Budaya Urban Muslim Kelas Menengah (original) (raw)

Membaca Kelas Menengah Muslim Indonesia

Jati, Wasisto Raharjo, 2016. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES. Dalam sebuah tulisan di Majalah Prisma tahun 1990, Ariel Heryanto menuliskan kepustakaan tentang kelas menengah yang menurutnya dapat dibagi setidaknya ke dalam empat kelompok yakni empirik, kon-septual-teoritik, epistemologis, dan diskursif. Kajian dalam kepustakaan kelas menengah dalam kelompok yang pertama didasarkan pada penga-matan historis maupun kekinian terhadap kelas menengah. Sementara, kepustakaan yang masuk dalam kelompok konseptual-teoretik kajiannya fokus merumuskan pengertian dan makna kata kelas menengah sebagai pengembangan kerangka teoretik tentang konsep kelas menengah itu sendiri. Kepustakaan yang masuk kelompok epistemologis, pokok bahas-annya ada pada tataran filsafat karena yang dikaji adalah hakikat dari konsep kelas menengah. Sementara itu, kelompok kepustakaan yang diskursif adalah kajian yang melihat signifikansi sosial dari kajian kelas menengah ini. Dari keempat kelompok tersebut, kepustakaan tentang kelas menengah, khususnya kepustakaan Indonesia, hingga periode 1990-an didominasi oleh studi empirik (Heryanto 1990). Hingga kini, tulisan-tulisan mengenai kelas menengah nampaknya masih banyak didominasi oleh kajian empirik dibandingkan dengan kajian konseptual-teoritik, epistemologis, maupun diskursif. Beruntung-nya, kajian empirik mengenai kelas menengah tidak membosankan karena ada banyak perspektif yang tersedia. Dalam pembahasan me-ngenai kelas menengah Indonesia, misalnya, para penulis tidak melulu fokus pada aspek historis kemunculan kelas menengah saja, namun juga menggunakan perspektif ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun gabungan dari perspektif-perspektif tersebut dalam menyusun studinya. * Penulis adalah Asisten Managing Editor Jurnal Politik.

Urban Sufisme: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menengah Muslim Indonesia

The emergence of urban sufism among muslim middle class in urban area can be analyzed in two important premises. First, the phenomenon showed that both intensity and actuality of piety as a solution of life problems. The important notion namely, High Tech High Touch becomes critical analysis in reading practice of back to religion from middle class in contemporary era. Religion appeared as a problem solver. Second, urban sufisme has been become collective identity of Muslim middle class to distinguish it from other middle class. Those conditions then implicated toward the emergence of popular culture in order to strengthen Sufi as piety path. This article will elaborate more deeply about both practice and meaning of urban Sufism in case of Muslim middle class.

Muhammadiyah dan Kelas Menengah

Kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah Gresik Kota Baru menunjukan hubungan yang erat antara Muhammadiyah dan kelas menengah. Penelitian ini ingin menunjukan sikap Muhammadiyah terhadap perubahan masyarakat yang begitu cepat, yaitu masyarakat industri menuju post-industri. Dalam melakukan dakwah kelas menengah, dengan pendekatan yang tepat, akan melahirkan energi dakwah yang luar biasa. Dalam hal ini, Muhammadiyah GKB mampu malakukan pendekatan yang efektif. Kelas menengah yang memiliki materi yang berlebih, dan membutuhkan spiritualitas. Melalui, spiritualitas inilah Muhammadiyah GKB mampu mengambil peluang untuk melakukan dakwah. Dakwah yang dilakukan Muhammadiyah ternyata selalu diawali dengan gerakan pencerahan (hati dan fikr) melalui pengajian. Kemudian ditransformasikan menjadi gerakan amal yang mampu melahirkan kebudayaan.

Kebudayaan Masyarakat Arab Pra Islam

Masyarakat Arab pra-Islam diidentifikasi sebagai masyarakat jahiliyah. Kata jahiliyah sendiri secara bahasa diartikan sebagai lawan dari pengetahuan, cerdas, berilmu. Sedangkan sebagai term khusus yang disematkan kepada Bangsa Arab, jahiliyah diartikan sebagai keadaan manusia atau sekumpulan manusia yang jauh dari petunjuk ilahi dalam agama, sosial, budaya, politik, ekonomi dan semua unsur-unsur kemanusiaan lainnya. Hal ini senada dengan Firman Allah yang artinya, "Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang ummi dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat

Kelas Menengah dalam Bingkai Middle Indonesia

Kajian mengenai politik kelas menengah Indonesia selama ini didomi-nasi oleh dua pendekatan utama, yakni Weberian dan Marxian. Per-spektif Weberian diawali oleh J.S. Furnivall, Clifford Geertz, termasuk juga Robert W. Hefner. Sedangkan, perspektif Marxian dapat ditemu-kan dalam karya-karya Richard Robison, Farchan Bulkin, dan Vedi Hadiz. Namun, di luar itu sebenarnya masih ada akademisi lainnya seperti halnya Ariel Heryanto yang lebih melihat kelas menengah dari pendekatan cultural studies. Secara umum, karya-karya tersebut menampilkan pengalaman pembentukan kelas menengah di Indonesia yang berangkat dari masa dekolonialisasi yang ditandai dengan munculnya kelompok masyarakat baru dalam struktur masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kelompok ma-syarakat Indonesia hanya dikenal dalam dua kelompok yakni raja-kawu-la (penguasa-rakyat) yang itu menyimbolkan struktur kekuasaan yang berlandaskan patrimonialisme. Hadirnya kelompok masyarakat baru tersebut kemudian mengisi ruang kosong antara raja dan kawula ter-sebut yang kemudian berperan sebagai penghubung antara keduanya. Karakter " antara " (in between) yang terdapat dalam karakter kelas menengah Indonesia itulah yang menjadi pintu masuk bagi para il-muwan dalam melakukan analisis. Namun demikian, karakter " antara " tersebut juga bisa berarti ambigu mengingat ketidakjelasan posisi politik * Penulis adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI.

Budaya Sekolah Multikultur

Having a strong school culture for an organization is a must. School culture is a guideline for all school members, not only students and teachers, but also stakeholders, parents and other parties. This paper will show you, the elements of school culture and its implementation.

SDIT dan Kelas Menengah Muslim

Pada era reformasi, terdapat perkembangan menarik mengenai tren parental choice of education di Indonesia, ketika kalangan Menengah Muslim lebih tertarik menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang memiliki basic keagamaan (Islam) yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengapa Sekolah Dasar Islam Terpadu banyak diminati orang tua dari Kelas Menengah Muslim? Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi terlibat, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi orang tua dalam menyekolahkan putraputrinya di SDIT meliputi tiga faktor, yakni; faktor teologis, sosiologis, dan akademis. Faktor teologis merupakan alasan yang didasari atas pertimbangan agama. Orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki basic pendidikan agama yang kuat. Faktor sosiologis berkaitan dengan meningkatnya citra sekolah Islam di Indonesia. Faktor akademis berkaitan dengan kemampuan SDIT dalam mencapai prestasi akademik tinggi bagi para siswa. Posisi guru sebagai seorang murabby (pemandu moral) menjadi daya dukung utama sekolah ini. Posisi guru sebagai murabby menjadikan relasi antara guru dan siswa tidak hanya sebatas hubungan formal di sekolah, melainkan seperti hubungan antara orang tua dan anak di rumah. Oleh karena itu, pengembangan sekolah dasar ke depan perlu mempertimbangkan pendidikan keagamaan yang berkualitas dalam rangka untuk menarik parental choice of education dari kalangan menengah Muslim.

Kesalehan Sosial Sebagai RItual Kelas Menengah Muslim

The emergence of social piety is an interesting phenomenon among recent middle class Indonesian muslim. The aims and scope of social piety which established is to redefine spirituality. Process of reconstucting social piety can be traced from the intersection from both material and spiritual aspect. Spiritual is a holy effort to pray God and material can be analyzed as a complementer factor in spirtual effort. To become pious man is the main thing however the most intention are both recognition and representation from others. This article will elaborate more deeply about the meaning of social piety in recent middle class Indonesian muslim. Abstrak Abstrak Abstrak Abstrak Abstrak Kemunculan kesalehan sosial merupakan fenomena menarik di kalangan kelas menengah muslim Indonesia kontemporer. Adanya upaya mendefinisikan secara ulang makna spiritual menjadi tiitk tekan munculnya kesalehan sosial tersebut. Proses terbentuknya kesalehan sosial dapat di-lacak dari interseksi antara aspek material dan aspek spiritual dalam beribadah. Spiritual dipahami sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, sementara material dapat dipandang sebagai alat penujang spiritual tersebut. Menjadi orang saleh memang menjadi tujuan utama kesalehan sosial ini, namun yang lebih penting lagi adalah pengakuan dan afirmasi dari masyarakat terhadap kesalehan sosial yang dkonstruksikan tersebut. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengenai makna kesalehan sosial dalm konteks kelas menengah kekinian. Perbincangan mengenai kesalehan sosial sedang marak terjadi di kalangan kelas menengah muslim Indonesia. Secara sederhana, pengertian kesalehan sosial dimaknai sebagai ekspresi dan praktik perilaku orang-orang Islam yang peduli