Muhammadiyah Sebagai Kelompok Kepentingan Dalam Politik Nasional Pascaorde Baru Tahun 1998-2010 (original) (raw)

Dinamika Islam dan Politik Elite-elite Muhammadiyah Periode 1998-2010

This research studied on political elite in Muhammadiyah as moderate representatives in post-New Order in response of the dynamics Islam and politics. There are three issues as basic analyzes, i.e. the emergence of Islamic political parties, the desire of returning the Jakarta Charter as the state principle as well as phenomenon of terrorism which is always attached a term of "jihad" in Islamic tradition. Meanwhile, to conduct data and information, the research uses a qualitative approach as methodology as well as documentation and interviews as a technique of collecting data. The collected data then is analyzed and interpreted descriptively to get a proper conclusion. The result of the research shows that there are four variants in political elite in Muhammadiyah, i.e. transformative-idealistic, moderateidealistic, realistic-critical, and accommodative-pragmatic. The variations are deeply influenced by two factors, i.e. sociological elite background and organizational. Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang politik elit Muhammadiyah sebagai representasi kaum modernis dalam merespon dinamika Islam dan politik pasca Orde Baru. Ada tiga isu yang dijadikan sebagai basis analisis, yaitu munculnya partai-partai Islam, keinginan untuk pengembalian Piagam Jakarta sebagai azas negara, dan munculnya fenomena terorisme yang selalu dilekatkan sebagai jihad. Dalam menggali data, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta teknik dokumentasi dan wawancara dalam mengumpulkan data. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa ada empat varian perilaku kaum modernis, yaitu sikap transformatif-idealistik, sikap moderat-idealistik, sikap realistikkritis, dan sikap akomodatif-pragmatis. Keempat varian tersebut sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor latar belakang sosiologis masing-masing elite dan faktor pemahaman masingmasing elite terhadap organisasi Muhammadiyah. Kata kunci: Sikap politik, elite Muhammadiyah, Islam dan politik PENDAHULUAN Runtuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dari tahta kekuasaannya menjadi sejarah baru bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia. Momentum tersebut telah menjadi tanda, bahwa rezim otoriter telah berakhir. Sejak Orde Baru tumbang, perubahan iklim politik di Indonesia berjalan secara cepat dibandingkan dengan era sebelumnya. Kemudian tahta kekuasaan diserahkan kepada BJ Habibie. Menurut Sahdan (2004: 87-92), ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya masa transisi ini. Pertama, terjadinya krisis basis material (ekonomi) yang dipicu oleh krisis ekonomi regional. Kedua, terjadinya krisis legitimasi kekuasaan Soeharto. Ketiga, kuatnya desakan dari civil society (para demonstran) yang berkehendak untuk menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Keempat, keretakan di kalangan elite Soeharto, seperti adanya pengkhianatan beberapa elite, jatuhnya pamor militer, birokrat, Golkar, dan para teknokrat akibat dianggap sebagai penjilat kekuasaan, serta munculnya tokoh-tokoh oportunis yang berlaih mencaci maki Soeharto. Masa transisi ini pula yang menurut Amir (2003: 278), menyebabkan peta politik nasional diselimuti oleh eforia politik yang terbelah secara tajam menjadi kekuatan politik kaum reformis versus kekuatan politik status quo. Golkar dinobatkan oleh kaum reformis sebagai penjelmaan status quo. Hal ini kemudian berimplikasi luas terhadap perkembangan politik di Indonesia. Aura politik yang dirasakan bagaikan angin segar yang dapat dinikmati oleh siapapun tanpa ada tekanan dari rezim yang berkuasa. Fragmentasi politik di kalangan aktivis gerakan Islam kian beragam. Diskursus seputar Islam dan politik muncul kembali ke permukaan, ditandai dengan lahirnya beragam partai politik Islam, perdebatan tentang dasar negara, serta munculnya fenomena terorisme selalu dilekatkan dengan kosa kata "jihad" dalam tradisi Islam. Di kalangan para aktivis Islam pun belum menemukan titik temu tentang perdebatan itu. Jika kita menengok kembali sejarah, dinamika antara Islam dan politik telah dimulai sejak menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika perdebatan tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei -1 Juni 1945. Perdebatan di antara para anggota sidang memunculkan dua gagasan utama tentang dasar negara sebagaimana dikemukakan oleh Anshari (1997: 27-28). Kelompok nasionalis Islam menginginkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler menginginkan Indonesia sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan antara urusan negara dan Islam, dengan kata lain: bukan negara Islam. Menurut Anshari (1997: 34), selain kelompok nasionalis Islam, seperti Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, dan Wachid Hasyim yang tergabung dalam "Panitia Sembilan" sebagai penggagas Piagam Jakarta, anggota sidang BPUPKI lainnya yang juga mendukung Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo, saat itu menjabat ketua PP Muhammadiyah. Kemudian, lanjut Anshari (1997: 46), sehari setelah kemerdekaan, 18 Agustus 1945, anggota PPKI yang terdiri dari 21 orang mengadakan sidang untuk menetapkan UUD beserta mukadimah dan persoalan lain yang diusulkan oleh para anggota sebelum dan sesudah kemerdekaan. Dalam sidang itu, menurut Thaba (1996: 47), Mohammad Hatta menyampaikan beberapa usulan perubahan, di antaranya perubahan pada preambul Piagam Jakarta, yaitu anak kalimat: "Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjelankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Pada awalnya, sebagian anggota sidang PPKI menolak gagasan Bung Hatta (sapaan akrab Mohammad Hatta), seperti Ki Bagus Hadikusumo. Namun, setelah Bung Hatta, Teuku Muhammad Hasan, Wachid Hasyim, dan Kasman Singodimejo meyakinkan Ki Bagus dengan berbagai alasan agar jangan sampai pecah dengan non-muslim demi kemerdekaan Indonesia, akhirnya Ki Bagus menyetujui perubahan tersebut. Akhirnya, syariat Islam sebagai ideologi negara mengalami kegagalan. Sepuluh tahun kemudian, setelah Pemilu 1955, menurut Maarif (Prisma No. Ekstra, 1984 Th. XIII: 74-75), perdebatan tentang Islam dan Pancasila kembali dibicarakan pada pelataran konstitusional. Pemilu pertama ini bertugas membentuk parlemen dan Majelis Konstitutante. Semula Majelis Konstituante diharapkan mampu membuat UUD yang permanen untuk menggantikan UUDS yang pernah dimiliki. Namun, usaha itu belum dapat terselesaikan sekalipun sudah mencapai 90% hingga sidang terakhirnya, 2 Juni 1959. Situasi yang setengah macet ini diatasi oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juni 1959 dengan membubarkan Majelis Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD '45 sebagai dasar ideologi negara, dengan tetap mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang menjiwai UUD '45 dan merupakan satu Ridho Al-Hamdi 167 Dinamika Islam Dan Politik Elit -Elit Muhammadiyah Periode 1998-2010 penelitian ini mengajukan rumusan masalah: Bagaimana sikap politik elite Muhammadiyah periode 1998-2010 dalam merespon relasi antara Islam dan politik? Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya?

Dinamika islam dan Politik Elit - Elit Muhammadiyah Periode 1998-2010

Jurnal Studi Pemerintahan: Journal of Government and Politics, 2012

This research studied on political elite in Muhammadiyah as moderate representatives in post-New Order in response of the dynamics Islam and politics. There are three issues as basic analyzes, i.e. the emergence of Islamic political parties, the desire of returning the Jakarta Charter as the state principle as well as phenomenon of terrorism which is always attached a term of “ jihad ” in Islamic tradition. Meanwhile, to conduct data and information, the research uses a qualitative approach as methodology as well as documentation and interviews as a technique of collecting data. The collected data then is analyzed and interpreted descriptively to get a proper conclusion. The result of the research shows that there are four variants in political elite in Muhammadiyah, i.e. transformative-idealistic, moderateidealistic, realistic-critical, and accommodative-pragmatic . The variations are deeply influenced by two factors, i.e. sociological elite background and organizational .

Jurnal Ilmu Pemerintahan Peran Politik Muhammadiyah Tahun 2010-2014

Muhammadiyah is the society organization that focuses on socio-religious area. As civil society, Muhammadiyah since birth has committed to contribute in building the nation and is shown through accelerating intelligence, religious enlightenment, and commitment to humanity. As Alexis de Tocqueville described the concept of civil society that the position of civil society has its own political power of the State as a countervailing force. Muhammadiyah is not a political organization nor have organizational ties to any political party, but Muhammadiyah has a strategic vision from birth to actively participate in politics, form and function development and empowerment, as well as the position itself in the presence of state/government, Muhammadiyah always develops the attitude of commanding the good and forbidding the evil in the sense of providing support to positive policies, otherwise criticizes wisely to policies that are not well regarded. Entering second century of its age, which starts from the 46th Congress in 2010 until late 2014 election, Muhammadiyah will continue to build the nation by increasing the role of nationality to the community, state and nation. Carrying out the role of national commitment to run early, the current age Muhammadiyah does such activities; First, increasing empowering, coaching, development and political education, second, increasing the involvement and participation of the actual nationality of the problems and issues of contemporary nationality, third, strengthen networks, communication and relationships between organizations and government agencies, and the fourth, increasing the advocacy function including action and service to the public interest.

" P e r a n P o l i t i k M u h a m m a d i y a h T a h u n 2 0 1 0 -2 0 1 4 " Peran Politik Muhammadiyah Tahun 2010-2014

Muhammadiyah is the society organization that focuses on socio-religious area. As civil society, Muhammadiyah since birth has committed to contribute in building the nation and is shown through accelerating intelligence, religious enlightenment, and commitment to humanity. As Alexis de Tocqueville described the concept of civil society that the position of civil society has its own political power of the State as a countervailing force. Muhammadiyah is not a political organization nor have organizational ties to any political party, but Muhammadiyah has a strategic vision from birth to actively participate in politics, form and function development and empowerment, as well as the position itself in the presence of state/government, Muhammadiyah always develops the attitude of commanding the good and forbidding the evil in the sense of providing support to positive policies, otherwise criticizes wisely to policies that are not well regarded. Entering second century of its age, which starts from the 46th Congress in 2010 until late 2014 election, Muhammadiyah will continue to build the nation by increasing the role of nationality to the community, state and nation. Carrying out the role of national commitment to run early, the current age Muhammadiyah does such activities; First, increasing empowering, coaching, development and political education, second, increasing the involvement and participation of the actual nationality of the problems and issues of contemporary nationality, third, strengthen networks, communication and relationships between organizations and government agencies, and the fourth, increasing the advocacy function including action and service to the public interest.

Muhammadiyah dan Politik Identitas

TRIBUN TIMUR, 2022

Secara etimologi, Muhammadiyah merupakan turunan dari kata 'Muhammad', adanya tambahan 'yah' atau 'huruf ya' nisbah' menjadi 'Muhammadiyyah' lalu kemudian disederhanakan menjadi 'Muhammadiyah' berarti pengikut nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang setia, taat, mencintai mengidolakan, mengamalkan dan memperjuangkan misi dan ajaran agama Islam sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Hadist dan jejak-jejak perjuangannya dalam berdakwah serta membangun peradaban. Jadi jelas, secara bahasa dan defacto setiap orang muslim adalah Muhammadiyah. Namun secara dejure, Muhammadiyah dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah gerakan berbasis organisasi masyarakat berdasar Islam yang didirikan tepat pada 18 November 1912 di Desa Kauman, Yogyakarta. Organisasi ini didirikan setelah setelah KH. Ahmad Dahlan tiba dari Tanah Suci, Makkah.

Perkembangan organisasi Muhammadiyah di Minangkabau Provinsi Sumatera Barat 1925-2010

2016

Perkembangan Organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, Sumatera Barat (1925-2010). Uraiannya menyangkut masalah lahir, tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah di Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 1925 hingga tahun 2010. Sebagai sebuah organisasi yang berjuang melakukan pembaharuan dalam kehidupan keagamaan dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, Muhammadiyah menetapkan landasan perjuangan pada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah Nabi. Memang banyak tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah Minangkabau dalam mengemban misinya itu. Mengikuti riak gelombang perjalanan sejarah bangsa, Muhammadiyah telah menjadi sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan juga di dunia. Jika dilihat dari jumlah amal usaha yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah, baik dalam bentuk lembaga pendidikan maupun rumah sakit, kiranya tidak ada satu pun organisasi Islam yang dapat menandingi keberhasilan Muhammadiyah dalam mengemban misinya. Muh...

Perkembangan Muhammadiyah DI Mojokerto Tahun 1990-2012

Avatara, 2013

Sejak berdirinya organisasi Muhammadiyah telah menampilkan diri sebagai suatu fenomena yang unik dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Sebagai gerakan sosial, pendidikan, dan dakwah selama lebih dari satu abad.

Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid

gerakan tajdid dari Organisasi keislaman Muhammadiyah, dan perkambangannya secara dinamis hingga prospek tajdid dalam berbagai Bidang yang telah dicapai Oleh Muhammadiyah

Dakwah dan Politik: Menakar Kontribusi Organisasi Islam Sayap Partai Politik Bagi Masyarakat Muslim Yogyakarta

2013

Seperti telah menjadi tradisi, menjelang Pemilu tak sedikit partai politik di Indonesia ramai-ramai mendirikan organisasi Islam. Dua dari sekian banyak partai politik yang mendirikan organisasi Islam sayap partai politik (parpol) adalah Partai Golkar dengan mendirikan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) dan Pengajian Al-Hidayah serta PDI-P dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Setidaknya ada lima kontribusi organisasi Islam sayap parpol bagi masyarakat, yaitu: menambah pengetahuan keagamaan masyarakat, menggerakkan masyarakat untuk senantiasa berbuat baik, menambah ketrampilan, melatih dan memberi kesempatan berorganisasi, serta memperkuat rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Sementara dalam konteks parpol, berbagai pro-gram kerja dan aktivitas keagamaan yang organisasi Islam sayapnya berfungsi untuk menjaga loyalitas simpatisan kepada parpol, mengukur kekuatan parpol dari segi perkembangan jumlah simpatisan, menjaga citra baik parpol, dan menepis stigma parpol non-religius....