Soeharto Research Papers - Academia.edu (original) (raw)

Kompas, 12 Maret 1977 mengabarkan bahwa ruangan Monumen Nasional (Monas) yang berisi diorama kebanjiran. Akibatnya, Soeharto yang kala itu sudah menjabat sebagai presiden, gagal mengunjungi satu diorama yang dianggapnya sangat penting,... more

Kompas, 12 Maret 1977 mengabarkan bahwa ruangan Monumen Nasional (Monas) yang berisi diorama kebanjiran. Akibatnya, Soeharto yang kala itu sudah menjabat sebagai presiden, gagal mengunjungi satu diorama yang dianggapnya sangat penting, yaitu diorama Surat Perintah 11 Maret, diorama yang berkali-kali dikoreksi dan diawasi langsung olehnya sendiri. Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi "subyek" dari diorama itu sendiri masih misterius. Ia raib. Konon, ada tiga versi Supersemar, dan tidak diketahui mana yang sungguhan. Perihal di mana ia disimpan, siapa sebenarnya pembuatnya, siapa yang pernah membaca, dan seterusnya, tidak diketahui. Hanya ada berita simpang siur dan banyak versi yang beredar di masyarakat. Maka, sebagaimana Supersemar itu tak diketahui rimbanya, maka dioramanya pun sebetulnya bisa dikatakan fiksi. Beberapa versi penggambaran terjadi, dan akhirnya Kompas 19 Maret 1977 memuat berita bahwa Soeharto telah berkunjung dan akhirnya versi final diorama dikeluarkan setelah sebelumnya ia merevisi berkali-kali perihal pakaian yang dikenakan dan posisinya yang mau dihadirkan di sana. Hasil akhir yang tampil kemudian seting peristiwa berada di ruang kamar tidur. Di sana ada Soeharto terbaring sakit mengenakan pakaian tidur. Kepalanya disangga tiga bantal. Di samping ranjang duduk berderet 3 tiga Jenderal, yakni Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf yang seperti sedang berbicara pada Soeharto. Seperti seorang pahlawan yang walaupun sakit tetap taat perintah, atau tetap "mengerjakan" tugasnya, Soeharto dihadirkan sedemikian rupa dalam diorama tersebut seperti sedang "menerima" "pesan" dari Soekarno. Hingga kini kita tak pernah tahu apa isi "pesan" itu. Dan dalam diorama yang terbentuk dari kumpulan ingatan dan cerita yang diceritakan kembali, kita sampai pada beberapa pertanyaan perihal siapa-siapa yang berhak membuat adegan itu seperti itu. Siapa yang pernah melihat langsung, atau memotret adegan di kamar itu. Tiga orang jenderal itu kemudian mengatakan apa terhadap peristiwa itu, ikut kah mereka dengan penentuan gambar dalam diorama tersebut, dan mengapa Soeharto 'meributkan' pakaian dan posisinya kala itu (sebaiknya) berbaring atau berdiri. Belum lagi pertanyaan semacam, harus kah kamarnya itu kamar dengan kondisi nyata seperti pada saat kejadian, ataukah bisa dikonstruksi hanya untuk memunculkan kesan kamar tidur, dan seterusnya. Maka, sebagaimana pengisahan yang melewati berbagai zaman dan berbagai pihak, pada akhirnya kita hanya tahu "dokumentasi" dari "dokumentasi," skenario dari skenario. Pendek kata, kita penonton hanya berada di lapis terluar. Kita menjadi, 'saksi' tapi saksi semu. Membahas perkara saksi ini bisa sangat menarik. Saksi itu bisa berupa kita sekarang, atau saksi yang tergambar di dalam diorama (sosok yang ada di sana,