Herbert Berg dan Verifikasi Otentisitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (original) (raw)
Related papers
Otentitas al Qur an dalam Tafsir Syiah
Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadist, 2022
The accusation of changing the Qur'an (tah} rif al-Qur'a> n) is often leveled against the Shia. In fact, the Shia are considered to have their own Qur'an that is different from the standard Mushaf 'Uthma> ni>. This then implies accusations of heresy against them. This article will examine the views of three major Shia scholars on the authenticity of the Qur'an, namely al-T{ u> si> , al-T{ abarsi> , and al-T{ aba> t} a> ba> 'i>. The exploration of ideas is done by looking comparatively at their works of Qur'anic exegesis. In the end, this article finds that the narrative of naskh al-tila> wah (erasure of the texts of the Qur'an) that is widely attached to Shia is a history that contradicts the Qur'an. Although all three have different descriptions, they have the same idea, which is to reject the existence of changes (tah} ri> f) in the Qur'an. Thus, the existing Qur'an, the standard Qur'an of the Mushaf 'Uthma> ni> , is the authentic Qur'anic text.
Otentisitas Dan Validitas Hadis Dalam Perspektif Ulama Modern
Jurnal Studi Hadis Nusantara, 2020
This paper seeks to review the views of modern scholars towards the authenticity and validity of the Prophet's traditions. Modern scholars are divided into three parts in addressing the hadith in terms of its authenticity and validity using descriptive analytical methods. First, the scholars who have skeptical assumptions about the authenticity of the traditions of the Prophet, represented by Mah}mud Abu> Rayyah. In his work Ad}wa>' 'ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah, Abu> Rayyah considers all the traditions to be considered inauthentic until proven authenticity. The two, scholars who have non-skeptical assumptions, are represented by Yu>suf al-Qard}awi> in his work Kaifa Nata'a>mal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Regarding the validity of the Prophet's hadith, al-Qard}awi> prefers to act tawaqquf (no comment attitude) when encountering a valid hadith but its meaning is still vague. Third, the scholars who have assumed middle ground. This section is represented by Muh}ammad al-Ghaza>li> in his work al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>th, he assumes that even though a hadith has been considered valid in terms of sanad, it is not necessarily valid in terms of death.
Autentisitas Dan Otoritas Hadis Dalam Keilmuan Ulama Muslim Dan Sarjana Barat
2004
Perjalanan hadis yang lebih rumit dibanding perjalanan Al-Qur'an menjadikan hadis berada pada posisi agak sulit, autentisitasnya dipertanyakan. Sementara, hadis mempunyai fungsi strategis terhadap Al-Qur'an, menjadi "petunjuk praktis" dalam implementasi Al-Qur'an. Serba salah. Bila hadis segera dibukukan seperti Al-Qur'an, ada kekhawatiran kesulitan membedakan keduanya. Bila tidak dibukukan, dikhawatrkan hadis akan terhapus bersama wafatnya para penghafal hadis. Penciptaan hadis maudhu' membuat sejarah hadis menjadi buram dan menambah masalah dalam menghimpunnya dalam bentuk dokumen. Setelah pembukuannya dilakukan dengan penundaan cukup lama, akhirnya tidak ada kitab hadis "versi pemerintah", yang ada versi perseorangan, dengan irnplikasi, kadar autentisitasnya tidak setinggi Al-Qur'an. Bersama ini para ulama merurnuskan kriteria-kriteria hadis yang pantas dijadikan sandaran beragama dan hadis yang tidak pantas. Karena itu ada sebuah hadis...
Muhammad dan Orisinalitas Al-Quran dalam Pandangan Abraham Geiger
MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 2021
Among the interest in the study of Muhammad and the Quran was born from the Orientalists. Including the Orientalists who were very influential on this study was Abraham Geiger. From this research, it is found that Geiger has a view that tends to be contrary to that of Muslim scholars in general. Where Geiger views that Muhammad was someone who had tried to bring up the Quran because it was influenced by the Jewish culture that already existed in the Arab region at that time. Geigers opinion is based on several facts that he put forward, which include: When Muhammad carried out his mission in Medina, Muhammad was dealing with Jews who had long had a strong influence on the local community and Muhammad had close relations with Jews. in the area. This fact is then reinforced by Geigers findings in the Qur'an which are indicated to be taken from the Jewish tradition, such as the discovery of 14 vocabulary words of the Koran which tend to be the same as Jewish dogma, the discovery of...
Otoritas Hadis dalam Asbab al-Nuzul al-Jadid
Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis
Tulisan ini mengidentifikasi otoritas Hadis dalam konsep Asbāb al-Nuzūl Jadīd menurut M. Amin Abdullah. Asbāb al-Nuzūl Jadīd adalah paradigma tafsir kontemporer yang berbasis pada pola pikir kosmis (worldview), ideologis, antropologis dan teologis. Penulis berusaha mengkritisi peran Hadis sebagai sumber penafsiran dalam tafsir Alquran kontemporer, terutama dalam metodologi Asbāb al-Nuzūl al-Jadīd. Hadis yang mengalami beberapa tahapan transformasi dari budaya realitas (qaul, fi'il, taqrīr, shifat Nabi), budaya lisan (tradisi isnād), hingga ke budaya tulis (kodifikasi teks hadis) menghadapi tantangan untuk terus bertahan di tengah kompleksitas masyarakat kontemporer yang dinamis dan fluktuatif. Terdapat interval antara wilayah ajaran (das sollen) dan wilayah realita (das sein) dalam penggunaan hadis di tafsir kontemporer. Perbedaan tersebut membuat hadis jarang dijadikan sebagai rujukan utama dalam tafsir kontemporer dan hanya dijadikan sebagai prawacana atau pretext. Hermeneutika otoritarian Abou Fadl menjadi sarana untuk mengembangkan konsep Asbāb al-Nuzūl Jadīd dalam konsentrasi studi hadis. Kritik normativitas matan dan desakralisasi isnad mampu mengungkap spirit hadis dan meminimalisir subjektivitas perawi (idiosyncronic). Analisis di atas diharapkan mampu menjadi alternatif untuk mereduksi produk penafsiran bersumber hadis yang sewenang-wenang (despotic interpretation).
Otentisitas Hadis (Penelusuran Harald Motzki terhadap Mushannaf Abdul Razzq
Dalam lintas sejarah umat Islam, hadis menempati posisi yang sangat urgen. Hal ini dikarenakan adanya keniscayaan dalam mengkaji islam-agama yang banyak menjadi perbincangan-jika tanpa bersentuhan dengan hadis. Dengan hadis, al-Qur'an yang bersifat mujmal menjadi dapat diketahui ajaran-ajarannya. Dengan hadis pula, sejarah keislaman awal dapat diketahui, karena memang sebagian hadis muncul sebagai tanggapan atas apa yang terjadi pada masa Rasul. Namun demikian, hadis yang merupakan laporan atas perkataan, perbuatan, ketetapan dan segala hal yang berhubungan dengan Nabi saw, telah melewati berbagai dekade dan corak masyarakat yang bervarian. Hadis bersentuhan dengan dunia hukum, politik, ataupun yang lainnya. Dalam hal ini muncul permasalahan tersendiri dalam kesejarahan hadis, terlebih dengan munculnya fenomena pemalsuan hadis. Terlebih pula, hadis pada awalnya lebih cenderung oral transmission. Sehingga, permasalahan yang sering muncul dalam kaitannya tentang hadis adalah mengenai historitas dan keorisinalitasan hadis itu sendiri. Dalam perkembangannya, hadis tidak hanya menjadi obyek kajian kaum muslim tetapi juga menarik perhatian kaum non-muslim. Para sarjanawan barat atau lebih sering disebut dengan orientalis, banyak melakukan kajian seputar islam, termasuk hadis. Dari segi pandanganpandangan mereka, dapat digolongkan menjadi tiga golongan: pertama golongan skeptis semisal Goldziher, non-skeptis semisal Fuat Sezgin, dan middle ground semisal Harald Motzki. Penggolongan inipun ditambahi oleh Herbert Berg dengan golongan neo-skeptis. Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pada pemikiran Harald Motzki, tokoh yang mewakili golongan middle ground. Bagaimanakah pandangannya terhadap hadis dan bagaimana pula usaha yang ia lakukakan dalam mengkaji otentisitas hadis Rasulullah saw dan metode apa pula yang ia terapkan dalam rangka meneliti keotentisitasan hadis.
Metode Kontemporer Menggali Otentisitas Hadis ( Kajian Pemikiran Harald Motzki )
Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin
This article aims to describe the methods used by Harald Motzki in exploring the authenticity of the hadith. Since the 19th century scientifically, orientalists began to study the authenticity of hadith as a source of Islamic teachings, skeptical attitude of some orientalists get challenges from Muslim thinkers and some other orientalis. For Motzki, the two camps have not answered the substance of the question of authenticity of the hadith itself, he also uses certain methods in answering this. This article is a library of research with qualitative data collection and normative-theological approach of analyzing the truth of hadith which can be proven empirically and experimentally. The results show that, Motzki managed to prove authentic Hadith of the Prophet since the first century. Using Musannaf 'Abd al-Razzaq as the sample and the theory of dating and isnad cum matn analysis, he undermines the theories of his predecessor's hadith skepticism.
Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis, 2020
This Article identifies the authority of the Hadith in the concept of Asbāb al-Nuzūl Jadīd according to M. Amin Abdullah. Asbāb al-Nuzūl Jadīd is a paradigm of contemporary interpretation based on the cosmic mindset(worldview), ideological, anthropological and theological. The author would to criticize the role of the Hadith as a source of interpretation in contemporary Qur'anic interpretations, especially in the methodology of Asbab al-Nuzul al-Jadid. Hadith undergoing several stages of transformation from reality (qaul, fi'il, taqrīr, Prophet's shifat), oral culture (isnād tradition), to written culture (codified of hadith) face challenges to continue to survive amid the complexity of contemporary society and fluctuating. There is an interval between the teaching (das sollen) and the reality (das sein) in the use of hadith in