Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki (original) (raw)
Related papers
2016
Elok Mulyoutami mulai bergabung sebagai peneliti di ICRAF sejak tahun 2003. Dengan latar belakang sarjana ilmu Antropologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia dan master sains dalam ilmu Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor, Elok menjadi peneliti yang fokus pada isu Gender, Pengetahuan Lokal, dan Migrasi. Desi Awalina, asisten peneliti dalam kajian gender dan migrasi, mulai bergabung sejak November 2013. Gelar sarjana diperolehnya dari Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, IPB.
2016
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa terdiri dari dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Namun yang menjadi permulaan perbedaan itu secara sosial telah dilakukan oleh manusia itu sendiri sejak ia dilahirkan. Ciri biologis primer membuat seseorang diberlakukan secara berbeda. Faktor perlakuan ini disebabkan beberapa faktor antara lain adalah budaya dan agama. Ciri biologis primer itu membuat perempuan memiliki kemampuan 2H-2M (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dari ciri biologis inilah perempuan diberlakukan secara berbeda. Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan fungsi, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan, sebagai hasil konstruksi sosio-kultural yang tumbuh dan disepakati oleh masyarakat melalui proses yang panjang serta bisa berubah dari waktu kewaktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas sesuai perkembangan zaman. Umumnya ketidaksetaraan gender di Indonesia masih dipengaruhi oleh pandangan-pandangan subordinasi yang memand...
Pendidikan mengenai kesetaraan gender dan anti kekerasan dalam rumah tangga
Jurnal Inovasi Hasil Pengabdian Masyarakat (JIPEMAS)
Is licensed under a Creative Commons Attributions-Share Artike 4.0 International LIcense melindungi korban kekerasan dengan memberikan informasi kepada kepolisian atau institusi lokal yang dibentuk dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan domestik.
Mahar dan Nafkah sebagai Hak Pemilikan Harta Wanita dalam Konteks Kesaksamaan Gender
2015
Of late, gender equity, in the sense of justice applicable to both men and women, has become a hotly debated issue. As one of the world’s major religions, Islam’s position on the issue has also been subject of scrutiny and unfortunately, on several occasions, has been viewed with suspicions and seen as unbalanced. Islam is often regarded as a religion that prioritises men over women; men seem to possess more rights not only in such cases as polygamy and marital divorce but also in the possession of wealth through inheritance. This article attempts to provide a balanced view on the aforementioned issue by exploring the rights of women as stipulated in Islam, especially the rights of wealth possession ( ḥuqūq māliyyah ) in the family as an institution. In general, the article examines whether or not the existing rights of women render them on a par with men in regard to wealth possession. Specifically, this article addresses issues of dowry ( mahr ) and maintenance ( nafaqah ), as wel...
Pengajaran Bahasa Inggris Dalam Perspektif Gender
2017
PENDAHULUAN Buku teks ini adalah salah satu realisasi dari tri dharma perguruan tinggi, yang di dalamnya tim peneliti tnenjadi abdi negara di Universitas Negeri Makassar, vaitu pengabdian pada masyarakat. Dalam kegiatan ini, ketua tim dan anggotanya memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga dalam memperluas wawasan dan potensi akademik yang dimiliki
Gender Dan Politik ; Keterwakilan Perempuan Dalam Politik
Keterwakilan perempuan dalam partai politik turut menjadi sebuah permasalahan, ketika jika dilihat kembali apa yang dimaksudkan dengan keterwakilan perempuan itu sendiri tidak dibahas dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008, sehingga harus ditinjau kembali dan dicari dalam perundangan lainnya. Pada Undang-Undang No 39 Tahun 1999 bahwasannya, keterwakilan wanita adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender. Sementara jika dipahami lebih lanjut, kata-kata pemberian pada makna keterwakilan perempuan seolah-olah menjelaskan bahwa hak-hak perempuan dalam politik hanyalah sebuah pemberian atau hadiah. Sehingga pergolakan terjadi agar undang-undang tersebut haruslah di verifikasi ulang dengan acuan keterwakilan perempuan bukanlah sebuah pemberian. Pada kenyataannya hingga saat ini Affirmative Action yang merupakan sebuah harapan agar perempuan mendapatkan setidaknya sesuai dengan ketentuan minimum 30 persen keikutsertaan pada setiap aktivitas publik dan politik, tampaknya belum mampu dipenuhi. Berbagai hambatan baik dari perspektif agama, budaya, sosial, bahkan pendidikan menjadi alasan tidak terpenuhinya kuota untuk para perempuan dapat aktif menyetarakan dan menyuarakan hak nya dengan kaum laki-laki baik dalam ranah lokal, nasional, hingga internasional.
Manajemen Peserta Didik Berbasis Segregasi Gender DI Madrasah Aliyah Pondok Pesantren
Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, 2020
Asumsi secara umum menyatakan bahwa manajemen jika diterapkan dengan kebijakan segregasi gender maka akan menjadi bias atau mengalami ketimpangan. Apalagi jika diterapkan di lembaga pendidikan. Hal ini dikhawatirkan terjadi diskriminasi gender dalam dunia pendidikan yang bertentangan dengan UU No. 7 tahun 1984 terkait penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) peningkatan kualitas perempuan, dan juga bertentangan dengan konsep Islam itu sendiri yang tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan kecuali tingkat ketaqwaan. Namun faktanya asumsi negative tersebut tidaklah sepenuhnya terbukti. Faktanya, MA Darul Hikmah sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis pondok pesantren yang menerapkan segregasi gender tetap menjadi rujukan masysarakat. Argumentasi apa yang menjadi alasan para orang tua? Bagaimana pelaksanaan manajemen segregasi gender tersebut, dan bagaimana implikasinya?, itul...
Buletin ilmiah marina : sosial ekonomi kelautan dan perikanan, 2022
Pada tahun 2016, BPS menyatakan bahwa kemiskinan masyarakat nelayan di Kabupaten Bengkalis terus meningkat menjadi 7,38% dari tahun sebelumnya 7,20%. Angka tersebut masih tinggi meskipun Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah berupaya mengurangi kemiskinan melalui Program Pemberdayaan Desa (PPD) berbentuk Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP). Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis peran gender dalam rumah tangga nelayan di Desa Darul Aman; 2) menganalisis peran Program Pemberdayaan Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga nelayan; serta (2) merumuskan skenario untuk strategi pemberdayaan nelayan berbasis gender. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil wawancara terhadap 23 responden rumah tangga nelayan, sedangkan data sekunder didapatkan dari kantor UED-SP dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis. Analisis data yang digunakan adalah kerangka analisis model Moser. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran gender dalam rumah tangga nelayan di Desa Darul Aman masih belum seimbang. Hal itu terjadi karena peran istri dalam aspek reproduktif tidak seimbang dengan suami, sedangkan peran kerja produktif dan peran komunitas didominasi oleh suami. Oleh karena itu, skenario pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Darul Aman adalah mendorong perempuan untuk bekerja atau memiliki usaha sampingan melalui kegiatan usaha kelompok menggunakan dana UED-SP, seperti usaha ikan duri asap, usaha kerupuk ikan lomek renyah (crispy), usaha terasi, dan usaha warung boga bahari (seafood).
The Minangs are the world's largest matrilineal society; properties such as land and houses are inherited through female lineage. Some scholars argue that this might have caused the diaspora(Minangkabau, "merantau") of Minangkabau males throughout the Maritime Southeast Asia to become scholars or to seek fortune as merchants. However, the native Minangkabaus agreed that this matrilineal culture is indeed the result of (not the reason for) diaspora. With their men travelling out of the country for unspecified time (with possibility of some of them not returning home), it is only logical to hand the land and property to those who do not have to leave it: The women. This also ensures the women's (meaning: mothers of the future generations') welfare and hence ensuring their offsprings welfare. Besides, native MinangKabaus argue that "Men can live anywhere and hence they do not need a house like women do". The concept of matrilineal can be seen from the naming of important museums such as "The house where Buya HAMKA was born" by Maninjau Lake. It has never been and never will be Buya HAMKA's house because it was his mother's house and passed down only to his sisters. Another museum in Bukit Tinggi was called by the locals: "Muhammad Hatta's Mom's house" where we will see that Muhammad Hatta (the Indonesia's Independence Proclamator) only had a room outside of the house, This article based on role play (in psychological approach) which male have in Minangkabau community. The male has many role in the Minangkabau society, like; (a) as a nephew, (b) as a uncle, (c) as a community leader. So, theoriticaly male have a lot of power. They had responsible to protect their fanily wealth as one example. But, unfortunoutly, their possition in “underarm of women”. All kinds of dicission should be get confirm from the women (“so-called”: Bundo Kandung). It means that we should re-thinking about gender perspective in Minangkabau community, because female dominate the power.(*)
Politik Gender dan Otonomi Daerah: Upaya Pemenuhan Hak Perempuan Nelayan di Desa Sei Nagalawan
JPPUMA Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik Universitas Medan Area, 2019
Tulisan ini membahas persoalan yang dialami oleh istri-istri nelayan di Desa Sei Nagalawan yang mengalami bias sosial. Bias sosial dalam pengertian situasi paradox, dimana perempuan mengalami situasi paradoks yaitu ketika suami mereka pergi melaut untuk menangkap ikan. Secara otomatis tanggung jawab di keluarga dipegang oleh istri mereka. Tidak hanya itu, para istri nelayan tersebut juga setiap hari rutin menangkap ikan dipinggir pantai. Namun, sampai saat ini para perempuan tersebut tidak dianggap sebagai nelayan yang mengakibatkan mereka tidak bisa mendapatkan asuransi kesehatan dan akses untuk meminjam uang ke Bank. Tidak hanya peran perempuan nelayan dalam bidang sosial, ekonomi maupun lingkungan dalam aktivitas melawan kemiskinan. Penulis menggabungkan perspektif Marxis, Fenomenologis dan Etnometodologis dalam melawan fenomena diskriminasi dalam kedudukannya sebagai perempuan nelayan ditengah beban kerjanya yang bisa mencapai 18 jam perhari. Pada akhir tulisan ini penulis memaparkan bagaimana strategi perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan melawan kemiskinan dengan ikut aktif menangkap ikan dipinggir pantai, mengengembangkan ekowisata Kampung Nipah melaui Koperasi Serba Usaha Muara Maimbai, pengembangan UMKM dengan menjual makanan ringan berbahan baku mangrove (bakau) dan aktif melakukan aktivitas perjuangan demi memenuhi pengakuan perempuan sebagai nelayan. Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam bahwa nelayan merupakan jenis pekerjaan yang berkaitan dengan menangkap ikan.