Penalaran Hakim Menerapkan Ajaran Penyertaan Dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi Pada Bank Riau-Kepri (original) (raw)
Related papers
Ajaran Turut Serta Tindak Pidana Korupsi
Syiah Kuala Law Journal
Penyertaan pada dasarnya diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orangatau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan.Dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor : 1769 K/PID.SUS/2015 menyatakan bahwa Terdakwa I Indra Gunawan Bin Alm. Saleh tersebut tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam semua dakwaan Penuntut Umum dan Menyatakan Terdakwa II Irfan Bin Husen telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut Serta Melakukan Korupsi”. Majelis Hakim Judex Factie Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh dalam memeriksa dan mengadili perkara Aquo telah salah dalam menerapkan hukum atau suatu peraturan hukum ...
Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), 2021
Adanya disparitas pemidanaan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi menimbulkan pengembalian kerugian keuangan negara hasil tindakan korupsi tidak maksimal. Pada semester I tahun 2020 hanya sekitar 5 persen kerugian negara yang dipulihkan dari instrumen Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai solusi terjadinya disparitas putusan sekaligus sebagai pedoman pemidanaan guna mengoptimalkan upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi. Namun demikian, implikasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 belum dapat diketahui analisis kedudukannya terhadap upaya pemberantasan korupsi dan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi kepada negara. Hal ini menarik untuk dikaji guna mendapatkan formulasi kebijakan hukum ius con...
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum
This study aims to find out the guidelines used by the panel of judges in dealing with criminal acts of corruption, especially acts that are subject to offenses under Article 2 and Article 3 of the Corruption Law based on PERMA Number 1 of 2020. Juridically, the PERMA is binding on Pekanbaru District Court Judges in making their decisions. . However, the facts on the ground show that there is still a disparity in sentencing by judges at the Pekanbaru District Court in passing their decisions on corruption crimes which are subject to articles 2 and 3 of the Corruption Law. The research method in this writing is a normative research method that is descriptive analysis using primary legal sources, secondary legal materials and tertiary legal materials then analyzed qualitatively using logical thinking in drawing conclusions which are carried out deductively. The results of the research show that the application of Supreme Court Regulation Number 1 of 2020 concerning Guidelines for Puni...
2018
Pretrial is an institution in the Indonesian criminal justice system in the lives of law enforcement. Pretrial court is not an institution the stands alone but is part of the district court. Pretrial authority under Article 1 point 10 and Article 77 of the Criminal Code of Indonesian that is checking the validity of the arrest and detention, whether legitimate or termination of the investigation or the discontinuation of the prosecution, the request for compensation and rehabilitation. Problems arise when a decision of district court pretrial in south jakarta, granted the request of the suspect determination of Police General Commissioner Budi Gunawan to stop the investigation about himself againts Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK). Pretrial became an attention again since district court judge of south jakarta accepted Setya Novanto’s lawsuit of pretrial Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. setya novanto was determined as a suspect. The judge considered that the deter...
Anotasi Hukum Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
PN.Jkt.Pst. ATAS NAMA TERDAKWA WA ODE NURHAYATI Oleh : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH I. PENGANTAR Realitas bahwa korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari "lintas kekuasaan" adalah sebuah keniscayaan. Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia utamanya, telah mencatat para koruptor yang berasal dari cabang kekuasaan eksekutif merupakan jumlah terbanyak dibanding koruptor dari cabang kekuasaan lainnya: yudikatif dan legislatif. Anggapan yang menyatakan bahwa setiap orang akan menjadi korban korupsi ketika harus berhubungan dengan birokrasi pemerintahan dan peradilan mendapat pembenarannya. Begitu mengguritanya korupsi, bahkan "sistem pemilihan umum" sebagaimana adanya pada saat ini juga menjadi salah satu faktor penyebab yang mendorong para legislator dan kepala-kepala daerah untuk melakukan korupsi.1[3] Sejak lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi, pemberantasan korupsi tidak saja dilakukan terhadap para birokrat eksekutif ataupun pengusaha-pengusaha yang merugikan uang negara, tetapi juga dilakukan terhadap cabang kekuasaan yudikatif, terhadap mafia peradilan, para hakim, panitera, bahkan belakangan juga (akan) menyentuh hakim agung. Demikian juga ranah legislatif tak bebas dari sentuhan KPK, berbagai kasus "jual-beli kekuasaan" yang dalam perspektif hukum pidana disebut juga kasus korupsi, meski perbuatannya berbentuk suap terhadap penyelenggara negara. Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.2[4]
Jurnal Penelitian Hukum de Jure, 2016
Penelitian Hukum De Jure adalah majalah hukum triwulan (Maret, Juni, September dan Desember) yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI bekerjasama dengan IKATAN PENELITI HUKUM INDONESIA (IPHI), bertujuan sebagai wadah dan media komunikasi, serta sarana untuk mempublikasikan aneka permasalahan hukum yang aktual dan terkini bagi para peneliti hukum Indonesia khususnya serta kalangan masyarakat dan pemerhati hukum pada umumnya.
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2013
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan diketahui dari hal-hal yang melekat dalam diri pelaku atau terdakwa, baik latar belakang terdakwa, pengakuan dan penyesalan terdakwa yang diungkapkan dalam persidangan maupun sikap terdakwa selama menjalani persidangan memiliki nilai tersendiri bagi hakim untuk mempertimbangkan dalam menjatuhkan putusan pidana penajara terhadap terdakwa. Bobot sanksi pidana penjara yang di jatuhkan kepada para pelaku tindak pidana hanya untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pelaku tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam putusannya terhadap perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan di dasarkan pada fakta-fakkta yang diperoleh melalui keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan lebih terfokus pada pembuktian perbuatan terdakwa dan keadaan dari terdakwa.
PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH PENYIMPAN DALAM PROSES KEPAILITAN BANK (SKRIPSI)
Agung Hidayat Mazkuri
ABSTRAK Bank adalah lembaga intermediasi sekaligus lembaga yang berorientasi profit. Intermediasi berarti bank merupakan sokoguru dari perekonomian nasional. Lembaga profit berarti orientasi bank secara faktual adalah mendapat untung. Keberadaan bank ini, seperti telah disebutkan, menempatkan Bank diatur oleh regulasi khusus dan diawasi oleh otoritas khusus. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penangguhan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa locus standi pemohon adalah Bank Indonesia dalam hal debitur adalah Bank, tidak yang lain, meskipun selaku debitor dalam kepailitan bank, umumnya, adalah nasabah deposan. Dalam praktiknya, Bank Indonesia tidak pernah sekalipun memilih jalur litigasi sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 34/2007. Vice versa, Bank Indonesia dalam regulasi perbankan sekarang tidak lagi mengawasi ranah mikroprudensial, melainkan Otoritas Jasa Keuangan. Pencabutan izin usaha bank berada pada lembaga ini dan menyerahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk melikuidasi Bank Gagal agar tidak merugikan nasabah lebih jauh. Dasar hukum bagi otoritas perbankan mangambil tindakan Likuidasi ini telah diatur oleh undang-undang perbankan dan peraturan turunannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan hukum Nasabah Penyimpan terhadap pemailitan Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 34/2007 dan perlindungannya. Pendekatan dalam menjawab isu hukum adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Konklusinya, menemukan bahwa perlindungan Deposan dilayani oleh mekanisme likuidasi dan peraturan perbankan adalah lex specialis terhadap UU No. 37/2004 yang merupakan lex generalis. Lebih jauh, Bank Indonesia mustahil menempuh kepailitan, sebab BI tidak mungkin merusak sistem ekonomi nasional demi kepentingan kreditur semata. Meski begitu, hukum perbankan dan lembaga otoritasnya telah menyediakan perlindungan hukum bagi nasabah deposan dan bilamana nasabah deposan merasa dirugikan, maka dapat menggugat ke pengadilan Negeri. ABSTRACT Bank is an intermediary institution at the same time as a profit-oriented. Intermediation means the banks is pole of the national economy, stated by Article 3 and 4 of the Act of Banking. A profit institution means the bank’s oriented is factually profitable, concluded from the statement of Article 1 number 5. It’s fact, as mentioned, places the banks regulate by special regulations. Article 2 paragraph (3) of Act Number 37/2004 ruled that the locus standi of applicant’s to Commercial Court is on Bank Indonesia as far as the Debtor is Bank, no one else, althought the depositors in the banking contract categorized as a creditors. In practice, Bank Indonesia has never even chosen a litigation path regulated by Act Number 34/2007. Vice versa, Bank Indonesia recently has no longer oversees microprudential areas, but Otoritas Jasa Keuangan. The authority to revoke the busines licenseof bank is on its institution and submit to the Lembaga Penjamin Simpanan to liquidate the bank so as not to harm the depositors more deeply. Legal basis of authorities of banking to take a Liquidation ruled by the Banking Act and its derivative regulations. The study aims to analyze the legal position of the Depositor to the failure of Bank as regulated by Act No. 34/2007 and its legal protection. The approach in responding to the legal issues is statuary approach and conceptual. As the conclusion found that protection of Depositors was served by liquidation mechanism and regulations of banking is lex specialis against the Act Number 37/2004 is lex generalis. Moreover, It is impossible for Bank Indonesia tochose bankruptcy canal bankruptcy law to ruin national economic system just to serve an interest of creditors itself. Even so, banking law and its authority institutions have provided legal protection for depositors and if the depositors disadvantaged, they can sue to District Court.
Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Dalam Perkara Korupsi Politik
Jurnal Yudisial, 2019
ABSTRAKMemasuki masa pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah selalu muncul opini tentang korupsi politik, baik sebelum dan sesudahnya. Persoalan korupsi politik ini secara definitif dalam hukum positif tak diatur secara eksplisit sehingga dipertanyakan keberadaannya. Akan tetapi secara praktik penegakan hukum, terdapat putusan pemidanaan yang mengidentifikasi korupsi politik dan memperberat hukuman terhadap pelakunya. Bahkan pemidanaannya melebihi daripada pidana yang dituntutkan oleh jaksa. Menarik untuk dipermasalahkan yaitu: bagaimanakah eksistensi korupsi politik dalam perundang-undangan Indonesia; bagaimanakah praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi politik; dan bagaimanakah filosofi putusan pemidanaan melebihi tuntutan dalam perkara korupsi politik. Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan mengemukakan bahwa eksistensi korupsi...