dengan SCTV yang menayangkan mermaid in love 2 dunia dan SCTV FTV pagi. RCTI menayangkan go spot, intens dan silet. Jam yang seharusnya
PERAN MEDIA MASSA PADA KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA
Abstrak Pers Indonesia pada era reformasi mengalami perubahan yang positif setelah runtuhnya orde baru. Hal ini dapat dilihat dari semakin beraninya pers mengemukakan fakta dengan lebih jujur dalam menyampaikan sikap dan pandangannya. Penelitian ini menganalisis teks berita sebagai wacana yang dikonstruksikan oleh harian Republika dan Kompas. Analisis ini dilakukan pada Harian Republika dengan latar belakang ICMI-nya dan Kompas dengan latar belakang Partai Katoliknya untuk mengetahui bagaimana kedua harian tersebut melakukan penonjolan yang berbeda terhadap isu tragedi bob Bali, tahun 2002 yang lalu. Peneliti menggunakan framing analysis model Gamsom dan Modigliani. Analisis ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pekerja media mengkonstruksi realitas menjadi sebuah berita dengan menggunakan perangkat yaitu (1) framing devices (perangkat framing) menekankan aspek bagaimana " melihat " suatu isu, perangkat ini terdiri dari metaphors, exemplaar, depictions, visual images, cathphrases. (2) Reasoning devices (perangkat penalaran) yang menekankan aspek pembenaran terhadap cara " melihat " isu, yang terdiri dari dua perangkat yakni roots (analisis kausal) dan appeal to principle (klaim-klaim moral). Hasil penelitian menunjukkan bahwa trend pemberitaan kedua harian yang diteliti yaitu Harian Republika dan Kompas1 mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam mengkerangkakan berita tentang tragedi Bali. Jika Harian Republika sebagai koran yang mewakili intelektual muslim cenderung bersikap hati-hati dalam memberitakan isu tragedi bali. Sedangkan Harian Kompas pada pemberitaan tentang tragedi Bali ini terkesan netral tetapi apabila dikaji lebih lanjut, Kompas mempunyai kecenderungan mendukung langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia yang mendapat 'desakan' dari negara lain terutama Amerika Serikat, yaitu mendukung atas lahirnya UU Antiterorisme.
Demokrasi Mengenai Pasal Multitafsir UU ITE Pada Media Daring Khususnya Media Sosial Di NKRI
2021
Dengan adanya perkembangan di era digital ini membuat pihak pemerintah mengesahkan Undang-Undang yang mengatur mengenai pedoman dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia yaitu UU ITE . Namun, menurut beberapa pihak tertentu pada pasalnya terdapat beberapa pasal yang dirasa mempunyai makna dan rumusan yang kurang jelas sehingga terjadinya Revisi pada UU ITE ini. Adapun beberapa hal terkait Revisi UU ITE yaitu alasan dari pembentukan UU ITE dan pihak yang mengesahkannya, respon masyarakat dengan adanya pengesahan dan Revisi UU ITE, alasan dari Revisi UU ITE, pasal yang di revisi, problematika setelah UU ITE di revisi, tanggapan masyarakat pengguna Media Sosial terhadap Revisi UU ITE, dan Pro-Kontra yang ada. Oleh sebab itu, pihak pemerintah sebaiknya melakukan pengkajian ulang mengenai pasal Multitafsir ini dan mempertegas hukuman serta sanksi untuk pelaku ujar kebencian di media daring khususnya media sosial di Indonesia. Kemudian kepada masyarakat pengguna media sosial supaya lebih bijak dalam penggunaan media ini dengan tidak memposting atau memberikan komentar yang dapat menyebabkan permasalahan bagi siapapun dan selalu menerapkan pengunaan media dengan baik, benar dan tepat.
PEMANFAATAN MEDIA MASSA OLEH PENEGAK HUKUM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Bergulirnya reformasi yang mana juga disertai dengan menguatnya tuntutan akan supremasi hukum mengharuskan pihak aparatur pemerintahan bangsa Indonesia khususnya lembaga yudikatif bekerja ekstra untuk memenuhi tuntutan tersebut. Salah satu tuntutan masyarakat dalam agenda supremasi hukum adalah pemberantasan korupsi. Karena korupsi yang ditemani oleh kolusi dan nepotisme sebagai suatu biangkerok terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia. Dari sudut pandang hak asasi manusia, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai tindak ordinary crime melainkan telah menjadi suatu tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime. Seiring dengan menguatnya isu korupsi, berbagai upaya atau langkah telah dilakukan pemerintah baik dari aspek substantif peraturan perundang-undangan korupsi, aspek struktur institusi dari penegak hukum yang melakukan pemberantasan korupsi maupun dari aspek kultur masyarakat yang dibangun dalam rangka menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Namun demikian upaya pemerintah ini sekalipun belum maksimal paling tidak telah menunjukan itikad keseriusan dalam memerangi tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kalangan dan tokoh baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang harus mendekam di balik tembok penjara karena melakukan tindakan korupsi. Semangat pemberantasan korupsi yang diawali dengan perubahan dan pembaharuan hukum tentang korupsi yaitu dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ABSTRAK Seiring dengan menguatnya isu korupsi, berbagai upaya atau langkah telah dilakukan pemerintah baik dari aspek substantif peraturan perundang-undangan korupsi, aspek struktur institusi penegak hukum yang melakukan pemberantasan korupsi maupun dari aspek kultur masyarakat yang dibangun dalam rangka menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Berbagai upaya pembaharuan produk hukum dalam rangka penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut belum juga menunjukkan hasil yang maksimal. Dewasa ini kian banyak elit politik yang terjerat kasus korupsi. Melihat fenomena di atas tampak adanya keterbatasan kemampuan hukum pidana untuk penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk itu diperlukan sarana lain (non-penal) selain sarana pidana (penal) dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. ABSTRACT Along with the continuously rising of the corruption issue, various actions or steps has been taken by the government whether from the corruption aspect of substantive aspects, aspects of the structure of corruption eradication and cultural aspects of the community that was built in order to inculcate the values of anti-corruption. Various efforts to reform the legal product in order to control or perform an eradication of corruption, but it was not showing the maximum results. Today, a large number of political elites are entangled in corruption cases. This phenomenon shows an appearance of the limited ability of the law to prevent and eradicate the corruption. Thats why it required another means (non-penal) besides the criminal (penal) means, in the prevention of corruption.