Reduksi Sufi antara Penyebutan Ibnu al-‘Arabiy/إبن العربي (w. 543 H) dengan Ibnu ‘Arabiy/إبن عربي (w. 638 H) ? (original) (raw)
Ja’far Assagaf
Dosen IAIN Surakarta | Pengurus Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia
Prolog
Diskusi tentang Ibnu al-’Arabiy dengan Ibnu ‘Arabi ternyata menyentuh sampai pada perbedaan dalam penulisan. Dan ini nyata dalam dunia kuliah, medsos dan sebagainya. Padahal, tergantung dari arah mana kita melihatnya.
Reduksi Sufi dalam Penyebutan Ibnu al-‘Arabiy dengan Ibnu ‘Arabiy
Telah popular panggilan untuk kedua tokoh, pertama, Ibnu al-‘Arabiy ..yang sebenarnya bernama Muhammad bin Abdullah al-Andalusiy al-Isybiliy al-Malikiy (w. 543 H) pengarang kitab tafsir Ahkam al-Qur’an dan kitab ‘Aridhah al-Ahwadzi sebagai syarh dari kitab Sunan al-Turmudzi. Sementara tokoh kedua Ibnu ‘Arabiy yang bernama Muhammad bin Ali al-Hatimiy al-Thaiy al-Andalusiy (w. 638 H) pengarang kitab al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam.
Kedua tokoh tersebut memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan kedua tokoh tersebut yaitu: keduanya berasal dari Andalusia (wilayah Spanyol, Portugal dan sebagian Prancis Selatan di masa kini). Keduanya bermazhab Maliki, meski tokoh yang disebut kedua juga diklaim bermazhab Syi’ah oleh tokoh Syi’ah modern bernama Muhsin al-Amin al-Amiliy (w. 1371 H/1952 M) dalam karyanya A’yan al-Syi’ah.
Mencari persamaan secara persis dari kedua orang tidaklah mudah, yang kembar saja terkadang berbeda setidaknya pada sifat dan kecenderungan, apalagi pada dua orang yang memang berbeda asal-usulnya. Perbedaan antara Ibnu al-‘Arabiy dengan Ibnu ‘Arabiy tentu sangat banyak di antaranya: Ibnu al-‘Arabiy dikenal dengan ahli tafsir, hadis dan qadhi sementara dengan Ibnu ‘Arabiy lebih dikenal sebagai tokoh sufi yang oleh sebagian orang dinilai kontroversial melalui teorinya Wahdah al-Wujud.
Kedua tokoh tersebut hidup di abad yang berbeda, sang qadhi hidup di Abad 6 H/12 M sementara sang sufi hidup di abad 7 H/13 M
Selain itu, dan ini yang akan menjadi fokus tulisan kecil ini, yaitu cara penulisan kedua tokoh dimaksud. Banyak ulama dari dahulu sampai sekarang termasuk di dunia internet (misalnya, https://islamqa.info/ar/answers/7691/%D9%85%D9%86-%D9%87%D9%88-%D8%A7%D8%A8%D9%86-%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A ), penulisan kedua tokoh dibedakan dengan huruf alif dan lam (ال ) li ta’rif. Untuk pakar tafsir disebut Ibnu al-‘Arabiy dengan penulisan alif dan lam, sementara untuk tokoh sufi ditulis Ibnu ‘Arabiy tanpa menggunakan alif dan lam.
Sekilas hal tersebut terlihat biasa saja, namun bagi penulis melalui penelusuran indeks kitab di masa-masa awal setelah kedua tokoh tersebut, nampak pembedaan tersebut memiliki muatan ideologi dan tidak sekadar dibuat untuk membedakan keduanya.
Untuk menelusuri hal ini tentu kita harus kembali pada kitab-kitab yang membicarakan kedua tokoh tersebut yang masanya masih dekat dengan keduanya. Bilamana kita mengambil kitab yang zamannya sudah jauh masanya dari kedua tokoh tersebut, dipastikan kita tak mungkin lepas dari ‘doktrin’ yang telah dibuat untuk membedakan kedua tokoh dimaksud dari aspek penulisan.
Al-Suyuthi ulama besar abad 10 H (w. 911 H) tak lepas dari doktrin tersebut dalam kitabnya Thabaqah al-Huffadz menyebut Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dengan huruf alif dan lam, sementara sang sufi disebut Ibnu ‘Arabiy tanpa huruf alif dan lam. Di kitabnya yang lain seperti Husn al-Muhadharah dan Thabaqat al-Mufassirin, bahkan al-Suyuthiy secara khusus menulis karya membela Ibn ‘Arabiy tanpa menggunakan huruf alif dan lam (ال) di judul karyanya itu.
Kitab yang dianggap representatif untuk hal tersebut yaitu kitab yang beredar di abad 7 dan 8 H. Kalau menukil kitab yang beredar di abad 6 H dapat dipastikan biografi sang tokoh sufi Ibnu ‘Arabiy tidak ada, bukan saja karena tokoh ini masuk di abad 7 H tetapi kita tidak akan dapat membandingkan rujukan untuk kedua tokoh tersebut guna memperoleh kitab mana saja yang menyebutkan kedua tokoh ; sang qadhi maupun sang sufi dengan sebutan dan panggilan yang sama yaitu Ibnu al-‘Arabiy dengan menggunakan huruf alif dan lam untuk keduanya, sekaligus menemukan kitab yang membedakan penyebutan kedua tokoh tersebut yaitu Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dan Ibnu ‘Arabiy untuk sang sufi.
Kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubiy (w. 671 H), Wafayat al-A’yan karya Ibn Khallikan (w. 681 H), al-Zahabiy (w. 748 H) dalam karya-karyanya seperti Tarikh al-Islam, Siyar A’lam al-Nubala, Mizan al-I’tidal dan Tadzkirah al-Huffadz, demikian pula kitab al-Wafiy fi al-Wafayat karya al-Shafadiy (w. 764 H), Tafsir al-Qur’an al-Adzim dan al-Bidayah wa al-Nihayah keduanya karya Ibn Katsir (w. 774 H) dapat dijadikan rujukan untuk melihat persamaan dan perbedaan dalam penyebutan kedua tokoh yang sedang dibahas.
Sebagai pelengkap, kitab Lisan al-Mizan, Fath al-Bariy dan al-Durar al-Kaminah, ketiga karya Ibn Hajar (w. 852 H) ini, dapat disertakan.
Dengan melalui komparatif isi kitab dari satu kitab tertentu maupun karya masing-masing pengarang di atas dapat kita temukan bahwa penyebutan Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dan Ibnu ‘Arabiy untuk sang sufi digunakan secara konsisten oleh Ibn Katsir. Sementara al-Zahabiy dalam semua karyanya di atas menyebut Ibnu al-‘Arabiy untuk kedua tokoh dimaksud baik yang qadhi maupun yang sufi.
Sementara Ibn Khallikan dalam karyanya yang lebih awal, walau konsisten tapi tidak banyak ia sebutkan kedua tokoh tersebut dengan Ibu al-‘Arabiy. Adapun al-Shafadiy nampak tidak memiliki konsisten dalam penyebutan antara Ibnu al-‘Arabiy, karena terkadang ia menyebutkan kata tersebut untuk kedua tokoh sekaligus; sang qadhi maupun sang sufi, sementara untuk kata Ibnu ‘Arabiy, al-Shafadiy hanya menyebut untuk sang sufi saja.
Al-Qurthubiy dalam tafsirnya menyebut semua ungkapan Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi, memang dalam menafsirkan QS. Hud; 61 di sana terdapat kata Ibnu ‘Arabiy tanpa menyertakan huruf alif dan lam. Tentu kita dapat berasumsi al-Qurthuby menyebut itu untuk sang sufi dan bukan untuk sang qadhi.
Kalau begitu, penulisan tersebut hanya ada salah satu dari tiga kemungkinan berikut:
(1) kesalahan dalam cetak atau terdapat manuskrip yang berbeda;
(2) al-Qurthubiy memang sengaja menyebut Ibnu ‘Arabiy tanpa hutuf alif dan lam tapi kata tersebut juga disemayatkan pada sang qadhi yang kebanyakan menggunakan huruf alif dan lam (baca: Ibnu al-‘Arabiy) dan bukan pada sang sufi untuk menunjukkan bahwa kedua penyebutan itu (Ibnu al- dengan Ibnu tanpa al-) boleh untuk kedua tokoh tersebut tanpa ada kekhususan;
(3) al-Qurthubiy memang menyebut kata Ibnu ‘Arabiy untuk sang sufi saat menafsirkan QS: Hud; 61, namun ini nampaknya tidak begitu kuat argumentasinya mengingat al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya tersebut menyebut Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dan tak terdapat kata Ibn ‘Arabiy untuk sang sufi.
Selain al-Qurthubiy, Ibn Hajar terlihat konsisten. Dalam karyanya Lisan al-Mizan menyebut Ibnu al-‘Arabiy untuk keduanya. Secara spesifik dalam Fath al-Bariy nampak Ibn Hajar berulang kali menyebutkan Ibnu al-‘Arabiy dari al-Malikiyyah (min al-malikiyyah ) untuk sang qadhi.
Sementara dalam al-Durar al-Kaminah berulang kali Ibn Hajar menyebutkan Ibnu al-‘Arabiy untuk sang sufi, meski saat menceriterakan biografi Abd Aziz bin Abi Faris al-Hasaniy yang berumur hampir 100 tahun (607-703 H), terdapat kata Ibnu ‘Arabiy tanpa huruf alif dan lam untuk sang sufi. Tetapi penulis dapat pastikan itu merupakan kesalahan penulisan karena masih dalam biografi yang sama disebutkan bahwa Abd Aziz meriwayatkan dari Muhyiddin Ibn al-‘Arabiy dengan menggunakan huruf alif dan lam untuk sang sufi. Kalau tidak, maka kita dapat menduga kuat bahwa terjadi satu kali penulisan Ibnu ‘Arabiy (tanpa al-) dalam al-Durar al-Kaminah untuk sang sufi memiliki alasan sebagaimana pada al-Qurthubiy yang penulis sebut di atas.
Dari sini kita bertanya-tanya, sejak kapan atau paling tidak siapa yang mempopulerkan perbedaan dan mengkhususkan penulisan Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dengan Ibnu ‘Arabiy untuk sang sufi?. Bila ada yang menyatakan penulisan Ibn al-‘Arabiy dengan Ibnu ‘Arabiy agar dapat dibedakan bahwa yang menggunakan huruf alif dan lam (al-‘Arabiy) dengan tanpa kedua huruf ini (‘Arabiy) sekedar untuk membedakan yang satu sang qadhi sementara lainnya sang sufi.
Bagi penulis argumentasi tersebut tidak sesederhana itu karena: pertama, dengan menggunakan huruf alif dan lam maka secara umum kata benda menjadi ma’rifah alias dikenal. Sementara tanpa kedua huruf ini kata benda menjadi nakirah alias terlalu umum/ tidak dikenal.
Di sini ada muatan sesungguhnya terkait dengan ideologi sekaligus pengingkaran terhadap sang sufi Ibnu al-‘Arabiy. Meski sebenarnya penyebutan tanpa huruf alif dan lam maupun menggunakan kedua huruf itu untuk sang qadhi maupun sang sufi adalah sah-sah saja dalam tinjauan bahasa Arab;
kedua, pembedaan tersebut ternyata tidak terjadi pada tokoh Abu Ja’far al-Thabari (224-310 H) yang Sunni dengan Abu Ja’far al-Thabari (226-310 H) yang Syi’ah. Begitu pula pada al-Bukhari (256 H), dan al-Bukhariy al-Kalabadziy (w. 380 H) keduanya ahli hadis dengan Ahmad al-‘Uqailiy al-Bukhariy (w. 657 H). Perbedaan dalam penyebutan Ibn al-Atsir terhadap tiga bersaudara (606 H, 630 H, dan 637 H) juga tidak dilakukan.
Analisa di atas menjadikan penulis menduga kuat bahwa Ibn Taimiyyah (w. 728 H) merupakan orang yang membedakan penyebutan Ibnu al-‘Arabiy dengan Ibnu ‘Arabiy, karena Ibn Taimiyyah cenderung menolak tentang sufi. Perbedaan ideologi mengenai sufi menggiring Ibn Taimiyyah membedakan kedua Ibnu al-‘Arabiy tersebut.
Argumentasi ini dibangun karena hal-hal berikut:
(1) Dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyyah berulang kali menyebut Ibnu ‘Arabiy khusus untuk sang sufi sembari memberi kritikan kepadanya;
(2) Ibn Hajar dalam al-Durar al-Kaminah berulang kali menyebutkan kritikan Ibn Taimiyyah kepada Muhyiddin Ibnu al-‘Arabiy saat membicarakan biografi Ibnu Tamiyyah maupun biografi orang-orang yang pernah bertemu atau berguru pada Ibnu al-‘Arabiy sang sufi. Kitab al-Durar dimaksud secara spesifik memuat sejarah ulama/orang-orang besar abad 8 H;
(3) al-Zahabi salah seorang murid Ibn Taimiyyah secara konsisten menggunakan kata Ibnu al-’Arabiy untuk sang qadhi dan sang sufi secara bersama-sama, meski al-Zahabiy pun tidak terlalu menyukai bahkan mencela Ibn al-‘Arabiy yang sufi seperti keterangan al-Zahabiy dalam kitab _Siyar-_nya, maupun komentar Abd Fattah Abu Quddah (1336 H/1917 M-1417 H/1997 M ) dalam salah satu ta’liq dan _tahqiq_nya.
Tulisan di atas memberikan konklusi bahwa penyebutan Ibnu al-‘Arabiy untuk sang qadhi dan Ibnu ‘Arabi (tanpa alif dan lam ) untuk sang sufi diduga kuat (zhann) disebabkan karena perbedaan ideologi tentang tasauf atau kaum sufi dan itu nampaknya dipopulerkan atau bahkan dimulai oleh Ibn Taimiyyah.
Epilog
Sebuah nama, istilah, atau gelar yang disemayatkan pada seseorang tak jarang disebabkan perbedaan ideologi, kepercayaan, politik, aliran dan sebagainya. Dalam kajian studi hadis bahkan terdapat perawi yang disebut dengan konotasi negatif secara ideologi tetapi hal itu tidak ada padanya.
Kartasura, 29 Syawwal 1440 H/ 03 Juli 2019 M