PERIODE SASTRA DI ERA REFORMASI (original) (raw)

KEBEBASAN PERS di ERA REFORMASI.docx

Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan penguasa semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan kebebasan rakyat untuk menentukan sikapnya . Sebenarnya demokrasi sudah muncul pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Begitu pula kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya.

PERAN PEMUDA PADA ERA REFORMASI

KELOMPOK 2 KELAS XII MIA 5, 2023

Pemuda merupakan penerus perjuangan generasi terdahulu untuk mewujukan cita-cita bangsa. Pemuda menjadi harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu bangsa, Pemudalah yang dapat merubah pandangan orang terhadap suatu bangsa dan menjadi tumpuan para generasi terdahulu untuk mengembangkan suatu bangsa dengan ide-ide ataupungagasan yang berilmu, wawasan yang luas, serta berdasarkan kepada nilai-nilai dannorma yang berlaku di dalam masyarakat.Pemuda-pemudi generasi sekarang sangat berbeda dengan generasi terdahulu dari segi pergaulan atau sosialisasi, cara berpikir, dan cara menyelesaikan masalah. Pemuda- pemuda zaman dahulu lebih berpikir secara rasional dan jauh ke depan. Dalam arti,mereka tidak asal dalam berpikir maupun bertindak, tetapi mereka merumuskannya secara matang dan mengkajinya kembali dengan melihat dampak-dampak yang akan muncul dari berbagai aspek. Pemuda zaman dahulu juga aktif dalam berbagai kegiatansosial. Contohnya saja, sejarah telah mencatat kiprah-kiprah pemuda Indonesia dalam memerdekakan Negara ini. Bung Tomo, Bung Hatta, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, danlain-lain rela mengorbankan harta, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka untukkepentingan bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia

KINERJA BIROKRASI DI ERA REFORMASI

Mentalitas dan budaya paternalistik lebih banyak berorientasi kepada atasan atau penguasa, sehingga menghambat munculnya sikap mandiri, inovatif dan kreatif. Reformasi birokrasi yang berjalan lamban bukan semata-mata kesalahan pemimpin didalam lembaga pemerintah yang menjalankan organisasi tidak sesuai dengan hakikat birokrasi ideal. Kinerja yang dibentukpun ditujukan kepimpinan dibandingkan kepada masyarakat yang harus dilayani. Melihat kondisi birokrasi pemerintahan dan karakteristik masyarakat yang mempengaruhi perilaku birokrasi, maka tidak aneh jika reformasi birokrasi berjalan lambat. Karateristik masyarakat yang melekat dalam birokrasi mengakibatkan pola komunikasi yang dibangun juga tidak demokratis, lebih berpihak kepada para elite dalam kekuasaan negara. Sebab karakteristik statis dan lamban (indolent) masih mewarnai perilaku masyarakat yang kurang sadar mutu, terpikat pada apa yang sudah ada dan dianggap terbaik, mentalitas bekerja asal selesai dan asal ada hasilnya sangat menonjol, kurang terbuka, kurang mengenal pandangan alternatif dalam pengambilan keputusan dan menyukai kompromisme. Dengan kondisi semacam ini, masyarakatpun kurang peduli terhadap reformasi birokrasi. Telebih lagi, kepercayaan terhadap elite dalam kekuasaan negara maupun politik semakin pudar, ketika reformasi politik tidak kunjung membawa kesejahteraan. Terlepas dari sejumlah asumsi di atas, tetapi secara faktual birokrasi masih tetap diunggulkan untuk menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur.

PERKEMBANGAN INTELIJEN ERA REFORMASI

Intelijen merupakan topik kajian yang penting sekaligus rumit untuk dipahami karena sifat kerahasiaannya. Meski demikian, negara demokrasi selalu mendukung masyarakatnya untuk memiliki, setidaknya, pemahaman dasar terkait seluruh instansi pemerintah, termasuk intelijen. Pada tahun 2015, Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) telah melakukan penelitian yang berjudul " Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru ". Penelitian ini bukan saja berisi mengenai teori intelijen, pergumulan intelijen dan demokrasi di beberapa negara yang mengalami perubahan politik dari sistem otoriter ke demokrasi dan sejarah singkat intelijen di Indonesia, melainkan juga memuat ulasan awal demokratisasi intelijen di Indonesia. Reformasi intelijen di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Intelijen harus bekerja sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut. Paradigma lama intelijen Indonesia sudah pasti akan dan harus berubah, pengawasan terhadap intelijen pun suatu keniscayaan. Adalah suatu keniscayaan pula bahwa pengawasan terhadap intelijen bukan membuat kerja-kerja rahasia mereka menjadi terbatas atau terhambat, melainkan justru intelijen mendapatkan kepercayaan dan didukung oleh rakyat, sehingga meningkatkan legitimasi intelijen dan tentunya peningkatan anggaran intelijen. Pendahuluan Sejak berakhirnya Perang Dingin, di mana ancaman non-tradisional lebih mengemuka ketimbang ancaman militer/tradisional, informasi intelijen menjadi lebih penting ketimbang persenjataan. Penting dipahami bahwa informasi intelijen adalah hasil antara. Hasil akhirnya adalah kebijakan. Suatu kebijakan akan semakin baik dan tepat, apabila mendapatkan masukan informasi intelijen yang baik pula-cepat dan tepat (velox et exactus). Informasi intelijen dapat dikatakan baik dan maksimal apabila proses penggalian informasinya berlangsung secara apik dengan informasi yang amat berharga, diolah kembali oleh analis intelijen yang amat ahli dan berpengalaman, diubah menjadi rekomendasi kebijakan yang amat singkat dan akurat, kemudian dijalankan oleh pengambil kebijakan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Pengguna ataupengambil keputusan membutuhkan kualitas analisis intelijen yang baik, agar ia dapat membuat keputusan yang tepat, mempersiapkan kapabilitas dan sumberdaya nasional untuk menghadapi ancaman-ancaman tradisional dan non-tradisional.

LATAR BELAKANG DAN KARAKTERISTIK SEJARAH SASTRA ERA REFORMASI

Moch. Khoirul anwar, 2022

Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi pada pembaca tentang latar belakang dan karakteristik sastra pada masa reformasi. Metode yang digunakan oleh penulis adalah analisis isi, dimana proses analisis isi dilakukan dengan penyelidikan yang berusaha mengurai secara objektif, sistematik, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak. Hasil yang penulis dapat yaitu latar belakang Angkatan Reformasi ini ditandai dengan banyaknya karya sastra yang muncul, seperti novel, kumpulan cerpen, dan antologi puisi. Karya sastra pada era reformasi memiliki kecenderungan karakteristik tersendiri, yaitu isi karya sastra sesuai situasi reformasi, bertema sosial-politik, romantik, naturalis, produktivitas karya sastra lebih marak lagi. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra pada era Reformasi, yaitu (1) faktor kebijakan pemerintah pada era reformasi; (2) faktor ekonomi; (3) faktor ideologi; dan (4) faktor politik sastra.

ISU-ISU PEMILU ERA REFORMASI

Makalah ini berfokus pada isu-isu pemilu setelah era reformasi. Dengan mempelajari literatur yang ada sebagai bahan perbandingan antara pemilu ke pemilu.

AHMADIYAH DI ERA REFORMASI

Abstrak Artikel ini menguji kompleksitas seputar kekerasan yang dilakukan oleh Muslim terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia di era baru demokrasi reformasi. Kekerasan muncul sejak 1998 pasca Suharto ketika beberapa kelompok Muslim seperti Front Pembela Islam (FPI), yang mengklaim bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang sesat menurut ortodoksi Islam. Artikel ini mencoba memahami mengapa dan bagaimana Ahmadiyah menjadi target serangan kekerasan oleh beberapa kelompok Muslim di era pasca Suharto dengan meningkatnya kelompok fundametalis Islam setelah menemukan kebebasan baru beragama. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana faktor politik, ekonomi dan teologi Islam muncul sebagai faktor penting yang mengkontribusi atas serangan kekerasan. Melalui identifikasi studi kasus tertentu penyerangan di kota-kota lintas pulau Jawa dan Lombok, saya juga akan mengeksplorasi bagaimana pemerintah membuat kebijakan untuk menemukan solusi yang terbaik dan sejauhmana efektifitas kebijakan tersebut untuk menyelesaikan masalah. This article examines the complexities surrounding violence by Muslims towards the Ahmadiyya community in Indonesia in its new era of democracy. Violence emerged in 1998 in the post-Suharto era when some Muslim groups, such as Front Pembela Islam (FPI), claimed that Ahmadiyya is a deviant group (aliran sesat) according to Islamic orthodoxy. This article works to understand why and how Ahmadiyya became a target of violent attacks by some Muslim groups in the post-Suharto era by considering the rise of Islamic fundamentalist groups during this time of new-found religious freedom. In doing so, I ask how politics, economy and Islamic theology emerged as significant factors that contributed to the attack. Through identifying particular case studies of attacks in cities across Java and Lombok, I also explore how government creates the policy to find the best solution and how far the effectiveness of this policy to solve the problem. Kata Kunci: Ahmadiyah, kekerasan, politik dan kebijakan negara 27

SEJARAH SASTRA DAN PERIODESASINYA

Periode ini terentang dari abad ke-7 hingga awal abad ke-20. Ciri-ciri sastra Melayu Lama antara lain: • Bersifat anonim (tidak diketahui pengarangnya) • Bersifat didaktis (memberi ajaran) • Mengandung nilai-nilai moral dan keagamaan • Bentuknya terikat oleh aturan yang baku, seperti pantun, syair, dan gurindam • Tema yang diangkat umumnya berkisar tentang cinta, kepahlawanan, dan keagamaan B. Sastra Indonesia Modern Periode ini dimulai dari awal abad ke-20 hingga sekarang. Sastra Indonesia Modern dibagi lagi menjadi beberapa angkatan, yaitu: