Wabah Malaria di Pahuwato, Tambang Emas dan Hutan Terbabat Penyebabnya? (original) (raw)
- Warga Pahuwato, dan beberapa daerah di Gorontalo, dalam beberapa tahun ini banyak menderita penyakit malaria. Lonjakan kasus terjadi paling banyak yang berada di area pertambangan emas. Pemerintah Gorontalo tetapkan sebagai kejadian luar biasa.
- Tambang-tambang emas tradisional maupun skala besar ada di Pahuwato. Lubang-lubang bekas tambang emas pun dibiarkan menganga begitu saja. Bukan itu saja, aliran sungai pun jadi sasaran tambang emas ini.
- Dulu, pohon-pohon hutan di sekitar pertambangan emas di Gunung Pani, Ilota, dan Baginite, masih rapat. Lama kelamaan, saat lokasi tambang mulai meluas, pohon-pohon mulai ditebang.
- Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menerangkan, kasus malaria terjadi biasa karena pembukaan lahan dan praktik pertambangan. Misal, katanya, tambang meninggalkan kubangan yang memicu banyak plasmodium atau parasite pembawa malaria berkembangbiak dengan cepat.
Langkah Lukman Ahmad mulai tidak beraturan saat melewati beberapa anakan sungai di . Warga Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pahuwato, Gorontalo ini sempoyongan. Wajah pucat.
“Berdiri boleh, jalan apalagi, tapi pusing,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.
Lukman tak sendirian sore itu. Dia bersama adiknya. Mereka baru balik dari pertambangan emas di kawasan Gunung Pani. Seharusnya dua minggu berada di tambang, keburu putar arah karena Lukman jatuh sakit.
“Saya putuskan pulang cepat. Takut kenapa-kenapa di atas (tambang),” katanya.
Awalnya, dia hanya kepala biasa, lambat laun tubuh mulai memberi respon berbeda, mulai panas dingin.
“Sakit kepala, demam, tubuh panas dingin, dan mual-mual. Saya heran ini sakit kepala rasanya berbeda, saya dibikin hilang nafsu makan juga,” katanya.
Selama perjalanan menuju rumah, dia seolah linglung. Pikiran ke mana-mana, sesekali hilang fokus. Untung ada adiknya menemati.
Lukman lalu berobat ke mantri kampung. “Mantri bilang saya gejala malaria. Sudah 25 tahun saya menambang, baru kali ini saya kena malaria.”
Kala itu, medio September 2023. Dia disuruh istirahat selama sebulan untuk tidak menambang. Belum cukup sebulan, dia memaksakan diri berangkat menambang.
“Saya ini hidup dari tambang. Kalau tidak menambang anak dan istri mau makan apa?”
Berbekal resep obat dokter, dia berangkat lagi ke pertambangan emas di Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa.
Sejak kecil, Lukman sudah ikut bapaknya mencari emas di tanah kelahirannya di Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara. Pada 1986, dia pindah ke Pohuwato ikut orang tua, lalu menetap sampai menikah dan punya anak.
Jauh sebelum Lukman pindah ke Pohuwato, daerah yang dijuluki “_Panua_” atau maleo ini sudah lama dijajaki sumber daya alamnya oleh Belanda. Kandungan emas berlimpah membuat banyak orang mengunjungi tempat ini. Salah satunya perusahaan Exploration Paguat Syndicate, turut mengekploitasi kandungan mineral logam mulia zaman Belanda di Gorontalo.
Selain perusahaan, sejak lama masyarakat Pohuwato sudah menambang emas di Gunung Pani dan sekitar dengan pengolahan skala kecil dan tradisional.
“Penambangan alluvial yang mengandung emas di Marisa mulai sekitar 1910. Catatan kandungan emas di Marisa diawali dari serangkaian penelitian ahli pertambangan bangsa Belanda,” tulis Aripin Bakari dalam skripsi berjudul “Dinamika Perusahaan Pertambangan Emas di Marisa 1994-2010.”
Dia mencatat, rentang 1950-an pertambangan di Pohuwato sudah dilirik berbagai investor lokal dan perusahaan asing. Pada pertengahan 1970-an, Gunung Pani jadi lokus potensial dan target eksplorasi.
“Eksplorasi melibatkan beberapa perusahaan besar mancanegara, seperti Placer Dome, Cyprus-Amax, BHP-Utah, Tropic Endeavour dan Newcrest dan BUMN Aneka Tambang,” kata Aripin.
Belum lama Lukman berada di lokasi tambang, jatuh sakit lagi. Orang-orang langsung membawanya turun. Dia kena malaria lagi. Setelah berobat ke puskesmas dan merasa pulih, dia ikut lagi menambang bersamaan rombongan penambang dari desanya.
Desakan ekonomi membuat Lukman menambang meskipun tahu risiko yang akan dihadapinya berulang kali, kena malaria.
Metode menambang Lukman sangat sederhana. Dia masih dengan alat tradisional tanpa menggunakan alat berat, yang saat ini marak di sekitar bantaran Sungai Botudulanga dan aliran sungai lain yang jadi pertambangan.
Bekas galian tambang di Pahuwato yang dibiarkan begitu saja. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Dia menambang di pinggiran sungai. Caranya, membuat pagar dari kayu dan bambu ukuran 1-2 meter, lalu dibentangkan membelah aliran sungai. Pagar itu lalu dipasangi ijuk dan karpet. Karpet dan ijuk ini akan menahan sedimentasi yang dibawa arus sungai. Metode ini tidak berlaku kala hujan deras sedang menerjang, karena air sungai naik dan berpotensi banjir.
Dewi fortuna kali ini tidak berpihak pada Lukman. Hujan November mengacaukan segala usaha yang dia lakukan di lokasi tambangnya. Seharian suntuk hujan deras. Lukman dan beberapa rombongan tak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya tidur.
Badan kembali panas. Sekujur tubuh mulai menggigil. Dia terbaring lemah di atas tilam di pendoponya. Kepala sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Ini sakit yang ketiga kalinya saya rasakan selama saya hidup. Ini sakit paling berat saya rasakan, sebelumnya tak pernah begini. Panas biasa saja. Beli obat di warung sudah sembuh,” kata Lukman.
Lukman kena malaria lagi. Larangan itu bukan semata-mata menahan Lukman tidak menambang tetapi kasus malaria tinggi di kalangan penambang.
“Saya pikir hanya saya saja yang kena malaria, ternyata ada penambang lain juga,” kata pria 56 tahun ini.
Ismail Tino, warga Desa Botubilotahu, alami sakit serupa. Dia kena malaria di tambang rakyat di Gunung Pani, dan Baginite. Ismail sampai lima kali kena malaria.
“Tiga kali saya berobat ke puskesmas dan dua kali ke rumah sakit,” katanya.
Selama 20 tahun jadi penambang emas belum pernah kena malaria. Biasa sakit biasa, seperti nyeri otot, sakit pinggang dan punggung.
“Dulu meskipun tidur di pinggir sungai, di lubang tambang yang ada kubangan tidak pernah kena malaria.”
Dulu, kata Ismail, pohon-pohon hutan di sekitar pertambangan emas di Gunung Pani, Ilota, dan Baginite, masih rapat. Makin ke sini, saat lokasi tambang mulai meluas, pohon-pohon mulai ditebang bahkan beberapa aliran sungai jadi pertambangan emas.
Dia pun duga, perusahaan tambang silih berganti datang mengeksplorasi alam di tiga lokasi tambang Pohuwato itu ikut memberikan kontribusi kerusakan.
“Sekarang sejauh mata memandang, hutan yang dulu lebat sudah terang. Terlihat sekali perbedaannya. Saya curiga ini jadi penyebab banyak nyamuk malaria muncul.”
Tambang emas yang menggerus tutupan lahan di Pahuwato. Dampaknya, salah satu, penyakit malaria mewabah. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Bekas tambang dan hutan terbabat
Tambang rakyat khusus di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, dan beberapa lokasi lain di sekitar situ, pada umumnya pertambangan dekat dengan sungai dan membuat kubangan pakai eksavator. Hampir semua aktivitas Lukman dan Ismail dihabiskan di dalam lubang tambang yang menganga di bantaran sungai.
Setelah tergali dan keruk, lubang-lubang tambang di bantaran sungai ini dibiarkan begitu saja. Kubangan-kubangan itu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dengan air menggenang di dalamnya.
Taufik Lantowa, Penannggung Jawab Program Malaria, Dinas Kesehatan Gorontalo, mengatakan, kasus malaria di Pohuwato pada 2022 ada 32 kasus dan 2023 melonjak sampai 815 kasus setahun.
“Rata-rata penyintas malaria ini adalah penambang. Kalau dihitung 80% itu penambang, sisanya para petani, nelayan, ada dari masyarakat umumnya,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Dia bilang, pemicu malaria di Pohuwato karena dua hal. Pertama, banyak kubangan bekas galian tambang yang tidak ditutup kembali hingga jadi sarang nyamuk anopheles. Anopheles adalah parasite atau plasmodium yang membawa malaria dan paling cepat berkembangbiak di area tergenang air atau kubangan.
Kedua, karena tutupan hutan di hulu mulai berkurang hingga menyebabkan migrasi nyamuk anopheles yang kehilangan rumah dan berpindah ke kubangan atau genangan bekas galian pertambangan.
Taufik bilang, kerusakan hutan dan ada kubangan di mana-mana merupakan satu siklus saling berkorelasi memicu malaria, karena mempermudah pengembangan plasmodium.
“Kasus malaria pertama itu terlapor dari Desa Hulawa. Kemudian menyebar sampai ke beberapa desa. Bahkan awal 2024, kasus malaria masih ada, meskipun tidak sebanyak 2023.”
Kasus malaria Dinas Kesehatan Gorontalo menunjukkan, ada lonjakan penyakit malaria. Lonjakan itu terjadi di beberapa daerah pada 2023. Meski tinggi, sampai saat ini belum ada kasus kematian terlapor.
Data Dinas Kesehatan Gorontalo, kasus malaria 2021-2023, di Kota Gorontalo 37 kasus, Gorontalo Utara (87), Kabupaten Gorontalo (112), Boalemo (515), dan Pohuwato (815).
Pemerintntah Gorontalo tetapkan kejadian luar biasa atas lonjakan kasus malaria di Pohuwato.
Hutan tergerus pertambangan meas di Pahuwato. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia
Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menerangkan, kasus malaria terjadi biasa karena pembukaan lahan dan praktik pertambangan. Misal, katanya, tambang meninggalkan kubangan yang memicu banyak plasmodium atau parasite pembawa malaria berkembangbiak dengan cepat.
Kalau hutan dibuka untuk skala besar seperti pertambangan, katanya, konsekuensi berdampak pada kesehatan manusia. Kalau hutan terbabat, katanya, nyamuk-nyamuk akan mencari termpat baru. Kubangan bekas galian pertambangan itu jadi salah satu pilihan nyamuk anopheles berkembangbiak.
“Kalau banyak orang yang sakit karena malaria pasti masalah. Kemudian yang sakit harus berobat, mengeluarkan biaya, tidak masuk kerja. Apalagi penularan malaria cukup parah. Puncaknya sampai meninggal. Dari segi kesehatan itu masalah besar,” kata Budi saat dihubungi Mongabay via telepon.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu juga mengatakan, harus ada langkah pemerintah menangani kasus malaria ini. Belajar dari beberapa daerah seperti di Kalimantan dan Sumatera, yang pernah mengalami lonjakan kasus malaria, pemerintah gerakan pencegahan dengan memberikan kelambu berinsektisida.
Pencegahan ini, kata Budi, untuk meminimalisir kasus penularan terus meningkat dan sebagai upaya pencegahan.
Pemerintah, katanya, harus bertindak mengatasi masalah malaria agar tak membludak, dan tak jadi penjaga gawang saja saat masalah malaria datang lagi.
“Jangan hanya menunggu di pelayanan kesehatan. Kalau seperti itu model penanganannya masalah malaria tidak akan pernah selesai dan akan terus berulang.”
Dia bilang, penting melihat bagaimana perubahan pola cuaca di Gorontalo dalam 30 tahun terakhir, apakah kasus malaria dan bencana banjir merupakan bagian dari dampak perubahan iklim yang dapat mengancam kesehatan masyarakat.
“Perlu dipastikan berulang pola cuacanya. Dari curah hujan, angin, suhu, dan kelembapan di Gorontalo untuk memastikan kalau itu dampak perubahan iklim.”
********
Longsor Area Tambang Emas Ilegal di Gorontalo Telan Puluhan Korban Jiwa
Artikel yang diterbitkan oleh