Literature and Politics Research Papers (original) (raw)

2025, מקרא רביבים

בְּתַרְדֵּמָה עֲנֻגָּה וְרֵיחָנִית
על "דְּיוֹ וְדוֹפָּמִין", ספר שיריו של תומר קליין
מאמר ביקורת מאת: עדי אביטל-רוזין

2025, Acta Classica Universitatis Scientiarum Debreceniensis

The sixth book of Virgil's Aeneid stands out from the text because it is the crystallization of the structural and allusive procedures that organize the text. The narrative of the founding myth of the Temple of Apollo in Cumae and the... more

The sixth book of Virgil's Aeneid stands out from the text because it is the crystallization of the structural and allusive procedures that organize the text. The narrative of the founding myth of the Temple of Apollo in Cumae and the description of the reliefs decorating the temple's gate, with the figure of the mythical architect-inventor-sculptor Daedalus in the center (6,14-41), were placed at a highlighted position within the key sixth book: at the beginning. Aeneid philology interprets the temple scene of the sixth book mostly from the point of view of ekphrasis, more precisely in connection with the other ekphrases in the Aeneid. In my paper, I will not concentrate on the interpretation of Daedalus' reliefs, but on the entirety of the Cumae scene. Specifically from the perspective of the roles, I shall examine the layers of meaning that can be formed in the textual space of the Aeneid around Aeneas' scrutiny of the image during the time of waiting and around the narrator's description of the image.

2025, FISIP UPNVJ

Esai ini membahas analisis unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell, dengan fokus pada kritik terhadap totalitarianisme dan dampaknya terhadap kebebasan individu. Melalui kajian naratif dan ideologis, esai ini menguraikan... more

Esai ini membahas analisis unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell, dengan fokus pada kritik terhadap totalitarianisme dan dampaknya terhadap kebebasan individu. Melalui kajian naratif dan ideologis, esai ini menguraikan bagaimana Orwell membangun dunia fiksi yang penuh pengawasan, manipulasi informasi, dan penindasan pemikiran kritis. Novel 1984 diangkat sebagai refleksi mendalam atas bahaya kekuasaan absolut, di mana pengawasan ekstrem, propaganda, dan rekayasa bahasa menjadi instrumen utama pengendalian masyarakat. Tokoh utama, Winston Smith, digambarkan sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi rezim otoriter yang mengekang kebebasan berpikir dan identitas individu. Analisis ini menegaskan relevansi 1984 dalam konteks modern, terutama terkait isu pengawasan digital, disinformasi, dan ancaman terhadap hak asasi manusia. Esai ini merekomendasikan pentingnya literasi kritis, penggunaan karya sastra sebagai media refleksi sosial-politik, serta perlunya menjaga ruang kebebasan sipil di era digital sebagai upaya mencegah munculnya praktik totalitarianisme dalam berbagai bentuk.

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025, South Asia Journal for Minorities

The paper critically examines the phenomenological analysis of systemic marginalisation and epistemic appropriation of Dalit and Muslim experiences in South Asian postcolonial academic discourse. It explores the complexities of caste,... more

The paper critically examines the phenomenological analysis of systemic marginalisation and epistemic appropriation of Dalit and Muslim experiences in South Asian postcolonial academic discourse. It explores the complexities of caste, religion, and social exclusion in academia, interrogating how upper-caste scholars commodify the lived realities of Dalit and Muslim communities to reinforce their intellectual authority. Employing decolonial theory, Ambedkarite thought, and Southern epistemologies, the study highlights extractive academic practices that marginalise subaltern voices, perpetuating hegemonic, casteist knowledge structures. Through Participatory Action Research (PAR) and interphenomenological analysis, the paper foregrounds the agency of Dalit and Muslim scholars, challenging dominant academic norms that erase subaltern agency and appropriate their intellectual labour without ethical engagement. It utilises Bourdieu's habitus and Foucault's power/knowledge framework to demonstrate how individual agency and structural constraints shape the experiences of marginalised scholars in South Asian academia. Informed by Naples' insider perspective, the study explores reflexivity in insider/outsider dynamics, advocating for epistemic justice through decolonising and debrahmanising scholarship by centring Dalit and Muslim epistemologies. It calls for spaces where marginalised scholars are integral to knowledge production, envisioning a transformative academic paradigm that transcends tokenism and challenges institutional complicity while advocating for global solidarity for epistemic equality. The paper advocates dismantling casteist and colonial epistemic hierarchies for a more inclusive, equitable academia.

2025, dzikkk

Lalu Riki Wahyudi (240202114) Husain Adzhari(240202107) Egian Wijaya(240202098) M.Dzikra Maulana Khalik(240202107) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2024/2025 KATA PENGANTAR Puji... more

Lalu Riki Wahyudi (240202114) Husain Adzhari(240202107) Egian Wijaya(240202098) M.Dzikra Maulana Khalik(240202107) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2024/2025 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Maslahah Mursalah" ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia mengikuti ajarannya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah [nama mata kuliah), dengan harapan dapat menambah pemahaman tentang salah satu sumber hukum Islam, yaitu maslahah mursalah. Dalam makalah ini, penulis membahas pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan contoh penerapan maslahah mursalah dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam konteks ijtihad kontemporer. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi pembaca sekalian. Mataram , 03 juni 2025

2025

Lalu Riki Wahyudi (240202114) Husain Adzhari(240202107) Egian Wijaya(240202098) M.Dzikra Maulana Khalik(240202107) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2024/2025 KATA PENGANTAR Puji... more

Lalu Riki Wahyudi (240202114) Husain Adzhari(240202107) Egian Wijaya(240202098) M.Dzikra Maulana Khalik(240202107) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2024/2025 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Maslahah Mursalah" ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia mengikuti ajarannya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah [nama mata kuliah), dengan harapan dapat menambah pemahaman tentang salah satu sumber hukum Islam, yaitu maslahah mursalah. Dalam makalah ini, penulis membahas pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan contoh penerapan maslahah mursalah dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam konteks ijtihad kontemporer. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi pembaca sekalian. Mataram , 03 juni 2025

2025, fisip upnvj

Tugas Analisis filsafat ilmu dan logika
Nama : Naysa Sakila Yasmin
Nim : 2410412017
Kelas : A_ Hubungan internasional
Dosen pengampu : Bpk. Drs surajiyo m.si.

2025

Tugas Analisis filsafat ilmu dan logika Nama : Shella Mitha Adelia Nim : 2410412013.upnvj.id Kelas : A_ Hubungan internasional Dosen pengampu : Bpk. Drs surajiyo m.si. Esai ini menganalisis unsur-unsur distopia dalam novel 1984... more

2025

Esai ini mengeksplorasi unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell sebagai wujud kritik terhadap ideologi totalitarianisme. Dimulai dengan gambaran bagaimana sastra—termasuk karya distopia—merefleksikan kecemasan politik... more

Esai ini mengeksplorasi unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell sebagai wujud kritik terhadap ideologi totalitarianisme. Dimulai dengan gambaran bagaimana sastra—termasuk karya distopia—merefleksikan kecemasan politik di setiap era, penulis menyoroti cara Orwell membangun dunia fiktif Oceania yang dikendalikan oleh Partai dan “Big Brother”, di mana pengawasan ekstrem melalui telescreen, manipulasi bahasa (Newspeak), dan propaganda di Kementerian Kebenaran menindas kebebasan berpikir dan identitas individu. Melalui perjalanan tokoh Winston Smith, esai ini menguraikan strategi Partai dalam menghancurkan ikatan personal dan memaksakan kesetiaan total, sekaligus menegaskan bahaya thoughtcrime dan keberadaan Thought Police yang mengawasi pikiran rakyat. Analisis juga menempatkan relevansi novel ini dalam konteks kontemporer, di mana teknologi digital mempermudah penyebaran disinformasi dan pengawasan massal, sehingga 1984 bukan hanya peringatan historis tetapi juga cermin moral bagi masyarakat modern. Keseluruhan tulisan menegaskan pentingnya mempertahankan kebebasan berpikir sebagai tangkal terhadap kekuasaan absolut dan menegaskan bahwa 1984 tetap relevan sebagai studi filosofis dan kritik sosial-politik yang mendalam .

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025, FISIP UPNVJ

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai.

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang... more

Sastra sering kali menjadi bagian dari kekhawatiran sosial dan politik pada setiap era pemerintahan. Ketegangan ini bertahan melalui kolonialisme dan era Orde Baru, di mana sastra bermuatan politik sering kali menyebabkan konsekuensi yang parah bagi para penulis (Farizan Fahmi & H. Herman, 2021). Salah satu bentuk sastra yang mengekspresikan kekhawatiran politik ini adalah karya-karya distopia-sebuah genre fiksi yang menggambarkan dunia masa depan yang penuh dengan penindasan, pengawasan, dan hilangnya kebebasan individu. George Orwell, seorang penulis dan jurnalis asal Inggris dan melalui novel 1984, Orwell menciptakan salah satu karya distopia paling berpengaruh di abad ke-20. "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel dystopian yang berlatar di Oceania, sebuah negara adidaya totaliter . Novel ini menggambarkan sebuah masyarakat totalitarian yang dikendalikan secara ketat oleh Partai, dipimpin oleh tokoh simbolik Big Brother, di mana setiap aspek kehidupan rakyat diawasi dan dikontrol. Kisah ini terungkap di Airstrip One, yang dulunya adalah Inggris Raya, di mana Partai yang berkuasa, yang dipimpin oleh Big Brother, mempertahankan kendali melalui pengawasan terus-menerus, manipulasi, dan penindasan individualisme (Kumari, 2020). 1984 tidak hanya menjadi refleksi dari ketakutan terhadap rezim otoriter, tetapi juga menjadi peringatan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi atau hoax, dan hilangnya identitas individu untuk menjadi manusia yang bebas. Dunia yang dibangun Orwell unsur dengan elemen-elemen khas distopia, seperti sistem pengawasan ekstrem, represi kebebasan berpikir, dan penciptaan realitas melalui propaganda. Novel ini mengeksplorasi tema perang yang terus-menerus, perluasan kekuasaan pemerintah, dan erosi kebenaran serta pemikiran independen . Melalui kisah tokoh utama, Winston Smith, pembaca dibawa untuk menyelami bagaimana sebuah sistem politik yang ekstrim dapat mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bahkan mencintai. Karya Orwell tetap

2025

This essay is an analysis for George Orwell famous book called “1984”, me and my friend analysts the distopian fiction genre through this book.

2025, FISIP UPNVJ

Esai ini menganalisis unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell sebagai kritik terhadap ideologi totalitarianisme. Melalui tokoh utama Winston Smith dan elemen-elemen seperti pengawasan total, manipulasi bahasa dan... more

Esai ini menganalisis unsur-unsur distopia dalam novel 1984 karya George Orwell sebagai kritik terhadap ideologi totalitarianisme. Melalui tokoh utama Winston Smith dan elemen-elemen seperti pengawasan total, manipulasi bahasa dan informasi, serta represi terhadap kebebasan berpikir, Orwell menggambarkan bagaimana kekuasaan absolut dapat mengikis identitas dan kebebasan individu. Kajian ini menunjukkan bahwa 1984 tidak sekadar fiksi ilmiah, melainkan juga refleksi sosial-politik yang relevan terhadap isu pengawasan digital, disinformasi, dan pelanggaran hak asasi manusia di era modern. Dengan pendekatan filosofis dan literer, esai ini menyoroti pentingnya literasi kritis dan kesadaran terhadap bahaya ideologi yang mengekang kebebasan berpikir dan berbicara.

2025

This essay is an analysis for George Orwell famous book called “1984”, me and my friend analysts the distopian fiction genre through this book.

2025, Rethinking Lyric Communities

But how does lyric poetry address or even create communities — and of what kinds? This volume takes a global perspective to investigate poetic communities in dialogue with recent developments in lyric theory and concepts of community. In... more

2025, Wechselwörter. Personalpronomen in Bewegung

Marcel Beyer im Gespräch mit Sebastian Schönbeck

2025, RESEARCH JOURNAL OF ENGLISH (RJOE) Orya’s Publications

This research article explores the intricate relationship between Global Englishes and linguistic imperialism, focusing on two critical dimensions: the decolonization of English in postcolonial literatures and the evolving roles of... more

This research article explores the intricate relationship between Global Englishes and linguistic imperialism, focusing on two critical dimensions: the decolonization of English in postcolonial literatures and the evolving roles of Englishes in the 21st century. English, historically imposed as a colonial tool of domination, has undergone profound transformations as writers and speakers across the globe appropriate and reshape it to reflect their unique identities, cultures, and histories. Through the works of postcolonial authors such as Chinua Achebe, Salman Rushdie, and Arundhati Roy, this study examines how English is decolonized-infused with local idioms, rhythms, and worldviews that resist hegemonic linguistic norms. It also investigates how code-switching, hybridization, and linguistic innovation challenge the authority of "standard English." In the second part, the paper analyses the rise of Global Englishes and their role in shaping identity and enabling cultural resistance. Drawing on Kachru's three-circle model, it highlights the spread of diverse Englishes in Asia, Africa, and the diaspora, exploring how new linguistic forms empower marginalized voices in literature, music, and digital spaces. By situating English within both its oppressive and liberatory functions, this article argues for a more nuanced understanding of language as a site of conflict, creativity, and power.

2025, Constructing Otherness: Exploring Identity at the Crossroads of Borders in John Lanchester’s The Wall and Mohsin Hamid’s Exit West

This thesis delves into the nuanced exploration of the intersection between borders and identity, with a focused emphasis on the construct of Otherness in contemporary fiction. Through a comparative analysis of John Lanchester’s The Wall... more

This thesis delves into the nuanced exploration of the intersection between borders and identity, with a focused emphasis on the construct of Otherness in contemporary fiction. Through a comparative analysis of John Lanchester’s The Wall and Mohsin Hamid’s Exit West, this study seeks to unravel the intricate ways in which physical and metaphorical borders shape the construction of identity and influence the portrayal of Otherness in the characters’ narratives. The theoretical framework integrates concepts from literary studies, examining how these novels contribute to the ongoing scholarly conversation surrounding borders, identity formation, and the complex dynamics of Othering. By narrowing the focus to these specific aspects, this research aims to address a notable research gap and provide a comprehensive understanding of the contemporary human experience within the literary context. The findings promise to contribute valuable insights into the socio-political discourse surrounding borders, identity, and Otherness in contemporary literature.

2025

The past decades have witnessed remarkable advances in the historical and conceptual understanding of empire, imperialism, and colonialism. To date, these advances have left a minimal mark on the study of modern Jewish thought. Due, among... more

2025, Fabrica Litterarum Polono-Italica

La virtù sconosciuta is one of the author's most personal texts. The work, a dialogue with his deceased friend Francesco Gori Gandellini, recalls an essential fragment of the author's life and work from 1786. The text contains many... more

La virtù sconosciuta is one of the author's most personal texts. The work, a dialogue with his deceased friend Francesco Gori Gandellini, recalls an essential fragment of the author's life and work from 1786. The text contains many stories about the history of literature, Alfier's past and future, and specific fragments of his autobiography, which the author published shortly thereafter. However, the article attempts to emphasise the political significance of this work. As Giuseppe Ricuperati claims, in fact, this dialogue, along with other treatises, refers to the European Enlightenment tradition and is close to authors such as Montesquieu, Voltaire, Rousseau, Helvétius, Boulanger, Mirabeau, Diderot. The study, therefore, attempts to highlight the political level of the work by examining its various aspects, from the choice of the interlocutor, a Republican from Siena, to the points of contact of this dialogue with other political works of the Asti area. Historical and archival aspects are then examined: the work was developed at the Kehl printing house, where Alfieri published his other political texts to escape the restrictions of French censorship. Finally, the first draft of La virtù sconosciuta appears in the same formula in which the above-mentioned political works are created.

2025, Pandemonium Germanicum

O presente artigo procura investigar as semelhanças entre A vida e as opiniões do cavalheiro Tristram Shandy(1759-1767), de Laurence Sterne, e o Doutor Fausto (1947), romance do autor alemão Thomas Mann. Para... more

O presente artigo procura investigar as semelhanças entre A vida e as opiniões do cavalheiro Tristram Shandy(1759-1767), de Laurence Sterne, e o Doutor Fausto (1947), romance do autor alemão Thomas Mann. Para além da referência direta a Sterne dentro do romance de Mann e da clara semelhança quanto a comentários metaficcionais, procuramos demonstrar que há igualmente uma ressonância do Tristram Shandy na estrutura narrativa da obra de Mann. Isso se manifesta em dois sentidos: primeiramente, pelo tratamento do tempo, que se altera entre passado (tempo da narrativa) e presente (tempo da narração, no qual os narradores fazem seus comentários metaficcionais). Ademais, ambas as obras trazem uma representação complexa e multifacetada dos fatos narrados, além de uma discussão sobre o gênero romance dentro das próprias obras. Por fim, procuramos apontar como tais mecanismos têm na obra de Mann uma função primordialmente política, uma vez que os artifícios narrativos utilizados são a base da reflexão de Serenus Zeitblom sobre a ascensão dos ideais fascistas na Alemanha.

2025, Magma

O presente artigo se propõe a realizar uma análise de A montanha mágica (1924) e Doutor Fausto (1947), ambos romances do autor alemão Thomas Mann. A análise gira em torno da diferença no processo formativo (Bildung) das personagens... more

O presente artigo se propõe a realizar uma análise de A montanha mágica (1924) e Doutor Fausto (1947), ambos romances do autor alemão Thomas Mann. A análise gira em torno da diferença no processo formativo (Bildung) das personagens centrais das duas obras, Hans Castorp e Adrian Leverkühn, e foca justamente naquilo que elas têm de oposto e que as engloba em diferentes categorias de romance: enquanto A montanha mágica se encaixa em um romance de formação (Bildungsroman), o Doutor Fausto pertence à categoria de um romance fáustico e pode ser visto igualmente como um anti-Bildungsroman. Assim, enquanto na Montanha mágica o leitor testemunha um verdadeiro processo de amadurecimento e formação, no Doutor Fausto podese observar justamente o contrário através da realização do pacto fáustico e da ruptura (Durchbruch), impossibilitando a Adrian um processo formativo calcado em erros e acertos. Desse modo, propomos demonstrar não somente o que as trajetórias das duas personagens têm de distinto, mas também como o pacto realizado por Adrian é construído com várias camadas de sentido e articula temas como teologia, música e política. Partindo disso, analisamos como a ruptura de Adrian pode simbolizar também a própria ruptura que a Alemanha teve em sua história quando enveredou pelo caminho do nacional-socialismo (ele mesmo um pacto fáustico com consequências drásticas para o país).

2025, Ärztliche Imaginationen des Lebensendes. Hrsg. von Katharina Fürholzer, Marcella Fassio und Johann-Christian Pöder

Geschichten werden erzählt, um etwas zu vertreiben. Im harmlosesten, aber nicht unwichtigsten Fall: die Zeit. Sonst und schwerwiegend: die Furcht. -Hans Blumenberg: Arbeit am Mythos (1979) 1 1. Vorbemerkung Der 1947 geborene Schweizer... more

Geschichten werden erzählt, um etwas zu vertreiben. Im harmlosesten, aber nicht unwichtigsten Fall: die Zeit. Sonst und schwerwiegend: die Furcht. -Hans Blumenberg: Arbeit am Mythos (1979) 1 1. Vorbemerkung Der 1947 geborene Schweizer Schriftsteller Urs Faes verbrachte seit 2007 auf Einladung des Chefarztes für Onkologie »während anderthalb Jahren immer wieder einzelne Tage« als Beobachter im Institut für Radioonkologie des Kantonsspitals Aarau, »[m]it weissem Kittel eingekleidet und ohne Auflagen und Einschränkungen. Ich konnte bei bestimmten Patienten, die um ihr Einverständnis gefragt worden waren, bei den Eintritts-und Konsultationsgesprächen dabei sein, auch bei den Ärzterapporten. Meine Beobachtungen habe ich in Berichten festgehalten und an Fortbildungsnachmittagen vorgelegt.« 2 1

2025, Edith Wharton Review

This article argues that in Edith Wharton's The Age of Innocence Newland Archer is stabilized in his marriage with May Welland through his passionate fantasies about her cousin, Ellen Olenska, and that this corresponds to a courtly love... more

This article argues that in Edith Wharton's The Age of Innocence Newland Archer is stabilized in his marriage with May Welland through his passionate fantasies about her cousin, Ellen Olenska, and that this corresponds to a courtly love structure as it has been described by Jacques Lacan in The Ethics of Psychoanalysis. Accordingly, Newland Archer's passion is determined by the extent to which the object of his passion, Ellen, is prohibited from him. Ellen is thus in the position of being the Lady for Newland's quest. In accordance with the courtly love structure, she can only function in this position insofar as she remains unreachable for him so that the greatest threat to Newland's passion would be the attainment of his desire. Incapable as he is of directing his affective investment to May, his investment in Ellen-as an unattainable object serves to stabilize his relationship to May, though at the cost of his capacity to enjoy that marriage. Ultimately, therefore, Newland's actions show that his priority is to sustain his passion for Ellen, rather than to have a relationship with her. [see full paper at https://www.jlarios.com/Docs/EWR_41_1_01_Larios.pdf]

2025

Résumé La corruption et le développement sont liés de par leurs manifestions. La corruption humaine est la plus grande manifestation du consumérisme, c’est-à-dire l’idolâtrie de la consommation. Le corrompu consomme le développement,... more

Résumé
La corruption et le développement sont liés de par leurs
manifestions. La corruption humaine est la plus grande manifestation du
consumérisme, c’est-à-dire l’idolâtrie de la consommation. Le corrompu
consomme le développement, parce qu’il ne voit le développement que
sous l’angle des grandes villas, des grosses voitures, des immeubles, des
champagnes, etc. Il mène une vie de spectacle basée sur la consommation
du développement. Alors que le développement est la signification
première de la production, de la contribution et de la création. Se
développer, c’est être capable de créer, de construire, d’innover. Ainsi,
celui qui a choisi de consommer le développement, est en toute évidence,
un corrompu. Il déduit en lui, l’identité de l’homme. Toute son attention
est fixée sur des villas, des immeubles, des voitures déjà faites. Puisque
l’identité de l’homme lui demande de ne consommer que pour être
debout en vue de se développer par son aptitude à la production ; le
constructeur est préoccupé par l’œuvre qui l’attend. Décorrompre donc,
c’est sortir du consumérisme pour embrasser le productivisme qui est
l’un des objectifs essentiels du développement. En ce sens, cet article vise
à démontrer que le productivisme doit être une idéologie sur laquelle le
Camerounais sérieux devrait se fonder pour se mettre en quête effective
du développement ; car la créativité est l’une des caractéristiques
fondamentales du véritable développement humain au Cameroun.

2025, Teología y cultura

In this paper the author analyzes two early texts by Emmanuel Levinas presenting his own hypothesis which consists in postulating the figure of Peeperkorn —from Thomas Mann’s The Magic Mountain— as a possible inspiration for the... more

2025, Deuil d’une femme d’une nation dans Le Blanc de l’Algérie d’Assia Djebar

Le climat de l’Algérie des années quatre-vingt-dix était chaotique sur la scène politique, sociale et littéraire. L’extrémisme semait la terreur, le pays soudainement baigné dans le sang. Une violence sans précédent, où une seule question... more

Le climat de l’Algérie des années quatre-vingt-dix était chaotique sur la scène politique,
sociale et littéraire. L’extrémisme semait la terreur, le pays soudainement baigné dans le sang.
Une violence sans précédent, où une seule question résonnait : qui tue qui ?
Comment expliquer ce drame, lui donner un sens ? Cette longue nuit qui ne veut pas voir le
jour. Le bilan était lourd, la première cible était des intellectuels algériens, qu’ils soient,
journalistes, instituteurs, acteurs, chanteurs ou écrivains. Leur mort a fait couler de l’encre, ils
ne peuvent se taire, des auteurs comme Rachid Boujedra, Yasmina Khadra ou encore Tahar
Djaout-lui-même assassiné durant ces années de braise étaient pris par l’urgence de l’écriture,
du dire. Dans notre travail, nous nous intéresserons à la production féminine, on a choisi Assia
Djebar, elle était militante durant la guerre de libération, elle n’a pas prédit dans ses Alouettes
naïves, un tel sort pour un jeune pays qui vient juste d’avoir son indépendance.
Son oeuvre Le Blanc de l’Algérie paru aux éditions Albin Michel en 1995, date qui coïncide
avec ce bouleversement social. Le blanc couleur de bonheur, mais aussi de malheur, de deuil.
Une oeuvre qui marque un arrêt, dans l’histoire où la trajectoire de l’Algérie à dévier, a été
détournée vers l’inconnu, le blanc couleur de l’oubli de l’amnésie.

2025, Por el ancho mar… Estudios sobre literaturas de expresión francesa / Sur la vaste mer… Études sur des littératures d’expression française

Dans son essai Mélancolie de gauche (2016), l’historien Enzo Traverso relie les conséquences politiques, philosophiques et esthétiques de l’effondrement du bloc soviétique à un deuil de la révolution qui n’empêche pas la persistance d’un... more

Dans son essai Mélancolie de gauche (2016), l’historien Enzo Traverso relie les conséquences politiques, philosophiques et esthétiques de l’effondrement du bloc soviétique à un deuil de la révolution qui n’empêche pas la persistance d’un imaginaire de la subversion. Selon des dominantes différentes, cette « mélancolie de gauche » s’avère d’une actualité singulière dans les littératures contemporaines de langue française. Pour le montrer, cet article compare les espaces littéraires français et francophones en fonction de leurs rapports à l’engagement. Il se fonde notamment sur des entretiens réalisés avec des écrivain·es français·es à l’Université Paris-Sorbonne entre 2014 et 2016, ainsi qu’avec un groupe d’écrivain·es marocain·es invité·es à l’Université Paris-Nanterre en novembre 2019 -- et sur l'œuvre du jeune romancier congolais Sinzo Aanza.

2025, Spirale: Arts• Lettres• Sciences humaines

2025

The questioning of the distorted territories present between man and woman is not an unapproached concept. A few old age writers such as Edith Wharton and John Steinbeck tackle these subjects in their heavily discussed works The Age of... more

The questioning of the distorted territories present between man and woman is not an unapproached concept. A few old age writers such as Edith Wharton and John Steinbeck tackle these subjects in their heavily discussed works The Age of Innocence and "The Chrysanthemums." Wharton constructs a seamless recreation of high-end 1870s New York in The Age of Innocence, approaching patriarchy as a relentless integration of superiority present in the smallest details of conversation; following Wharton's own political views regarding sexism. Wharton delves into her interpretation of patriarchy, and delicately establishes the key flaws and fallacies that could eventually lead to its abolishment. A few decades later, John Steinbeck carries on Wharton's desire of disintegrating the authoritative regime surrounding women through his short story, "The Chrysanthemums". Through this piece, Steinbeck approaches patriarchy in a more despondent manner, choosing to depict the sorrowful mourning of 'what could be' that is borne by the women of the time, a story that literary critic and assistant professor Li Luchen faithfully describes as "designed to strike without the reader's knowledge" (1). Both Steinbeck and Wharton follow the approach of attempting to diagnose the problem at its roots; they conclude that the products of gendered spheres and territories created through long-term patriarchal reign are the weakness that permits its very own dismantling. Men and women are only different when considered anatomically. Socially however, there is a meandering dissonance following behind social interaction of these two disparate wholes. The product being a transparent wall disclosing the two from each other, forcefully delegating certain characteristics and roles unto the assigned sex. Literary critic and academic Kari Skredsvig, along with other scholars, identify this categorical designation as way of assertive assignment and restriction of personal expression in social spaces. Skredsvig defines these forceful designations to be the difference between "public" and "private" spheres. She asserts that men, through way of millennia, dominate the public sphere, and through confiscation of choice, women are assigned the private sphere. Skredvig references Simone de Beauvoir's comment, in which she states, "[Woman] is defined and differentiated with reference to man and not he with reference to her; she is the incidental, the inessential as opposed to the essential. He is the subject, he is the Absolute-she is the other" (2). By way of women being seen as patriarchally lesser, they too are, as to how a dog feels upon establishing supposed dominance N. Jernigan

2025, Les Temps qui restent, n°5, avril-juin

Étranger, qui peut savoir ce que ce mot veut dire ? Camus, Carnets, mars 1940 J'ai tenté précédemment de traiter la violente brouille de Camus et Sartre, en 1952, comme un « reste » des années 1950 -la modernité ne se sédimentant pas... more

Étranger, qui peut savoir ce que ce mot veut dire ? Camus, Carnets, mars 1940 J'ai tenté précédemment de traiter la violente brouille de Camus et Sartre, en 1952, comme un « reste » des années 1950 -la modernité ne se sédimentant pas seulement en résidus matériels toxiques, mais déposant aussi dans les esprits des scories intellectuelles qui ne le sont pas moins. Je proposais, autour de la question du communisme d'abord, qui noue la querelle, puis de la guerre d'Algérie, qui la fait plus déchirante encore, un autre mode de coexistence avec ce « reste » que celui de la répétition compulsive de l'antagonisme à laquelle nous sommes habitués : hériter du conflit sans se sentir sommé d'y prendre parti, s'autoriser à explorer les enjeux de la relation en vérité inextricable de ces deux hommes de façon à comprendre comment, à deux, ils sont le visage de leur temps -ou du moins un de ses visages -, et ainsi, peut-être, rendre cette relation plus éclairante pour notre aujourd'hui que ne l'est ce « match » dont la sempiternelle reprise conjugue les couleurs sépia de la nostalgie et la stérile culture du clash. Puisqu'il s'agit d'écrivains et donc d'écriture, il sera question ici, dans un troisième temps, d'un texte intimement lié à la fois à l'Algérie et à la relation de Sartre et Camus, L'Étranger, et de l'histoire de ses lectures jusqu'à aujourd'hui. Car L'Étranger est la matrice du rapport des deux hommes, dans ses dissonances et malentendus, et dans les proximités qui le rendent indissoluble. Remontons donc à sa sortie, en 1942, et même, en deçà, à l'année 1938, celle de la parution de La Nausée. Camus et Sartre, avant leur rencontre effective, en juin 1943, à la générale des Mouches, s'étaient connus par leurs écrits, et entre-commentés. En octobre 1938, depuis l'autre rive de la Méditerranée -il ne quitte l'Algérie qu'en 1941 -Camus publie un compte-rendu de La Nausée dans Alger républicain 1 ; quant à Sartre, en février 1943, il donne aux Cahiers du Sud un long article sur L'Étranger 2 .

2025

La rencontre des temps, des mémoires, individuelles et collectives, traverse l'oeuvre de Resnais, bien que de différentes manières en fonction notamment des scénaristes avec qui il a travaillé. Les récits et les textes ont donc une... more

La rencontre des temps, des mémoires, individuelles et collectives, traverse l'oeuvre de Resnais, bien que de différentes manières en fonction notamment des scénaristes avec qui il a travaillé. Les récits et les textes ont donc une importance substantielle pour le traitement de la mémoire, du souvenir, de l'histoire. Mais le montage et la structure de réalisation de Resnais donnent une dimension plastique nouvelle à cette approche de la mémoire. Les choix des alternances d'images, du noir et blanc et de la couleur par exemple pour Nuit et Brouillard, des retours en arrière intégrés au présent même dans Hiroshima mon amour, l'éclosion d'images mentales et des réminiscences dans Je t'aime, Je t'aime etc… mettent en relief la forme complexe de la mémoire qui oscille entre souvenir, occultation, déni, obstruction, et anticipation.

2025, Quaderni Vergeriani

Un'interessante intervista a Lajos Zilahy da parte di István Benedek, pubblicata nel 1959 su Új Látóhatár e ora disponibile in traduzione italiana.

2025, Cahiers d’ethnomusicologie, 14 | 2001, 39-60. Cahiers d'ethnomusicologie Anciennement Cahiers de musiques traditionnelles

Les diverses modalités du geste sont passées ici en revue dans le cadre des cultures de l’Asie intérieure : la posture ou position.. De ce survol se dessinent quelques lignes de partage : au niveau conceptuel, entre instruments... more

Les diverses modalités du geste sont passées ici en revue dans le cadre des cultures de l’Asie intérieure : la posture ou position.. De ce survol se dessinent quelques lignes de partage : au niveau conceptuel, entre instruments hétérogènes et homogènes, entre temps lisse et temps strié, entre esthétique de l’asymétrie et de la symétrie, ainsi qu’une esquisse de caté gorisation : geste qui affecte le timbres, qui produit du flux, du rythme ou des formules rythmiques (engendrant la danse), geste expressif qui souligne la ligne mélodique, enfin geste autonome, héroïque, acrobatique du barde épique, suggestif ou simplement chorégraphique du joueur de luth. Les musiciens de tous horizons partagent les mêmes dispositions physiques et les mêmes préoccupations techniques, comme le suggèrent de fréquentes références à la culture musicale de l’Occident. Toutefois, leurs choix esthétiques se traduisent par de profonds contrastes entre, par exemple, l’image du corps durant la performance (statique ou dynamique), le contact avec l’instrument et le sens du temps qui en découle, la technique de jeu, l’agencement de l’instrument, etc. On dégage deux modèles bien distincts susceptibles d’être affinés par les données de l’anthropologie culturelle : nomade et turcique d’un côté, sédentaire et iranien de l’autre.

2025, V. Lev Kenan and P. Rosenmeyer, ed., Classics Transformed: Jewish, Israeli and Palestinian Receptions (Oxford: Oxford University Press), 113–134

It is rare that two thinkers should emerge in nearly identical historical circumstances, respond to identical cultural and political crises, and adopt analytical frameworks and terminologies that are both unprecedented and uncannily... more

It is rare that two thinkers should emerge in nearly identical historical circumstances, respond to identical cultural and political crises, and adopt analytical frameworks and terminologies that are both unprecedented and uncannily similar. But that is the case with Simone Weil (1909-43) and Rachel Bespaloff (1895-1949). Both women were French speakers of Jewish descent: Bespaloff, whose father was a well-known Zionist, was born in Bulgaria to Ukrainian parents and grew up in Geneva;1 Weil was born in Paris into an assimilated, non-observant Jewish family. Both were gifted writers, inclined towards philosophy, driven into exile by the fascists, and obliged, or so they felt, to connect Homer and the Bible to their own historical situations.

2025, L'Homme

LES SYSTÈMES de substitution de la musique à la parole -dont les plus connus sont les langages tambourinés et sifflés -ont depuis longtemps attiré l'attention des voyageurs, explorateurs, administrateurs coloniaux, missionnaires,... more

LES SYSTÈMES de substitution de la musique à la parole -dont les plus connus sont les langages tambourinés et sifflés -ont depuis longtemps attiré l'attention des voyageurs, explorateurs, administrateurs coloniaux, missionnaires, ethnologues, linguistes et ethnomusicologues. Dans cette même revue (Zemp & Kaufmann 1969), j'en ai cité les deux grandes catégories définies par Stern : le « système de réduction 1 », qui conserve une certaine ressemblance avec la langue naturelle, en premier lieu par les tons et le rythme de l'énonciation ; et « l'idéogramme lexical », qui symbolise directement un concept sans référence à la structure phonématique de la langue. D'après ce que l'on savait dans les années 1960, le premier système était surtout répandu en Afrique subsaharienne, et le second en Mélanésie. En gros, cette répartition est toujours valable. Cependant, j'ai pu démontrer depuis que les deux systèmes pouvaient coexister en Mélanésie, notamment dans les rythmes des tambours à fente chez les 'Aré'aré des Îles Salomon (Zemp 1997). Dans leur ouvrage en deux tomes sur les Speech Surrogates, Sebeok et Umiker-Sebeok (1976) réunissent soixante-quatorze articles, dont quarante-et-un entiè-

2025

Vatan çiliklerinizse, kasalarınızın ve çek deerlerinizin içindekilerse vatan, vatan, şose boylarında gebermekse açlıktan, vatan, soğukta it gibi titremek ve sıtmadan kıvranmaksa yazın, fabrikalarınızda al kanımızı içmekse vatan, vatan... more

Vatan çiliklerinizse, kasalarınızın ve çek deerlerinizin içindekilerse vatan, vatan, şose boylarında gebermekse açlıktan, vatan, soğukta it gibi titremek ve sıtmadan kıvranmaksa yazın, fabrikalarınızda al kanımızı içmekse vatan, vatan tırnaklarıysa ağalarınızın, vatan, mızraklı ilmühalse, vatan, polis copuysa, ödeneklerinizse, maaşlarınızsa vatan, vatan, Amerikan üsleri, Amerikan bombası, Amerikan donanması topuysa, vatan, kurtulmamaksa kokmuş karanlığımızdan, ben vatan hainiyim. " 2847 (28.7.1962) "… Memleketimi seviyorum: Çınarlarında kolan vurdum, hapishanelerinde yattım. Hiçbir şey gidermez iç sıkıntımı memleketimin şarkıları ve tütünü gibi. Memleketim: Bedrettin, Sinan, Yunus Emre ve Sakarya, kurşun kubbeler ve fabrika bacaları benim o kendi kendinden bile gizleyerek sarkık bıyıkları altından gülen halkımın eseridir. " 2848 (1939)