Bappenas Research Papers - Academia.edu (original) (raw)

Hampir 75 tahun Indonesia merdeka, permasalahan kehutanan tidak kunjung reda, dari rendahnya produktivitas, konflik satwa dengan manusia, hingga penggundulan hutan. Pemecahannya adalah melalui reformasi kehutanan. Pertama, Presiden Joko... more

Hampir 75 tahun Indonesia merdeka, permasalahan kehutanan tidak kunjung reda, dari rendahnya produktivitas, konflik satwa dengan manusia, hingga penggundulan hutan. Pemecahannya adalah melalui reformasi kehutanan.

Pertama, Presiden Joko Widodo perlu memimpin konsolidasi penggunaan kawasan hutan. Upaya ini ditujukan untuk mengatasi tumpang tindih penggunaan ruang. Kepentingan masyarakat dan kebijakan strategis nasional harus diutamakan dan diakomodasi, misalnya memberikan kepastian hak atas tanah pada masyarakat dan memperluas kawasan lindung nasional. Keunikan dan keindahan kawasan itu dapat menjadi tujuan pariwisata, yang merupakan sektor unggulan penggerak ekonomi Indonesia 2045.

Tata ruang kawasan hutan harus dikembalikan ke tujuan negara dan pemanfaatannya berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Dengan begitu, pembangunan berkelanjutan benar-benar terwujud.

Kedua, perubahan dan penyederhanaan peraturan perundangan menjadi dasar untuk mengimplementasikan terobosan kebijakan, seperti peraturan penanganan konflik penggunaan kawasan hutan. Ini bertujuan mengatasi tumpang tindih dan keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan yang mencapai 30 juta hektare.

Untuk menangani keterlanjuran berupa kebun, tambang, pemukiman, bandara, pelabuhan, bahkan perkantoran pemerintahan diperlukan peraturan yang setara peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Inovasi yang disebut sebagai “pengampunan penggunaan kawasan hutan” (forest amnesty) ini dapat memberi banyak manfaat bagi Indonesia. Tentunya, aspek keadilan dan kelestarian melandasi pelaksanaan program. Pemberian wewenang kepada Pemerintah Desa, misalnya, dapat menjadi sistem pengaman.

Membangun hutan, membangun desa

Ketiga, paradigma pengolaan hutan, yang telah bergeser ke desa atau masyarakat, seharusnya diterapkan secara struktural. Apalagi, setiap 1 dari 3 desa di Indonesia beririsan dengan kawasan hutan (BPS, 2014). Pemberian wewenang Pemerintah Desa dalam mengelola kawasan hutan dapat menjadi alternatif solusi desentralisasi kepemilikan dan pengelolaan kawasan hutan.

Negara-negara di Eropa, Amerika, dan China berhasil merehabilitasi hutan setelah mendesentralisasi lahannya kepada tingkat desa dan masyarakat. Di beberapa provinsi di Indonesia pun menunjukkan hal yang sama. Hutan di tanah milik atau non-kawasan hutan lebih luas daripada hutan di dalam kawasan hutan. Ini didorong oleh rasa handarbeni (ikut memiliki) sebagai modal sosial mengolah lahan mereka sendiri secara produktif.

Keempat, di era Internet of Things seperti saat ini, serta mengingat luas dan beragamnya kawasan hutan, penggunaan informasi teknologi mutakhir merupakan keniscayaan. Perlu digagas Forestry 4.0 di Indonesia, sebuah sistem informasi teknologi pengelolaan hutan. Tujuannya, mempermudah penataan, pengelolaan, dan pengawasan hutan. Hal ini juga dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas urusan pemangku kawasan.

Dalam mengendalikan pemanfaatan kawasan hutan, instrumen Forestry 4.0 dapat digunakan untuk memotret hutan secara cepat dan akurat. Aplikasi ini dapat menunjukkan kegiatan alih fungsi hutan sebagai alat peringatan dini. Laju deforestasi pun dapat dengan cepat dicegah dan ditangani.

Kelima, transformasi pengelolaan sumber daya manusia, yakni rimbawan. Ada beberapa upaya yang dapat diimplementasikan, seperti sistem renumerasi, mekanisme insentif dan penalti yang berkaitan dengan kinerja, serta perencanaan dan pola karir. Jadi, tidak ada kisah lagi seorang rimbawan selamanya bekerja di tengah rimba tanpa imbalan dan kepastian karir.

Ibarat seorang dokter, rimbawan seyogianya menguasai kondisi hutannya. Mereka sehari-hari harus berdampingan dengan masyarakat desa dalam mengelola hutan, terutama saat melakukan identifikasi dan verifikasi batas dan tata guna hutan. Pendampingan juga dilakukan untuk mengembangkan usaha masyarakat. Roda ekonomi di pedesaan pun secara otomatis akan tumbuh.

Selain langkah-langkah di atas, sosok pemimpin yang memiliki visi kuat, komitmen, kemauan, dan keberanian adalah faktor penting dalam melakukan reformasi kehutanan. Kini saatnya rekonsiliasi dan konsolidasi mengatasi kompleksitas kehutanan untuk membangun negeri. Republik ini membutuhkan langkah pasti. Rakyat Indonesia sedang menanti.

Singkatnya, untuk menyongsong tahun 2045 yang tidak lama lagi, pembangunan kehutanan tidak boleh bussiness as usual. Jika tidak, potret kehutanan dan Republik pada 100 tahun Indonesia merdeka akan “begini-begini saja”, seperti pernah diungkapkan Presiden Jokowi.