Aprimeno Sabdey | Universitas Indonesia (original) (raw)
Uploads
Papers by Aprimeno Sabdey
Advances in social science, education and humanities research, 2023
This study explores the Role of Implementing Actors in implementing Spatial Planning Policies in ... more This study explores the Role of Implementing Actors in implementing Spatial Planning Policies in Lamandau Regency. This study aims to map and describe the role of each actor who implements Spatial Planning policies within the scope of the Lamandau Regency Government, intending to get a more detailed picture. This study used a descriptive qualitative methodology. Research activities regarding the role of implementing actors in the Implementation of Spatial Planning are something that other researchers rarely do. Moreover, researching the role of this actor is something new (novelty) for research in the field of Spatial Planning Policy Implementation because, in the last ten years, no similar writings have been found in indexed journals when tracked using Harzing's Publis and Perish application. This study outlines that the Spatial Planning Implementation Actors in Lamandau Regency are from three distinct groups: the Bureaucracy Group, the Community, and the Business World. The Bureaucracy is the leading actor who initiates and implements policies, while the public and the business world act as actors who carry out policies. The conclusions include participation, perspective, accessibility, and determining actors' actions.
ABSTRAK Nanga Bulik sebagai ibukota Kabupten Lamandau, tidak terlepas dari persoalan sampah perko... more ABSTRAK Nanga Bulik sebagai ibukota Kabupten Lamandau, tidak terlepas dari persoalan sampah perkotaan Lokasi TPA ini dilihat dari pola ruang menurut kepmenhut no.529 tahun 2012 tentang penunjukan kawasan hutan di kalimantan tengah, masuk dalam Area Penggunaan Lain (APL) dan hampir seperempat bagian masuk dalam Kawasan Hutan (lebih tepatnya Kawasan Hutan Produksi) yang nota benenya hanya boleh digunakan untuk kegiatan budidaya kehutanan. Selain itu Kementrian PU melalui Satker PPSP Provinsi Kalimantan Tengah Ditjen Cipta Karya menghimbau pengelola TPA untuk tidak menanam pepohonan di dalam area TPA yang bisa menghambat sinar matahari masuk ke TPA dalam rangka mempercepat proses penguapan. Selain itu, untuk mengurangi pencemaran bau ke masayarakat yang berada disekitarnya, diperlukan green buffer berupa pepohonan yang mengeliling TPA. Kalau buffer ini ditanam di dalam area TPA, maka luasan yang ada akan semakin berkurang. Oleh karena itulah diperlukan kebijakan yang mengarah pada kerj...
Kebutuhan gizi merupakan isu yang paling mengemuka pasca krisis ekonomi tahun 1997. Dari data yan... more Kebutuhan gizi merupakan isu yang paling mengemuka pasca krisis ekonomi tahun 1997. Dari data yang pernah disampaikan oleh Kompas, sampai tahun 2001 terdapat 2,4 juta bayi usia di bawah lima tahun yang kekurangan gizi di Indonesia (Kompas, 27 Des. 2001). Angka ini belum ditambah dengan orang dewasa yang juga menderita kekurangan gizi. Dalam seminar "Fortified Wheat Flour and Cooking Oil" yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (PSKPG-IPB) dengan Komisi Fortifikasi Pangan Nasional, dr. Rachmi Untoro (Kepala Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI) memperkirakan ada 70% penduduk Indonesia kekurangan gizi (Kompas, 20 Maret 2002). Lebih rinci lagi dr Racmi mengatakan ada sekitar 100 juta penduduk dari semua kelompok umur menderita anemia gizi besi, 73 juta penduduk yang tinggal di daerah endemic kekurangan yodium, 30 juta penduduk usia produktif menderita kurang gizi kronis serta 9 juta balita mengalami masalah akibat kurang vitamin (Kompas, 16 April 2002). Kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi sangat ditentukan oleh tingkat daya beli dan pengetahuan masyarakat mengenai gizi. Akhir-akhir ini tingkat daya beli masyarakat Indonesia pada umumnya turun. Hampir semua sektor ekonomi di negara ini mengalami "kegoncangan". Dan hal itu berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang berarti meningkatnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan sendirinya masyarakat tidak mampu untuk memenuhi gizi keluarganya. Seperti yang disampaikan oleh dr. Rachmi Untoro dalam harian Kompas (16 April 2002), masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya kemiskinan, sosial, budaya dan politik. Pendapat ini semakin meyakinkan kita bahwa ada kaitan yang signifikan antara fenomena kekurangan gizi di Indonesia dengan masalah-masalah yang terjadi di negara kita. Oleh karena itu penangannya, menurut dr. Rachmi Untoro, harus bersifat lintas sektoral dan melibatkan masyarakat. Dan untuk kepentingan tersebut, masyarakat harus diberikan pengetahuan yang memadai mengenai pentingnya gizi bagi tubuh dan pertumbuhan.
Studi ketetanggaan selama ini lebih banyak mengarah pada masyarakat kompleks.
Pertama-tama saya ingin menyampaikan salut kepada Pak Kusni. Melalui milis ini beliau begitu meng... more Pertama-tama saya ingin menyampaikan salut kepada Pak Kusni. Melalui milis ini beliau begitu menggelitik saya sebagai orang muda dayak untuk berpikir kritis, cinta tanah air, sekaligus mengembangkan wacana ilmiah. Selama saya subscribe di milist dayak, belum sekali pun saya ikutan berbincang-bincang dengan kita semua. Kesulitan saya dan mungkin juga orang-orang yang seperti saya adalah tingkat kemampuan saya untuk mengakses internet
Thesis Chapters by Aprimeno Sabdey
Skripsi, 2000
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN JURUSAN PLANOLOGI / TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Na... more FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN PLANOLOGI / TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Nama : APRIMENO SABDEY; NPM : 023 950 003
ABSTRAKSI
Masyarakat Dayak Hulu Sungai Mentobi mempunyai cara tersendiri dalam mengelola lahan mereka. Sepintas cara ini sangat tidak masuk akal dan mistis. Tetapi bagi mereka hal ini adalah suatu keharusan yang didorong oleh rasa takut terhadap dewata dan makhluk-makhluk halus penguasa lahan/hutan. Semua yang dilakukan tersebut merupakan manifestasi dari pemahaman mereka terhadap hutan. Hutan bagi mereka adalah pusaka yang merupakan peninggalan leluhur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriftif. Dengan pendekatan tersebut, strategi penelitian yang digunakan berangkat dari nilai-nilai tradisional sebagai titik masuk. Dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan fokus studi, dilakukan seleksi-seleksi informasi terus menerus sepanjang penelitian lapangan berlangsung, bahkan ketika melakukan pengetikan laporan. Penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran kepada kita semua mengenai apa yang dilakukan masyarakat Lubu' Hiju' dalam mengelola lahan mereka. Selanjutnya pemikiran kita akan dibawa pada arah untuk memahami apa sebenarnya yang ada dibalik semua cara-cara tradisional di desa Lubu' Hiju' ini. Dan jawabannya adalah upaya untuk menjaga keseimbangan alam. Dari penelitian ini, diperoleh konsep-konsep lokal yang dimiliki masyarakat dayak Lubu' Hiju' dalam mengelola lahan mereka. Selain itu ditemukan juga luas lahan minimal yang dibutuhkan masyarakat setempat sebagai daya dukung sustainable life. Dan temuan ini merupakan modal paling penting untuk dijadikan landasan tawar dalam rangka menjaga eksistensi masyarakat dayak di Lubu' Hiju' ini.
Advances in social science, education and humanities research, 2023
This study explores the Role of Implementing Actors in implementing Spatial Planning Policies in ... more This study explores the Role of Implementing Actors in implementing Spatial Planning Policies in Lamandau Regency. This study aims to map and describe the role of each actor who implements Spatial Planning policies within the scope of the Lamandau Regency Government, intending to get a more detailed picture. This study used a descriptive qualitative methodology. Research activities regarding the role of implementing actors in the Implementation of Spatial Planning are something that other researchers rarely do. Moreover, researching the role of this actor is something new (novelty) for research in the field of Spatial Planning Policy Implementation because, in the last ten years, no similar writings have been found in indexed journals when tracked using Harzing's Publis and Perish application. This study outlines that the Spatial Planning Implementation Actors in Lamandau Regency are from three distinct groups: the Bureaucracy Group, the Community, and the Business World. The Bureaucracy is the leading actor who initiates and implements policies, while the public and the business world act as actors who carry out policies. The conclusions include participation, perspective, accessibility, and determining actors' actions.
ABSTRAK Nanga Bulik sebagai ibukota Kabupten Lamandau, tidak terlepas dari persoalan sampah perko... more ABSTRAK Nanga Bulik sebagai ibukota Kabupten Lamandau, tidak terlepas dari persoalan sampah perkotaan Lokasi TPA ini dilihat dari pola ruang menurut kepmenhut no.529 tahun 2012 tentang penunjukan kawasan hutan di kalimantan tengah, masuk dalam Area Penggunaan Lain (APL) dan hampir seperempat bagian masuk dalam Kawasan Hutan (lebih tepatnya Kawasan Hutan Produksi) yang nota benenya hanya boleh digunakan untuk kegiatan budidaya kehutanan. Selain itu Kementrian PU melalui Satker PPSP Provinsi Kalimantan Tengah Ditjen Cipta Karya menghimbau pengelola TPA untuk tidak menanam pepohonan di dalam area TPA yang bisa menghambat sinar matahari masuk ke TPA dalam rangka mempercepat proses penguapan. Selain itu, untuk mengurangi pencemaran bau ke masayarakat yang berada disekitarnya, diperlukan green buffer berupa pepohonan yang mengeliling TPA. Kalau buffer ini ditanam di dalam area TPA, maka luasan yang ada akan semakin berkurang. Oleh karena itulah diperlukan kebijakan yang mengarah pada kerj...
Kebutuhan gizi merupakan isu yang paling mengemuka pasca krisis ekonomi tahun 1997. Dari data yan... more Kebutuhan gizi merupakan isu yang paling mengemuka pasca krisis ekonomi tahun 1997. Dari data yang pernah disampaikan oleh Kompas, sampai tahun 2001 terdapat 2,4 juta bayi usia di bawah lima tahun yang kekurangan gizi di Indonesia (Kompas, 27 Des. 2001). Angka ini belum ditambah dengan orang dewasa yang juga menderita kekurangan gizi. Dalam seminar "Fortified Wheat Flour and Cooking Oil" yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (PSKPG-IPB) dengan Komisi Fortifikasi Pangan Nasional, dr. Rachmi Untoro (Kepala Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI) memperkirakan ada 70% penduduk Indonesia kekurangan gizi (Kompas, 20 Maret 2002). Lebih rinci lagi dr Racmi mengatakan ada sekitar 100 juta penduduk dari semua kelompok umur menderita anemia gizi besi, 73 juta penduduk yang tinggal di daerah endemic kekurangan yodium, 30 juta penduduk usia produktif menderita kurang gizi kronis serta 9 juta balita mengalami masalah akibat kurang vitamin (Kompas, 16 April 2002). Kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi sangat ditentukan oleh tingkat daya beli dan pengetahuan masyarakat mengenai gizi. Akhir-akhir ini tingkat daya beli masyarakat Indonesia pada umumnya turun. Hampir semua sektor ekonomi di negara ini mengalami "kegoncangan". Dan hal itu berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang berarti meningkatnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan sendirinya masyarakat tidak mampu untuk memenuhi gizi keluarganya. Seperti yang disampaikan oleh dr. Rachmi Untoro dalam harian Kompas (16 April 2002), masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya kemiskinan, sosial, budaya dan politik. Pendapat ini semakin meyakinkan kita bahwa ada kaitan yang signifikan antara fenomena kekurangan gizi di Indonesia dengan masalah-masalah yang terjadi di negara kita. Oleh karena itu penangannya, menurut dr. Rachmi Untoro, harus bersifat lintas sektoral dan melibatkan masyarakat. Dan untuk kepentingan tersebut, masyarakat harus diberikan pengetahuan yang memadai mengenai pentingnya gizi bagi tubuh dan pertumbuhan.
Studi ketetanggaan selama ini lebih banyak mengarah pada masyarakat kompleks.
Pertama-tama saya ingin menyampaikan salut kepada Pak Kusni. Melalui milis ini beliau begitu meng... more Pertama-tama saya ingin menyampaikan salut kepada Pak Kusni. Melalui milis ini beliau begitu menggelitik saya sebagai orang muda dayak untuk berpikir kritis, cinta tanah air, sekaligus mengembangkan wacana ilmiah. Selama saya subscribe di milist dayak, belum sekali pun saya ikutan berbincang-bincang dengan kita semua. Kesulitan saya dan mungkin juga orang-orang yang seperti saya adalah tingkat kemampuan saya untuk mengakses internet
Skripsi, 2000
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN JURUSAN PLANOLOGI / TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Na... more FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN PLANOLOGI / TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Nama : APRIMENO SABDEY; NPM : 023 950 003
ABSTRAKSI
Masyarakat Dayak Hulu Sungai Mentobi mempunyai cara tersendiri dalam mengelola lahan mereka. Sepintas cara ini sangat tidak masuk akal dan mistis. Tetapi bagi mereka hal ini adalah suatu keharusan yang didorong oleh rasa takut terhadap dewata dan makhluk-makhluk halus penguasa lahan/hutan. Semua yang dilakukan tersebut merupakan manifestasi dari pemahaman mereka terhadap hutan. Hutan bagi mereka adalah pusaka yang merupakan peninggalan leluhur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriftif. Dengan pendekatan tersebut, strategi penelitian yang digunakan berangkat dari nilai-nilai tradisional sebagai titik masuk. Dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan fokus studi, dilakukan seleksi-seleksi informasi terus menerus sepanjang penelitian lapangan berlangsung, bahkan ketika melakukan pengetikan laporan. Penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran kepada kita semua mengenai apa yang dilakukan masyarakat Lubu' Hiju' dalam mengelola lahan mereka. Selanjutnya pemikiran kita akan dibawa pada arah untuk memahami apa sebenarnya yang ada dibalik semua cara-cara tradisional di desa Lubu' Hiju' ini. Dan jawabannya adalah upaya untuk menjaga keseimbangan alam. Dari penelitian ini, diperoleh konsep-konsep lokal yang dimiliki masyarakat dayak Lubu' Hiju' dalam mengelola lahan mereka. Selain itu ditemukan juga luas lahan minimal yang dibutuhkan masyarakat setempat sebagai daya dukung sustainable life. Dan temuan ini merupakan modal paling penting untuk dijadikan landasan tawar dalam rangka menjaga eksistensi masyarakat dayak di Lubu' Hiju' ini.