Politik Identitas Masyarakat Tengger Dalam Mempertahankan Sistem Kebudayaan Dari Hegemoni Islam Dan Kekuasaan (original) (raw)
Related papers
Ekspresi Kebangkitan Politik Identitas dan Penguatan Kompetensi Sosiokultural
Jurnal Widyaiswara Indonesia , 2021
This paper aims to explain the existence of identity construction based on several models that influence the phenomenon of violence. Identity problems seen from a political psychology approach are often carried out with a negative stigma that has an impact on discrimination. This writing focuses on the development of identity expressions that are influenced by social movements of the community, both religious, ethnic, and political organizations. The phenomenon of political contestation in the presidential election and regional head elections which took place simultaneously, also influenced the strengthening of group identities in practical political participation. This study uses a qualitative research model with a political psychology study approach that uses the method of document review and participant or non-participant observation in a virtual ethnographic approach. The main sources were analyzed by descriptive analysis method to obtain political constructions and movement constructions on certain identities.
POPULISME ISLAM Kesalehan Politik Identitas dan Dekonsolidasi Demokrasi
Abdi Fauji Hadiono, 2024
Populisme Islam muncul dalam berbagai bentuk dan konteks, mulai dari gerakan sosial hingga partai politik. Prof Amal—penulis buku ini—menggambarkan bagaimana populisme Islam berbeda dari bentuk populisme lainnya dengan menekankan elemen keagamaan yang kuat. Populisme Islam seringkali menantang prinsip-prinsip demokrasi, terutama pluralisme dan toleransi. Gerakan populis Islam cenderung mengadopsi retorika eksklusif yang membatasi ruang bagi kelompok minoritas dan oposisi. Strategi yang digunakan oleh kelompok populis Islam untuk mempengaruhi politik di Indonesia. Strategi-strategi ini meliputi penggunaan media sosial untuk menyebarkan pesan keagamaan, pengorganisasian demonstrasi dan aksi massa, serta partisipasi aktif dalam proses pemilu. Beberapa dampak utama adanya populisme Islam yang diidentifikasi oleh penulis adalah: Pertama, Polarisasi Sosial. Populisme Islam seringkali menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat, dengan memisahkan “kami” (umat Islam sejati) dari “mereka” (kelompok lain yang dianggap sebagai musuh). Polarisasi ini dapat memperdalam perpecahan sosial dan melemahkan kohesi nasional. Kedua, Erosi Nilai-Nilai Demokrasi. Penulis mengamati bahwa beberapa kelompok populis Islam cenderung mengabaikan atau bahkan menentang prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti kebebasan berpendapat dan perlindungan hak asasi manusia. Ini dapat mengarah pada erosi nilai-nilai demokrasi dan melemahkan institusi-institusi demokratis. Ketiga, Peningkatan Otoritarianisme. Dalam beberapa kasus, populisme Islam digunakan oleh pemimpin politik untuk memperkuat kekuasaan mereka dan membatasi oposisi. Ini dapat menyebabkan peningkatan otoritarianisme dan membatasi ruang bagi partisipasi politik yang inklusif. Penulis berhasil mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang menyebabkan erosi nilai-nilai demokrasi dan menunjukkan bagaimana populisme Islam dapat berkontribusi pada polarisasi sosial dan peningkatan otoritarianisme. Studi kasus yang disajikan memberikan konteks empiris yang kuat dan memungkinkan pembaca untuk memahami dinamika konkret di lapangan. Seiring dengan menguatnya populisme Islam dengan karakternya yang konservatif dan radiklalis, atau dalam istilah global dikenal dengan istilah populisme kanan (right populism), perkembangan kualitas demokrasi Indonesia pasca Orde Baru kian mengalami penurunan. Setelah mengalami perkembangan progresif pada periode 1999 samai 2004, perkembangan demokrasi Indonesia mengalami stagnasi (2005-2014). Bahkan pada periode berikutnya (2015-2019), tren perkembangan demokrasi Indonesia dan global pada umumnya justru mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang kebebasan sipil. Dalam konteks ini, kebangkitan populisme (bawah seperti populisme Islam dan atas seperti populisme elit politik) memberikan andil yang tidak kecil bagi dekonsolidasi demokrasi Indonesia pasca Orde Baru. Satu hal yang cukup menarik untuk kasus Indonesia ialah kemunculan aksi mobilisasi massa yang dipelopori oleh agen-agen Islam politik seperti FPI, FUI, HTI, dan lainnya. Gerakan mobilisasi massa dalam Aksi Bela Islam (411, 412), Aksi Bela Ulama, Reuni 212, sampai people power disebut-sebut sebagai ekspresi populisme Islam paling fenomenal dan mendapatkan perhatian luas dari banyak kalangan, termasuk para ahli baik dari dalam maupun luar negeri. Gerakan mobilisasi massa yang menggunakan simbol-simbol agama ataupun politik identitas ini, tidak sebatas meramaikan kontestasi kekuasaan baik di tingkat lokal (Pilkada DKI Jakarta) maupun nasional (Pilpres). Bagaimanapun kehadirannya telah berperan penting dalam mengubah lanskap kepolitikan dan keislaman di Indonesia. Tidak sedikit ahli yang menilai bahwa kemunculan aksi mobilisasi massa terbesar dalam sejarah Indonesia pasca Orde Baru ini, berhasil menempatkan kelompok-kelompok Islamisme dalam arus mainstream perbincangan publik
Politik Identitas Islam dan Urgensi Pendidikan Multikultural
2019
This article highlights the politics of Islamic identity that appears through persecution and religious-based violent extremism. During the past two decades, the hustle and bustle of public space seem to be filled with various religious symbols, which visibly deep respect for the reality of diversity while reducing the critical role of Pancasila as the ideology of the Indonesian state. If such behaviour is carried out in a corridor that upholds the values of Pancasila, then that attitude is not a problem. However, because the imposition of Islamic identity is accompanied by expressions of hatred and other judgmental attitudes, this needs to be anticipated. In fact, in several cases, this other judgmental attitude often leads to the mobilization of the masses to execute those who are considered different from the majority. Such a social situation can tear the religious plurality that has fostered this nation for a long time. Therefore, this article seeks to examine several things, na...
Politik Identitas Etnis Dan Representasi Praktek Kekuasaan Simbolis Dalam Harmonisasi Antar Etnis
Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam
After the New Order in 1998, the enactment of regional autonomy required each region to carry out empowerment. This dimension has become a gap in local democratization to dominate local political power, whose main goal is to make efforts that focus on symbolic power as an effort to strengthen inter-ethnic harmonization, not vice versa to dominate power for certain ethnicities and even control economic resources in the area.. The approach used in this article is a qualitative method. The literature study is used primarily to trace the development of the politicization of identity in election politics with inter-ethnic harmonization. The reality on the ground that the results of local political democratization describe certain ethnic actors (groups) as rulers who have authority in the management of both interests and regional policies are still far from what is expected in the management of inter-ethnic harmonization which tends to override the term ethnic immigrants, this is what ultimately leads to conflict both conflicts of interest and inter-ethnic conflicts due to the gap. Therefore, the role of certain ethnic groups that win local political contestations has awareness in building inter-ethnic harmonization. Basically, the ethnicity of the dominant actor will show respect and build relations between ethnic groups to build togetherness, if the actor feels he has power over the practices carried out so that it is necessary to build joint communication and establish a joint strategy to build the region in realizing dynamic local politics and reflecting multiculturalism.
Muhammadiyah dan Politik Identitas
TRIBUN TIMUR, 2022
Secara etimologi, Muhammadiyah merupakan turunan dari kata 'Muhammad', adanya tambahan 'yah' atau 'huruf ya' nisbah' menjadi 'Muhammadiyyah' lalu kemudian disederhanakan menjadi 'Muhammadiyah' berarti pengikut nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang setia, taat, mencintai mengidolakan, mengamalkan dan memperjuangkan misi dan ajaran agama Islam sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Hadist dan jejak-jejak perjuangannya dalam berdakwah serta membangun peradaban. Jadi jelas, secara bahasa dan defacto setiap orang muslim adalah Muhammadiyah. Namun secara dejure, Muhammadiyah dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah gerakan berbasis organisasi masyarakat berdasar Islam yang didirikan tepat pada 18 November 1912 di Desa Kauman, Yogyakarta. Organisasi ini didirikan setelah setelah KH. Ahmad Dahlan tiba dari Tanah Suci, Makkah.
Mengusung Kembali Khazanah Identitas Budaya Bangsa
Jurnal Bestari, 2010
Indonesians are actually representation of rich nation because they have many cultures with various diversities. On the other hand, the fact is that there are so many cultures have lost, entirely disappeared, or stolen by others. It is because we are remiss to behave properly on the cultures and carry out them. Therefore, it needs institutional approach in the form of government's concrete steps and reinforcement on education's role.
Agama Dan Negara : Politik Identitas Menuju Pilpres 2019
ASKETIK
Indonesia is a democratic country in carrying out its government. Elected Indonesian Presidents in a variety of ways, namely elected by parliament, and by direct elections through elections. Religious relations in state life in Indonesia, especially in political activities cannot be separated. Religion and politics share the role of the institution of regulation and maintaining value. In acts of religious politics are often used as vehicles to win political battles or elections. In carrying out political activities, state authority becomes the highest authority. Religion in politics is under the state whose role is to unite state authority with social power.
Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan
Kemunculan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia pasca Orde Baru tentu tidak lahir begitu saja atau hanya sekedar respon terhadap situasi transisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim otoritarian Orde Baru. Akar-akar kemunculannya mempunyai genealogi pada wacana dan aksi serupa di masa lalu. Paling tidak, menurut Martin van Bruinessen, ada dua preseden yang menjadi akar dari fenomena itu, yaitu gerakan DI/TII dan Partai Masyumi. Dua preseden ini, bersama dengan pengaruh-pengaruh jaringan transnasional Islam kontemporer, telah mengilhami banyak kaum Muslim Indonesia untuk kembali merevitalisasi identitas politik mereka di ruang publik. 3 Di beberapa 'kota kecil' di bagian timur Indonesia, gerakan-gerakan Islam radikal diyakini ikut terlibat dalam berbagai 'perang' komunal yang mengiringi jatuhnya salah satu rezim otoriter terlama dalam sejarah politik abad ke-20. 4 Meskipun tidak menyebabkan disintegrasi nasional dalam skala besar sebagaimana terjadi di negara-negara Balkan eks-komunis, perang komunal di kota-kota kecil Indonesia itu memunculkan sejumlah pertanyaan penting tentang peran dan relasi agama dalam kehidupan publik, khusususnya dalam bidang politik.