Politik Patronase dan Klientelisme Purnawirawan Tni Pada Pemilu Legislatif (original) (raw)
Related papers
Politik Klientelisme di Pemilu Serentak 2019
JRP (Jurnal Review Politik)
Money politics cannot be separated from the constellation of elections in Indonesia. There is no election without money politics in it. To get votes, all parties are competing to use all means, be it the dawn attack of money politics before the election. It is impossible for a candidate to run for office not to use a penny even because it is no longer a public secret that without having a lot of money, he cannot escape running for government representatives. Gellner & Waterbury, Patrons, and Clients in the Mediterranean Societies said money politics exists in a society that is patron-client when groups in power or certain privileges give money or other gifts in return for the loyalty of their followers (clients). This of course applies to elections in Indonesia, not only reciprocation for voting but guaranteeing the votes of citizens because the public usually remembers the giving of candidates as the time approaches the election. For this reason, there have been many dawning attack...
Politik, Patronase dan Pengadaan
Pemerintah dan lembaga-lembaga internasional merekomendasikan penggunakan electronic procurement sebagai strategi untuk memberans korupsi. Akan tetapi, berdasarkan telaah atas kasus korupsi kontemporer, reformasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak mampu menghentikan korupsi. Alih-alih terkontrol, korupsi justru bertransformasi ke dalam bentuk baru menyesuaikan dengan peraturan pengadaan yang telah direformasi. Dengan mengkaji kasus korupsi dalam pembangunan wisma atlet serta meneliti aspek historis dalam aturan pengadaan barang dan jasa di Indonesia, saya berpendapat persoalan terbesarnya justru terletak di dalam patronase politik sebagai strategi utama untuk membangun dan memelihara basis sosial. Reformasi dalam pengadaan barang dan jasa, serta pemberantasan korupsi, tidak memadai untuk mengatasi persoalan tersebut. Kata-kata kunci: korupsi, reformasi, lelang-el, patronase, perburuan rente 2 |
Jurnal Mengkaji Indonesia
This article analyzes the patterns of relations held by brokers in areas that have an abangan culture. The broker in this study is botoh who acts as an intermediary between candidates and prospective voters in the 2020 Blitar Regency Pilkada (Regional Elections). The theory used is the contemporary patron-client theory proposed by James C. Scott, which aims to explore the patron-client characteristics possessed by botoh in Blitar Regency. Purpose: This study aims to understand the characteristics of patron-client relationship patterns found in the abangan region of Blitar Regency. In the Pilkada held in 2020, there is a relationship formed between candidate pairs, botoh, and clients. The relationship was formed because of the opportunities for benefits obtained by each party. Design/Methodology/Approach Descriptive qualitative research methods and in-depth interviews for information gathering can explain the patron-client characteristics of botoh. Findings: This study shows that botoh in abangan areas have seven characteristics, those are (1) short-term relationship span with candidates but long-term relationship span with their subordinates, (2) profit-based relationship pattern with both candidates and subordinates, (3) specialized influence on patrons and clients who have interests, (4) has a modern managed resource base, (5) minimal control over local resources, (6)
Pilkada Bekasi Dalam Dilema Patron Klien: Antara Sosiologi Politik Dan Pemilih Rasional
Journal of Social Politics and Governance (JSPG), 2020
Berlangsungnya pemilihan langsung kepala daerah di Indonesia masih meninggalkan persoalan yang rumit, diantaranya masih maraknya dinamika patron-klien dalam pemilihan yang didasari oleh transaksi dan jaringan kuasa yang dibangun oleh pemilih dan calon, peneliti ingin meneliti dinamika patron-klien yang terjadi pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif untuk menggambarkan karakteristik pemilih serta faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih pada Pilkada Kabupaten Bekasi. Hasil penelitian yang didapatkan adalah hubungan calon dengan pemilih dibangun atas dasar ketidaksamaan dimana calon merawat suara dengan material yg diberikan, disamping itu calon juga memanfaatkan pelapisan kekayaan dan jejaring pada kelompok tani. Hal ini juga membantah teori sosiologi politik, yang ternyata tidak berlaku pada masyarakat Kabupaten Bekasi.
Menguatnya Ikatan Patronase dalam Perpolitikan Indonesia
Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 2018
Tulisan ini bermaksud ingin melihat bagaimana menguatnya ikatan patronase dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Euphoria politik di Indonesia semakin hari kian menarik, pasalnya esensi politik yang terjadi tidak melulu mengenai politik murni, tetapi sudah terkontraminasi dengan berbagai unsur dan kepentingan yang ada. Hal itu lah yang membuat para elit politik harus mempunyai strategi jitu guna memperkuat posisinya. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif, deskriptif dan didapatkan temuan bahwa menguatnya ikatan patronase dalam perpolitikan Indonesia disebabkan oleh saling membutuhkannya atau simbiosis mutualisme antara elit politik dengan berbagai unsur seperti organisasi masyarakat misalnya.
Pola Hubungan Patronase Pada Birokrasi Pemerintahan Kota Cimahi
Jurnal Caraka Prabu
Tujuan pokok penelitian ini adalah memahami apakah pola hubungan patronase pada birokrasi pemerintah daerah dapat diselaraskan dengan pola hubungan birokratis. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian telah dilakukan di Kota Cimahi, Jawa Barat- Indonesia pada tahun 2016. Hasil penelitian adalah bahwa pola hubungan patronase dalam birokrasi pemerintahan Kota Cimahi, dapat diselaraskan dengan pola hubungan birokratis melalui pengembangan karir pegawai.Caranya, walikota tidak melakukan “perloncatan” dalam pengembangan karier kliennya, melainkan dengan “percepatan” agar tidak melanggar aturan kepegawaian. Para birokrat tertentu dipromosikan berdasarkan prosedur kepegawaian dalam waktu yang tidak terlalu lama. Wali kota menggunakan wewenangnya secara etis dan ditunjang oleh sikap partai yang tidak ikut campur. Dengan cara itu, pencapaian kinerja pemerintah Kota Cimahi tidak terganggu. Bertolak dari simpulan tersebut, peneliti mengajukan konsep baru yaitu “pola hubungan patronase pada bir...
Buletin INSIGHT, 2019
Bisakah birokrat bersikap netral dalam pemilu? Atau pertanyaan lebih mendalam apakah birokrasi sebagai bagian dari kekuasaan dapat bertindak netral? Sejak kapan gagasan netralitas birokrasi itu muncul? Kondisi apa yang melatarbelakanginya? Dan apa konsekuensi dari diskursus dan praktik netralitas birokrasi? Banyak perspektif dalam upaya menjelaskan diskurus dan praktik netralitas birokrasi. Di satu sisi, para birokrat dinilai harus bersikap netral, agar mereka dapat bertindak secara rasional. Dengan rasionalitas maka birokrasi akan berbadan sehat dan mampu melayani masyarakat dengan baik. Rasionalitas ini dianggap akan berada dalam marabahaya tatkala ada wabah kepentingan politik yang menyerang kehendak birokrat. Sehingga kepentingan politik harus disingkirkan, karena birokrasi dituntut menjadi ruang yang kedap kepentingan politik. Di sisi yang lain, ada perspektif kritis yang menempatkan birokrasi adalah instrumen dari kekuasaan. Perspektif ini menilai bahwa tidak akan pernah ada birokrasi yang netral. Jika kita runut dari sejarah panjang terbentuknya birokrasi, sejak Kekaisaran Roma atau tahap terakhir kerajaan Persia, birokrasi memang dibentuk sebagai instrumen kekuasaan. Pendekatan marxis melihat birokrasi adalah alat kepentingan kelas penguasa untuk mendominasi, mendisiplinkan, hingga menghisap kelas yang tidak berkuasa (Marx, 1967; Lenin, 1871). Bahkan Max Weber sebagai pencetus konsep “birokrasi ideal” dan “rasionalitas birokrasi” mengakui ketidaknetralan birokrasi (lihat Max Weber, 1947; 1968).
Wanti-Wanti Politisasi Birokrasi Menjelang Pilkada 2020 DI NTT
2020
Artikel opini ini mengulas persoalan politisasi birokrasi yang masif terjadi saat momentum Pilkada yang berpijak pada data dan fakta yang terjadi di NTT menjelang Pilkada tahun 2020, bahwasannya birokrat (ASN) di NTT disinyalir tidak netral. Melalui artikel opini ini penulis berargumen bahwa, tampilnya para birokrat (ASN) secara terang-terangan mendukung salah satu kandidat dalam proses pilkada, menyebabkan birokrasi gampang di politisir oleh kekuatan-kekuatan politk tertentu. Pada titik ini birokrasi dijadikan kuda troya oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik penguasa demi mengakumulasi kepentigan jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga, upaya untuk mengembalikan fitrah birokrasi yang loyal pada profesi pelayanan publik yang berguna untuk menjabarkan kepentingan publik, membutuhkan perubahan total atas sistem dan struktur yang menyangga segala penyimpangannya yakni sistem ekonomi-politik kapitalistik yang berlaku hingga sekarang ini.
Populis : Jurnal Sosial dan Humaniora
The existence of political parties in Indonesia has an important role in the democratic system. Political parties have several functions and one of them is political recruitment, namely a selection of candidates for legislative members to produce a quality leader. This study discusses the recruitment strategy by the Gerindra Party in conducting the regeneration of members of the Gerindra Party in Tidore Islands City. This study uses James Scott's Patron-Client Theory and Michael Rush and Philip Althoff's Political Recruitment Theory. The data in this study were obtained through interviews with party leaders and literature studies. This study describes that the Gerindra Party Branch Board of Tidore Islands City conducts political recruitment with a patron-client pattern. Where, patrons are associated with former activists, retirees and businessmen who have an organized mass, influence and economic capital. And clients, namely community groups who have social and cultural clos...