MENYEGARKAN PENDEKATAN STUDI HUKUM ACARA PIDANA (original) (raw)
Related papers
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Cara Perpajakan (UU No.16/2000 jo. UU No.6/83), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang -Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000 tidak pernah dipakai. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.
Oleh : ADELBERD S.SIMAMORA NIM : 080200333 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 1 3 TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: ADELBERD S.SIMAMORA 080200333 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana DR. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001 Dosen Editorial Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum. NIP: 197407252002112002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA ADELBERD S.SIMAMORA ABSTRAK Dalam proses peradilan khususnya persidangan sebagaimana mestinya, hal-hal yang paling krusial dan mendesak adalah dalam proses pembuktian. Asas praduga tidak bersalah harus diutamakan dalam proses peradilan demi menjaga martabat peradilan. Sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian peradilan adalah merupakan salah satu hal yang paling pokok dan terutama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana. Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian khususnya mengenai penyadapan, seperti biasanya akan berada dalam posisi yang dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromitis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat jurnal berjudul TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Dalam jurnal ini penulis mengemukakan permasalahan bagaimana pengaturan mengenai penyadapan pada proses penyidikan dalam hukum acara pidana di Indonesia dan bagaimana kedudukan dan kekuatan hasil Penyadapan pada proses penyidikan dalam pembuktian perkara pidana.
PEMBAHARUAN ASAS -ASAS HUKUM PIDANA
Pembaharuan asas-asas hukum pidana merupakan salah satu langkah penting dalam perkembangan sistem hukum suatu negara. Dalam konteks ini, pembaharuan mencakup upaya untuk memperbarui, menyempurnakan, dan menyesuaikan asas-asas hukum pidana dengan dinamika sosial, perkembangan teknologi, dan perubahan nilai-nilai masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hukum pidana tetap relevan, efektif, dan mampu menghadapi tantangan kejahatan kontemporer. Hukum pidana, sebagai bagian dari sistem hukum yang mengatur tindakan-tindakan yang dilarang dan menetapkan sanksi bagi pelanggarannya, harus selalu adaptif terhadap perubahan zaman. Asas-asas hukum pidana yang telah lama ada mungkin perlu direvisi untuk mencerminkan nilai-nilai keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, pembaharuan asas-asas hukum pidana bukan hanya soal memperbaiki ketentuan yang ada, tetapi juga tentang menciptakan landasan hukum yang lebih baik bagi masa depan. Proses pembaharuan ini biasanya melibatkan kajian mendalam terhadap asas-asas hukum pidana yang ada, analisis terhadap kelemahan dan kekuatannya, serta perbandingan dengan sistem hukum pidana di negara lain. Selain itu, partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas, sangat penting untuk memastikan bahwa pembaharuan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan pembaharuan asas-asas hukum pidana yang tepat, diharapkan sistem hukum pidana dapat lebih efektif dalam mencegah dan menangani kejahatan, memberikan keadilan bagi korban dan pelaku, serta menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Pendahuluan ini memperbolehkan undang-undang berlaku surut atau dikenal dengan istilah retroaktif. Black's Law Dictionary memberikan definisi retroaktif sebagai "an extending in scope or eff ect to matters that have occured in the past". Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara retroaktif mengubah akibatakibat hukum dari tindakan yang dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi sebelum penetapan undang-undang. Asas retroaktif merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut, sehingga dimungkinkan untuk diberlakukan atas dan untuk kepentingan keadilan bagi korban. Walaupun demikian, asas non rekroaktif tidak diberlakukan secara mutlak.
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM KEJAHATAN PERKOSAAN
2018
Dengan berpegang pada alasan politis, sosiologis dan praktis, kehendak untuk menggantikan KUHP dengan KUHP Baru, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1977. Dalam pembentukan konsep KUHP baru sampai pada tahap Rancangan KUHP Baru sebagai pengganti KUHP ternyata memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi pula beberapa kali perubahan yang terkait dengan penambahan tindak pidana baru baik yang semula tidak ada di dalam dan di luar KUHP maupun diambil dari tindak pidana yang sudah ada dan tersebar di luar KUHP sebagai langkah penyempurnaan untuk menuju pada bentuk Rancangan KUHP Baru. Untuk menyeleksi peraturan hukum pidana yang sudah ada, terutama yang terkait dengan dekriminalisasi, patokan kebijakannya masih memperhatikan pada Pasal V Undang-Undang No. 1 tahun 1946 yaitu apabila peraturan yang sudah ada itu : a. tidak dapat dijalankan; b. bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka; dan, c. tidak mempunyai arti lagi. Sedang sumber bahan dalam kebijakan melakukan perubahan dan penyusunan tindak pidana baru diambil antara lain dari : a. masukan berbagai pertemuan ilmiah simposium/seminar/lokakarya) yang berarti juga dari berbagai kalangan masyarakat luas ; b. masukan dari beberapa hasil penelitian dan pengkajian mengenai perkembangan beberapa tindak pidana khusus dalam masyarakat dan perkembangan iptek; c. masukan dari pengkajian dan pengamatan bentuk -bentuk serta dimensi baru kejahatan dalam pertemuan -pertemuan kongres internasional; d. masukan dari berbagai konvensi internasional (baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi); dan. e. masukan dari hasil pengkajian perbandingan berbagai KUHP asing. Karena itu Crime stimulation policy dalam KUHP mendatang cukup kompleks. Hal-hal yang dipertimbangkan cukup banyak baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan, perkembangan teoretis dan empiris dalam bidang hukum pidana, aspek ideologi nasional, kondisi manusia, alam serta tradisi bangsa dan yang tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan -kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Studi perbandingan hukum menjadi sangat penting dan pendekatan deduktif -hipotetis dan induktif -empiris harus dilakukan secara terpadu 1 . Metode dalam pembaruan hukum (Rancangan KUHP) yang digunakan adalah metode evolusioner dalam arti melakukan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan -peraturan yang sudah ada dalam KUHP atau dengan metode kompromis yakni dengan menambahkan bab tersendiri mengenai tindak -tindak pidana tertentu. Sebagai contoh adalah bab tentang Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Peradilan dan bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan 2 . Namun perlu dipahami, bahwa seluruh langkah dan pemikiran dalam proses pcmbcntukan Rancangan KUHP diatas sesungguhnya lebih merupakan persoalan tentang Kebijakan Pidana atau Politik Hukum Pidana. Menurut Sudarto (1983), melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu serta untuk masa-masa yang akan datang. Senada dengan itu dikuatkan pula dalam kesempatan lain, bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna 3 . Kebijakan Pidana di atas mencakup baik pengetahuan maupun seni, yang terutama berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan praktis, yang memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan memberikan panduan tidak hanya bagi pembuat undang-undang, tetapi juga bagi pengadilan yang menerapkan 2 Muladi. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Dalam KUHP Mendatang, tanggal 8-23 November 1993 di Undip -Semarang. 1993. hal. 60 3 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. 1981. hal. 74 undang-undang tersebut dan bagi aparat koreksi (correctional agency), yang menjadikan putusan-putusan pengadilan mempunyai efek praktis 4 . Karena itu, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, oleh karena itu politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangun kejahatan dengan hukum pidana". Selanjutnya, apabila Kebijakan atau Politik Hukum Pidana tersebut dihubungkan dengan hasil rumusan-rumusan tindak pidana yang terdapat dalam Rancangan KUHP Baru, maka yang cukup menarik mendapatkan perhatian dalam tulisan ini adalah masalah kejahatan kesusilaan khususnya tentang "perkosaan". Hal ini disebabkan pengertian "tindak pidana perkosaan" dalam Rancangan KUHP Baru telah mengalami pengembangan dan perluasan sedemikian rupa sehingga tindak pidana perkosaan bukan hanya diartikan sebatas "persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukun secara paksa terhadap seorang wanita" sebagaimana yang diatur dalam Pasal 235 KUHP. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi pertimbangan sehingga tindak pidana perkosaan perlu diperluas dalam rumusan KUHP mendatang? 2. Bagaimana batasan rumusan delik perkosaan antara KUHP dengan Rancangan KUHP Baru beserta implikasinya? 4 Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, tanggal 24 Februari 1990 di Undip. BAB II PEMBAHASAN A. Kejahatan Perkosaan dalam Perspektif KUHP Nasional Pelaksanaan kebijakan atau politik hukum pidana dalam rangka penciptaan KUHP Baru di Indonesia, selain mendasarkan pada ketiga alasan (politis, Sosiologis, Praktis), yang perlu mendapatkan perhatian lagi dari sisi kajian komprehensif' adalah alasan adaptif yaitu bahwa KUHP nasional di masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Perkembangan internasional ini pada hakikatnya rnencakup perkembangan dalam pelbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal science) baik dalam kebijakan pidana (penal policy), kriminologi maupun dalam bidang hukum pidana 5 . Demikian pula dengan rumusan "tindak pidana perkosaan" yang ada dalam Rancangan KUHP Baru. Di mana kebijakannya tampak dipengaruhi oleh 5 Muladi. 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, tanggal 24 Februari 1990 di Undip. perkembangan-perkembangan di atas. Tindak perkosaan yang menjadikan wanita sebagai korbannya, merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan terhadap wanita. Perwujudan yang lain berupa pemerasan, penganiayaan, atau pembunuhan dan sebagainya. Masalah kekerasan terhadap wanita saat itu, bukan hanya merupakan masalah individual atau nasional, tetapi sudah menjadi masalah global. Dibanding jenis kejahatan kekerasan lainnya, perkosaan merupakan jenis kejahatan kekerasan terhadap wanita yang paling mencemaskan, bukan saja bagi wanita, akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan. Karena itulah, kejahatan perkosaan paling potensial menimbulkan terciptanya tingkat "fear of crime" (ketakutan terhadap kejahatan) masyarakat yang tinggi, dibanding jenis kejahatan kekerasan lainnya. 6 Di samping itu juga disebut sebagai masalah global karena terkait dengan issue global tentang hak-hak asasi manusia (HAM), yang per definisi diartikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Kaitan dengan HAM tampak dari pelbagai pernyataan antara lain bahwa kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan (barrier) terhadap pembangunan, karena dengan demikian akan mengurangi kepercayaan diri dari wanita, menghambat kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, rnengganggu Kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik sosial budaya dan fisik. Dengan demikian kemampuan wanita untuk memanfaatkan 6 M.W Kusumah. Kejaliatan dan Penyimpangan Suatu Perspektif Kriminologi. Jakarta: YLBHI. 1988. hal. 128 kehidupannya baik fisik, ekonomi, politik dan kultural menjadi terganggu 7 . Dalam pelbagai pertemuan internasional, di antaranya Konferensi Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, mengakui kekerasan terhadap wanita adalah sebagai pengingkaran HAM wanita. Selain dari itu perlu bercermin pada upaya perekayasaan hukum dalam mengantisipasi masalah kejahatan perkosaan di Amerika Serikat yang memerlukan kurang lebih duapuluh tahun sejak dimulainya gerakan feminisme sekitar tahun 1960an. Gerakan untuk memperjuangkan undang-undang perkosaan ini dipelopori dan didukung oleh, "The Feminist Group", "Victims Rights Group" dan organisasi pendukung "Law and Orde" telah membangkitkan suatu gerakan pembaruan atas Undang-undang perkosaan (Rape Law Reform) di negara ini 8 . Sedangkan masalah hukum yang dikemukakan oleh gerakan pembaruan ini adalah: persetubuhan dengan paksaan bukanlah satu-satunya syarat untuk adanya tindak pidana perkosaan. Pertimbangan kemungkinan akan "mengandung atau hamil" akibat dari perkosaan tidak lagi dipandang yang paling penting dan dominan, karena pengertian persetubuhan (sexual intercourse) saat ini sudah bergeser tidak semata-mata adanya peraduan dua anggota kelamin laki dan wanita, akan tetapi dapat pula bersifat anal dan oral. Bahkan mencakup pula perbuatan berupa memasukan benda-benda yang bukan organ tubuh yang dimanipulasikan ke dalam vagina atau anus seseorang wanita disamakan dengan perkosaan. Di samping itu perkembangan pengertian perkosaan perlu diperinci, yakni mencakup apa yang dinamakan forcible rape dan statutory rape yang diarahkan kepada perlindungan terhadap gadis yang masih muda (di bawah usia tertentu), yang secara hukum dianggap belum mempunyai kemampuan untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal ini "Willing participation by victim is no defence". Kemungkinan persetubuhan yang dilakukan dengan persetujuan wanita tetapi dengan unsur...