Ambang Batas Pencalonan Presiden Dinilai Tidak Relevan (original) (raw)
Jakarta - Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai, persyaratan ambang batas pencalonan preisden dan wakil presiden tidak relevan lagi dalam pemilu serentak 2019. Hal tersebut, merupakan konsekuensi logis dari pemilu presiden (Pilpres) yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilu legislatif (Pileg) sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu menilai konsekuensi logis dari Pilpres yang dilakukan bersamaan dengan Pileg adalah tidak relevannya ambang batas pencalonan presiden," ujar Titi di Jakarta, Rabu (20/7).
Titi menegaskan, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah memberikan hak konstitusional bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres. Untuk pemilu 2019, kata dia, tidak boleh ada perlakuan diskrimanatif antara partai lama dan partai baru untuk mengajukan capres dan cawapres.
"Logika yang sama diterapkan pada ambang batas pencalonan presiden. Jadi tidak perlu dibeda-bedakan untuk mencalonkan presiden. Konsekuensi logis pemilu serentak, membuat ambang batas pencalonan presiden tidak relevan," jelasnya.
Sementara untuk partai-partai baru, kata Titi, Sekretariat Bersama untuk Kodifikasi UU Pemilu mengusulkan agar partai baru yang menjadi peserta pemilu nasional harus berkompetisi terlebih dahulu di pemilu lokal atau daerah. Hal ini diusulkan dengan pertimbangan, pemilu serentak nasional dipisahkan dari pemilu serentak daerah.
"Jika partai baru bisa ikut di pemilu nasional jika sudah memperoleh sekurang-kurangnya 50 persen kursi DPRD di provinsi Indonesia. Artinya, sekurang-kurangnya mempunya kursi DPRD di 17 provinsi di Indonesia. Atau 50 persen kursi DPRD kabupaten atau kota yang ada di Indonesia," terangnya.
Karena pemilu serentak 2019 belum ada pemilu lokal atau daerah, lanjut Titi, diusulkan partai baru yang menjadi peserta pemilu harus mempunyai dukungan langsung dari pemilih dengan jumlah sekurang-kurangnya senilai dengan kursi terendah di suatu dapil. Titi mencontohkan, untuk menjadi peserta pemilu 2019, partai baru, misalnya, di dapil Banten III harus bisa membuktikan dukungan langsung yang jumlah sama dengan kursi terendal di dapil Banten III yang mempunyai 10 kursi.
"Di Banten III kana da 10 kursi, maka parpol baru harus membuktikan dukungan langsung dari pemilih sekurang-kurangnya senilai yang ke-10 di dapil Banten III. Mekanisme seperti mencari dukungan untuk calon perseorangan, tetapi untuk parpol baru cukup per dapil. Jika mendapat jumlah tersebut di sebagian besar daerah di Indonesia, maka parpol baru layak ikut pemilu 2019," kata Titi.
Terkait ambang batas pencalonan presiden, Peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris, menilai, sudah tidak relevan lagi sebagai konsekuensi logis dari pemilu serentak di mana Pilpres dilakukan bersaman dengan Pileg.
"Pemilu serentak salah tujuannya meniadakan ambang batas pencalonan presiden. Mengapa? Sebab ambang pencalonan presiden adalah anomali atau penyimpangan dalam skema sistem presidensiil," kata Syamsuddin.
proporsionaldistrikLIPISistem Pemilupemilu serentak 2019ParpolSyamsuddin Haris