Polisi Jujur Bernama Hoegeng, Antisuap dan Obsesi Inginkan Polri Bersih (original) (raw)
asa
KOMPAS.com - "Hanya ada tiga polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."
Pernyataan populer ini disampaikan mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, saat mengisi diskusi "Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindonesiaan" di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis 31 Agustus 2006.
Gurauan Gus Dur itu cukup familiar di sejumlah kalangan. Lewat gurauannya, Gus Dur ingin menunjukkan bahwa sosok Hoegeng Iman Santoso yang pernah menjabat sebagai Kapolri kelima itu adalah sosok polisi yang ideal.
Hoegeng dikenal sebagai sosok yang jujur dan berani. Dengan jabatannya itu, tentu saja dia mudah mendapat kemewahan, namun Hoegeng justru menepi dalam kesederhanaan.
Ia sama sekali tidak memanfaatkan jabatan tingginya sebagai seorang Kapolri ataupun jabatan lainnya untuk kepentingan pribadi. Hoegeng pun dikenal sebagai pejabat bersih, antikorupsi.
Baca juga: Mengenang Ketika Soekarno Lantang Berkata ke AS: Go to Hell with Your Aid!
Faktor ayah
Dalam Harian Kompas edisi 1 Juli 2004, Asvi Warman Adam, sejarawan sekaligus peneliti LIPI menyebutkan, barangkali yang membuat Hoegeng menjadi tokoh bersih karena pendirian yang ditanamkan oleh sang ayah, Sukario Hatmodjo.
"Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan," begitu nasihat ayah Hoegeng.
Sukario Hatmodjo yang bekerja sebagai birokrat Belanda tidak sekadar memberi nasihat, tetapi juga keteladan. Bahkan sampai akhir hayatnya, sang ayah tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi karena kejujurannya itu.
Dituliskan Asvi Warman, ayah Hoegeng pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan. Bertiga dengan Ating Natadikusumah, kepala polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan, mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur, professional dan memberikan keadilan.
Baca juga: Di Mana Bung Karno Saat Peristiwa G30S Terjadi?
Karena kekagumannya pada Ating yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman Hoegeng kecil pun punya keinginan menjadi polisi.
Keinginan itu pun tercapai. Setelah lulus PTIK tahun 1952, Hoegeng ditempatkan menjadi polisi di Jawa Timur. Kemudian berlanjut ke tugas daerah lainnya dengan jabatan yang terus menanjak.
Tercatat, sebelum menjadi Kapolri Hoegeng menempati jabatan penting seperti Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara tahun 1960 atau Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966.
Meski kariernya merangkak naik namun prinsip kejujuran dan keberanian seorang Hoegeng tidak berubah.