Aswaja Research Papers - Academia.edu (original) (raw)

Mukadimah Al-Hamdu Lillah, Wa ash-Shalatu Wa as-Salamu ‘Ala Rasulillah. Dalam mukadimah buku ini ada beberapa poin yang hendak penulis tuangkan, sebagai berikut: (Satu); al-Hamdu lillâh, senantiasa kita mengucapkan syukur kepada Allah... more

Mukadimah

Al-Hamdu Lillah, Wa ash-Shalatu Wa as-Salamu ‘Ala Rasulillah.
Dalam mukadimah buku ini ada beberapa poin yang hendak penulis tuangkan, sebagai berikut:
(Satu); al-Hamdu lillâh, senantiasa kita mengucapkan syukur kepada Allah bahwa kita dijadikan oleh-Nya sebagai orang-orang mukmin. Sesungguhnya, di antara nikmat teragung yang dikaruniakan oleh Allah bagi kita adalah nikmat Iman dan Islam. Semoga kita terus diberi kekuatan oleh Allah untuk senantiasa menjaga nikmat teragung ini hingga akhir hayat.
(Dua); Sungguh karunia besar, kita dihimpunkan dalam kelompok mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah. kelompok moderat, tidak ekstrim kanan, juga tidak ekstrim kiri, tetapi pertengahan antara kedua (al-Firqah al-Mu’tadilah). Kelompok yang dijamin keselamatannya oleh Rasulullah di akhirat kelak (al-Firqah an-Nâjiyah).
(Tiga); Di antara ni’mat Allah yang sangat besar, beberapa puluh tahun ke belakang, penulis diperkenalkan oleh Allah lewat guru-guru penulis terhadap sebuah kitab agung yang sangat berharga. Kitab karya seorang ulama terkemuka, pimpinan para ahli hadits di daratan Syam (Siria dan sekitarnya) pada masanya; al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir, berjudul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Sebuah kitab berisi dalil-dalil tekstual (Barâhîn Naqliyyah) dan bukti-bukti logis (Barâhîn ‘Aqliyyah) kebenaran aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Terjemah harfiah judul kitab tersebut adalah; “Penjelasan kobohongan pendusta dalam apa yang disandarkan kepada al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari”. Kitab yang tidak hanya membela Imam Ahlussunnah; Abul Hasan, tetapi juga sebagai pijakan dan dalil bagi kita dalam kebenaran apa yang kita yakini. Yang karena itulah, al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan siapa yang mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi tidak memiliki dan membaca kitab tersebut maka ia belum kokoh dalam ke-sunni-annya.
Demi Allah, saat pertama kali penulis membaca kitab tersebut tidak terasa air mata menetes, sujud syukur kepada Allah. Betapa besar karunia Allah kepada kita bahwa kita dijadikan oleh-Nya berada dalam barisan kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di dalam aqidah yang notabena golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebenarnya. Sementara dalam fiqh, --yang toleransi khilâfiyah di dalamnya sangat luas-- kita dijadikan orang-orang pengikut al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 205 H).
(Empat); Buku yang ada di hadapan pembaca ini adalah kutipan-kutipan dari kitab Tabyîn di atas. Itu-pun hanya sebagian kecilnya saja. Ditambah catatan-catatan kecil di sana-sini. Tentu, buku ini sama sekali bukan representasi kitab Tabyîn, apa lagi untuk menjelaskannya. Namun paling tidak, semoga “kulit” atau pandangan global dari kitab Tabyîn tersebut dapat tertuang dalam buku sederhana ini. Tentu, dengan harapan semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dan pencerahan bagi setiap peribadi muslim Sunni dalam pijakan keyakinan Ahlussunnah mereka. Âmîn.

* * * * * * * * *

Ada sekelompok orang membuat pertanyaan aneh, berkata: “Apakah kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari) termasuk golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah?”. Tepatnya pertanyaan ini dilontarkan oleh orang-orang Wahabi. Ini betul-betul pertanyaan aneh dan sangat tidak ilmiah.
Secara ringkas, pertanyaan tendesius ini tersirat mengandung banyak kemungkinan pemahaman atau tuduhan.
(Satu): Bisa jadi orang yang membuat pertanyaan tersebut adalah orang yang sangat bodoh, tidak pernah belajar ilmu agama dengan benar, khususnya sejarah. Karena orang yang pernah belajar dengan baik dan benar, kepada para ulama yang terpercaya (tsiqah) dan memiliki mata rantai keilmuan (sanad) yang bersambung ke atas maka ia akan mendapati bahwa para ulama pengemban (pewaris) ajaran syari’at ini adalah kaum Asy’ariyyah dalam setiap generasinya.
(Dua): Boleh jadi orang yang melontarkan pertanyaan itu adalah orang yang sangat lugu, picik, dan sempit dalam berfikirnya. Katak dalam tempurung. Ia hanya mengetahui beberapa nama saja yang --menurutnya-- sebagai ulama yang lurus di atas jalan kebenaran. Dan seperti demikian inilah doktrin faham Wahabi. Mereka memandang sesat kepada siapapun, kecuali yang sepaham dengan ajaran mereka. Hanya bila sudah dikatakan kepada mereka; “Ibnu Taimiyah berkata: ...”, atau “Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: ...”, atau “Utsaimin berkata: ...”, atau “Ibnu Baz berkata: ...”; maka mereka akan diam menerima; sami’na wa atha’na. Selain ulama mereka sendiri mereka menilainya bukan ulama, atau bukan Ahlussunnah.
(Tiga): Poin yang tersirat dari pertanyaan tendensius itu adalah bahwa kaum Asy’ariyyah adalah orang-orang sesat. Atau paling tidak, yang tersirat dari pertanyaan itu adalah bahwa dipenanya meragukan kebenaran aqidah Asy’ariyyah. Sebenarnya, redaksi pertanyaan di atas adalah “model halus” untuk menyesatkan, bahkan mengkafirkan kaum Asy’ariyyah. Karena demikian itulah keyakinan mereka; kaum Asy’ariyyah dan Matridiyyah adalah orang-orang kafir musyrik . Karena itu besar kemungkinan pertanyaan di atas dilontarkan untuk tujuan cibiran, melecehkan dan hanya untuk olok-olok.
Seharusnya, jika hendak ditanyakan maka redaksi pertanyaan bagi seorang yang terpelajar adalah; “Siapakah bersama kaum Asy’ariyyah yang masuk dalam barisan Ahlussunnah Wal Jama’ah?”. Ini namanya pertanyaan seorang yang paham dan ilmiyah.
Anda jelaskan kepada orang yang melontarkan pertanyaan “bodoh / asal jadi” di atas, bahwa seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi mereka semua adalah para pengikut al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Mereka semua adalah Asy’ariyyah Maturidiyyah.
Tanyakan kepada orang itu, apakah anda kenal dengan para ulama terkemuka ini; Abul Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H)??
Kalau si-penanya itu berkata tidak kenal nama-nama ulama di atas, dan ia hanya mengenal nama Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab saja, maka anda katakan kepadanya; “Selamat tinggal”. Berarti, nyatalah orang tersebut telah berjalan di atas faham ekstrim. Ia tidak faham keyakinan dan ajaran mayoritas ulama. Wa man syadzdza syadzdza fin-nar.

Kholil Abu Fateh,
Al-Asy’ari as-Syafi’i ar-Rifa’i al-Qadiri