Rafli Fadilah Achmad | University of Indonesia (original) (raw)

Papers by Rafli Fadilah Achmad

Research paper thumbnail of Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu

PENGADILAN NEGERI DUMAI, 2019

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Revisi Gugatan Sederhana Berdasarkan Perma 4 Tahun 2019

Pengadilan Negeri Dumai, 2019

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Resume Buku: Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Ancaman Pidana Bagi Intellectuele Dader Black Campaign :  Studi Putusan Nomor 17/Pid.Sus/2014/PN.Bul

Jurnal Hukum dan Peradilan Universitas Indonesia, 2018

Black Campaign merupakan cara kampanye yang dilarang dikarenakan atas dasar penghasutan, fitnah, ... more Black Campaign merupakan cara kampanye yang dilarang dikarenakan atas dasar penghasutan, fitnah, adu domba, kebohongan ataupun hoaks. Perkembangan media sosial yang sangat pesat menjadi tantangan tersendiri dalam pemberantasan Black Campaign. Bentuk Black Campaign yang marak terjadi akhir-akhir ini berupa editing foto dan/atau video yang tidak sesuai dengan kenyataan, kandidat yang menyikapi suatu isu padahal tidak, pesan singkat melalui whatsapp, pembuatan dan penyebaran berita hoaks, dan polling palsu. Maka dari itu penegakan hukum Black Campaign pada akhirnya tidak hanya difokuskan kepada strafbaar feit-nya saja, akan tetapi juga meruncing kepada siapa intellectuele dader-nya. Peraturan mengenai Black Campaign telah diatur dalam beberapa pengaturan mengenai Pemilu dalam skala nasional dan Pilkada dalam skala lokal yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Penelitian ini juga dilengkapi dengan studi putusan dengan perkara No. 17/Pid.Sus/2014/PN.Bul.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Tesis Hukum Universitas Indonesia: Urgensi Batas Waktu Judicial Review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. ... more Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial “PA” juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Skripsi Hukum Universitas Indonesia: TINJAUAN YURIDIS ATAS LEGAL STANDING PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Menajamkan Peran Mahkamah Konstitusi Melalui Constitutional Complaint

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Negara dan Kedaulatan Rakyat : Tinjauan Komparatif Konstitusi Indonesia dan Saudi Arabia

Dalam makalah ini Penulis mencoba mengkaji kedaulatan rakyat yang ada di Indonesia dan Saudi Arab... more Dalam makalah ini Penulis mencoba mengkaji kedaulatan rakyat yang ada di Indonesia dan Saudi Arabia dengan melihat dari konstitusi kedua negara tersebut. Namun sebelumnya, Penulis juga meneliti terlebih dahulu apakah negara Saudi Arabia adalah benar menganut konsepsi kedaulatan rakyat ataukah tidak, ataukah justru Saudi Arabia menganut konsepsi kedaulatan tuhan namun tetap menjunjung tinggi rakyat dalam negaranya. Kemudian Penulis juga mengkaji implementasi dari ketentuan normatif kedaulatan rakyat yang ada dalam konstitusi Indonesia dan Saudi Arabia.
Di dalam konstitusi negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat secara nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan kepada rakyat selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di jewantahkan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi kepercayaan tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun yang dilakukan oleh Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Perubahan tersebut juga secara koheren diikuti dengan perubahan mekanisme pemilihan penyelenggara negara. Sebelumnya rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi menyerahkan suaranya kepada MPR, nantinya MPR-lah yang memilih Presiden selanjutnya. Akan tetapi saat ini Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan mekanisme Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, penyelenggaran kekuasaan negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah serta Pemerintah Daerah juga di pilih langsung menggunakan mekanisme Pemilu.
Dari pemaparan singkat diatas, diperoleh kesimpulan sementara bahwa konstitusi negara Indonesia mengakui kedaulatan rakyat di dalam negaranya, dimana terdapat jaminan bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut dijewantahkan menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan tidak lagi diorganisasikan melalui satu institusi kenegaraan khusus yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sedangkan kerajaan Saudi Arabia adalah suatu negara yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahannya didasari pada hukum Islam. Karena itu, negara ini dapat dinamakan sebagai negara Islam dalam makna yang hakiki, dengan konsekuensi mengamalkan aturan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun pertanyaan besar yang perlu dijawab dalam makalah ini adalah “apabila dalam suatu negara mendasari hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi apakah serta merta menganut teori kedaulatan tuhan? Ataukah justru dalam penerapannya justru kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi?”
Hipotesa awal yang muncul kepermukaan adalah negara arab saudi menganut teori kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, dan kedaulatan rakyat sekaligus. Hal ini tentunya berbeda dengan Indonesia yang dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan rakyat saja. Hal inilah yang menjadi menarik perhatian Penulis untuk meneliti lebih lanjut letak posisi kedaulatan rakyat di negara seperti Saudi Arabia, terlebih lagi negara ini mendasari hukumnya berdasarkan hukum islam dan memiliki raja selaku representasi dari negara Saudi Arabia.
Saat ini dinamika politik di negara Saudi Arabia telah terdapat gerakan-gerakan sosial yang merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat, salah satunya adalah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memberikan kritik dan saran kepada Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak. Akan tetapi, secara umum kedaulatan rakyat di Saudi Arabia lebih di kekang, salah satu bentuknya adalah pemilihan Raja tidak didasarkan pada pemilihan rakyat, dan larangan pembentukan partai politik.
Akan tetapi tradisi tersebut pada akhirnya berubah karena desakan reformasi Amerika Serikat yang menuntut terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Konsekuensinya adalah dilakukannya pemilihan umum secara nasional untuk memilih wakil-wakil rakyat setelah sebelumnya menyetujui komite hak asasi manusia non pemerintah pada 8 Oktober 2007.
Dari pemaparan di atas setidaknya terdapat beberapa perbedaan mendasar yang menjadi perhatian utama penulis, yakni pengaturan mengenai kedaulatan rakyat di Indonesia dan Saudi Arabia terdapat banyak perbedaan dari sisi formil dan materil-nya. Dari segi formil, Indonesia mengatur ketentuan mengenai kedaulatan rakyat secara khusus di dalam konstitusi, sedangkan di Saudi Arabia kaidah-kaidah pokok pengaturan mengenai kedaulatan rakyat perlu dikaji lebih lanjut dari pengaturan yang ada di dalam al-Qur’an. Dari segi materil kedaulatan di Saudi Arabia diletakan pada kedaulatan tuhan daripada kedaulatan rakyat. Itu artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan Tuhan, dimana seluruh perintah perintah negara haruslah mengimplimentasikan kehendak-kehendak tuhan. Sedangkan di Indonesia, kedaulatan itu berada di tangan rakyat, meskipun kedaulatan rakyat ini berada di tengah-tengah penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Sistem Lelang Jabatan

Sistem lelang jabatan adalah istilah yang baru dipopulerkan pada tahun 2013, sejak Jakarta berada... more Sistem lelang jabatan adalah istilah yang baru dipopulerkan pada tahun 2013, sejak Jakarta berada di bawah pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dimana posisi Camat, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas dan beberapa jabatan lain diisi dengan metode sistem lelang jabatan. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah. Istilah lelang jabatan ini mengacu pada metode pengangkatan atau pengisian jabatan struktural di dalam pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Namun, penggunaan istilah ini juga sering salah kaprah, karena pengertian yang dimaksud sebenarnya adalah sistem promosi terbuka (open promotion).
Meskipun istilah ini baru mulai terdengar pada tahun 2013, tetapi sebenarnya metode pengisian jabatan struktural secara terbuka telah diatur pada tahun 2012 melalui Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Lingkungan Pemerintah. Sistem lelang jabatan ini ternyata menuai pro dan kontra di masyarakat terutama kalangan pegawai negeri sipil. Pandangan mereka yang setuju adalah dengan sistem ini nantinya akan tercipta suatu transparansi dalam pengisian jabatan struktural sehingga dapat menimalisasi adanya praktik pengangkatan yang didasarkan pada spoil system. Di sisi lain, sistem ini dianggap pula telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta dapat membuat sistem pengisian yang selama ini ada akan menjadi tidak beraturan terutama bagi para pejabat struktural yang telah bekerja didalam suatu instansi dalam waktu yang lama dan menunggu untuk diangkat dalam jabatan struktural yang lebih tinggi tetapi dengan sistem ini jabatan tersebut justru akan dilelang. Permasalahan tersebutlah yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan menjabarkan pandangan dari pihak pro dan kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Peradilan Khusus Pemilu

Permasalahan mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menja... more Permasalahan mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menjadi diskursus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal ini karena adanya lempar kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Namun, pertama-tama perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai perkembangan pemilihan kepala daerah. Didalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 huruf b dinyatakan bahwa,
Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai :
b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

Artinya pada masa UU ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD bukan oleh rakyat. Kemudian terjadi perubahan UU tersebut melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeirntahan Daerah, Didalam Pasal 56 UU ini dinyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung yaitu oleh rakyat. Hal ini menandai perubahan fundamental dalam mekanisme pemilihan kepala daerah yang menimbulkan konsekuensi logis munculnya kemungkinan sengketa didalam pemilihan kepala daerah ini yang salah satunya mengenai hasil pemilihan umum kepala daerah. Menurut pasal 106 UU ini penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum diselesaikan di Mahkamah Agung. Kemudian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, dimana salah satu perubahannya mempengaruhi lembaga yang berwenang memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah, yaitu pada Pasal 236C yang menyatakan,
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Wewenang MK untuk menangani sengketa hasil pemilukada juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”
Kemudian, di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 disebutkan bahwa,
“dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal ini sesuai pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008 yang memasukan pemilukada dalam rezim pemilu, sehingga konsekuensi logisnya sengketa hasil pemilukada menjadi kewenangan MK. Bahwa kemudian terhadap pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, dilakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, dimana Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang pada amarnya mengabulkan semua permohonan pemohon dan menyatakan pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian pada tahun 2014, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, dimana pada pasal 157 ayat (1) dinyatakan,
“Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.”
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 ini kemudian diubah lagi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dimana pasal 157 Ayat (3) dinyatakan,
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus
Lempar kewenangan dari MA ke MK dan sebaliknya inilah yang mendorong munculnya amanat pembentukan badan peradilan khusus. Namun, masalah penegakan hukum pemilukada tidak hanya itu saja, terdapat pula masalah terkait ketidaktaatan KPUD untuk melaksanakan Putusan PTUN ataupun masalah jangka waktu pengajuan masing-masing sengketa pemilukada yang sangat berbeda jauh tenggat waktunya. Masalah-masalah diatas ini lah yang akan diselesaikan dengan pembentukan peradilan khusus yang nantinya juga disiapkan untuk pemilukada serentak pada tahun 2027 nanti. Tetapi gagasan ini begitu saja diterima, terdapat pandangan-pandangan yang juga menolak gagasan ini dengan berbagai alasan. Perbedaan pandangan inilah yang akan dielaborasikan lebih lanjut dalam tulisan ini dengan membaginya dalam dua bagian, yaitu pandangan pro dan pandangan kontra sehingga dapat mempermudah para membaca dalam melihat dinamika perdebatan pembentukan badan peradilan khusus pemilu ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik

“Dalam proses bernegara dan berdemokrasi partai politik memegang titik sentral yang begitu fundam... more “Dalam proses bernegara dan berdemokrasi partai politik memegang titik sentral yang begitu fundamental”
Dr. Rizal Djalil – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 2014
Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, hanya dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika partai politik di dalam negara tersebut berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan partai politik memiliki peranan penting sebagai titik sentral bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau bahkan dapat mengkritisi kebjiakan pemerintah yang ada. Terlebih lagi, melalui partai politiklah rakyat dapat mendudukan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan rakyat bahkan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden juga harus diusung oleh partai politik. Mengingat pentingnya peran tersebut, partai politik harus disokong keberadaanya dan salah satu caranya adalah melalui pendanaan partai politik lewatAPBN. Dikemudian hari munculah suatu gagasan dari Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemberian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (yang selanjutnya disebut APBN) sebesar 1 Trilyun kepada partai politik dan merealisasikannya pada pemerintahan Jokowi.
Jika ditinjau secara yuridis, sejatinya bantuan dari APBN kepada partai politik itu sudah ada sejak berlakunya Undang-Undang No.31 Tahun 2002 dan kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2011 yang mana bantuan tersebut ditujukan kepada partai politik yang berhasil menempatkan calonnya pada kursi di DPR/DPRD. Lebih lanjut, berdasarkan PP No. 83/2012 lebih dipertegas bahwa besaran nominal bantuan dari APBN yang diberikan kepada partai politik sebesar Rp.108 persuara.
Dalam mosi ini Penulis memaknai pemberian dana yang dimaksud dilakukan dengan cara merubah nominal dana yang diberikan kepada partai politik yang semula Rp.108 persuara, menjadi nominal yang lebih besar berdasarkan penyesuaian kondisi riil yang ada, dengan tidak menutup sumber-sumber pendanaan lainnya seperti iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Nantinya dana tersebut tidak hanya diperuntukan bagi pendidikan politik dan operasional sekretariat partai saja, tapi diperuntukan bagi seluruh kegiatan partai politik.
Namun perlu digarisbawahi perbedaan secara harfiah antara “pendanaan” pada mosi kali ini, dan “bantuan keuangan” yang tertera pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2011. Dalam konteks “pendanaan”, maka sumber utama dan terbesar dari keuangan partai politik berasal dari APBN sedangkan iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum hanyalah bersifat komplementer saja. Sebaliknya dalam konteks “bantuan keuangan”, maka suntikan dari APBN bersifat komplementer karena hanya bantuan saja, sedangkan sumber utama dan terbesarnya berasal dari iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum.
Saat ini wacana mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik menuai banyak pujian sekaligus kecaman dari masyarakat luas terutama dari golongan akademisi, praktisi dan pegiat anti korupsi. Maka dari itu tulisan ini hadir untuk membahas mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik ditinjau dari perspektif pro dan kontra dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan rujukan yang ilmiah dan komprehensif dalam menyikapi wacana ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Dilematika Pencabutan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum di Indonesia

“Janganlah cepat-cepat menetapkan bahwa tidak ada hak ulayat lagi, ataupun sebaliknya untuk terla... more “Janganlah cepat-cepat menetapkan bahwa tidak ada hak ulayat lagi, ataupun sebaliknya untuk terlalu cepat-cepat menetapkan bahwa hak ulayat masih ada”
Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini -1977
Pandangan dan konsep mengenai hak ulayat sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Bentuk dan corak mengenai hak ulayat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan dinamika perkembangan hukum adat yang menjadi landasan utamanya.
Sejatinya secara normatif, pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak ulayat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan di era reformasi. Hal tersebut dikarenakan telah diaturnya materi muatan mengenai kedudukan dan eksistensi hak ulayat yang diwujudkan dalam konstitusi negara Indonesia pada Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-2 dan kemudian diikuti dengan dibentuknya peraturan perundang-undangan terkait seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, UU No. 2 Tahun 2012. Namun sayangnya semangat tersebut masih terbatas pada law in book saja, belum diikuti hingga tataran empiris atau law in action.
Dewasa ini persoalan mengenai hak ulayat kembali menyita perhatian publik khususnya pada sengketa-sengketa yang terjadi di berbagai daerah. Permasalahan utamanya bukanlah mengenai bentuk pengakuan formal dari pada hak ulayat itu sendiri, akan tetapi justru berkenaan dengan perlindungan hak masyarakat hukum adat mengenai tanah ulayat disatu pihak dan kepentingan umum untuk pembangunan dilain pihak. Terlebih lagi di era demokrasi yang sekarang dijunjung tinggi, menyebabkan masyarakat hukum adat menjadi lebih sadar dan gigih berjuang untuk mempertahankan hak-haknya, sementara disaat yang sama pemerintah dan/atau pemerintah daerah juga semakin gencar untuk menarik minat investor.
Salah satu contohnya adalah pembebasan tanah ulayat seluas 316 hektar Nagari Mungo yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten 50 Kota, BPT-HMT, Departemen Pertanian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk mendirikan kebun pertanian daerah dan sekolah. Terkait dengan pembebasan lahan tersebut, sebelumnya telah ada diskusi dengan ninik-mamak Mungo dengan kesepakatan bahwa semua tanaman masyarakat diberi gantirugi, apabila didirikan sekolah maka anak Nagari Mungo yang diberi prioritas, apabila dibutuhkan tenaga buruh maka diambil dari anak Nagari Mungo. Namun kenyataanya sampai saat ini seluruh butir persyaratan tersebut tidak terpenuhi atau dengan sengaja tidak dipenuhi oleh pemerintah setempat.
Menurut laporan dari KOMNAS HAM, konflik agraria yang berawal dari sengketa kepentingan umum telah menjadi salah satu bentuk konflik sosial-ekonomi yang sering terjadi di Indonesia, bahkan terdapat trend peningkatan jumlah dan kompleksitas konflik yang semakin meningkat. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia datang silih berganti, dan sebagian besar yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat hukum adat dalam mempertahankan hak ulayatnya, seperti didaerah Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, Tanah Awu, Lombok Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Maka dari itu aneka permasalahan yang berkenaan dengan hak ulayat dan kepentingan umum memerlukan kajian yang komprehensif untuk didalami, kemudian dicarikan solusi konkret dan holistik yang bukan hanya melalui dimensi yuridis saja, akan tetapi juga harus dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya, seperti politis, ekonomis dan kultural agar hal yang demikian tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menganggu stabilitas masyarakat. Maka dari itu tulisan ini akan membahas mengenai pencabutan hak ulayat untuk kepentingan umum ditinjau dari perspektif pro dan kontra, dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dan masyarakat hukum adat dalam menyikapi isu ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Hak Asasi, Pemberian Remisi  dan Terpidana Korupsi

Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan setelah Menteri Hukum dan ... more Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Revisi yang hendak dilakukan Menkumham sifatnya melonggarkan kembali mekanisme pemberian remisi bagi terpidana korupsi, yang coba diperketat oleh Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, terutama terkait dengan salah satu semangat kabinet yang dibawa Presiden Joko Widodo, yaitu nawacita yang disuarakan ketika masa kampanyenya tentang keinginan melawan korupsi bahkan sampai ke akar-akarnya. Ternyata konkritisasinya oleh Menkumham adalah wacana pelonggaran pemberian remisi kepada koruptor. Terlebih lagi, sebenarnya korupsi yang telah membudaya merupakan musuh seluruh rakyat Indonesia yang harus dihukum dengan cara yang paling berat pula.
Alasan Menkumham mengenai revisi ini adalah terkait hak koruptor yang seharusnya tidak dibedakan dengan terpidana lainnya, selain itu pandangan Menkumham dimana para koruptor telah dihukum dengan pidana yang lebih berat dibanding tindak pidana umum, sehingga pengetatan pemberian remisi dipandangan sebagai penghukuman dua kali kepada para koruptor. Pro dan kontra inilah yang kemudian menyebabkan pemberian remisi bagi terpidana korupsi menjadi diskurus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini secara komprehensif.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Menelaah Kewenangan Pra-Peradilan Dalam Memutus Penetapan Tersangka

Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjenpo... more Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjenpol Budi Gunawan menjadi awal dari perhatian media atas kewenangan Praperadilan memutus penetapan tersangka. Peristiwa ini menjadi pusat perhatian karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri tidak disebutkan bahwa penetapan tersangka adalah salah satu objek gugatan praperadilan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) KUHAP, disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitatif, wewenang praperadilan dijabarkan dalam Pasal 77 KUHAP, yang mensimbolir praperadilan sebagai suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara sah atau tidak. Selain itu, penjelasan lain di dalam KUHAP terkait praperadilan disebutkan di dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 yang menjabarkan mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Pertanyaan besar terkait isu ini adalah, dapatkah penetapan tersangka menjadi objek praperadilan yang limitatif jika penetapan status tersebut dilakukan secara tidak sah oleh penyidik dan menimbulkan kerugian bagi pihak terkait? Jika tidak, upaya apa yang dapat dilakukan terhadap proses penetapan tersangka yang tidak sah secara hukum? Tulisan ini akan membahas mengenai kewenangan praperadilan dalam penetapan status tersangka dari kedua sudut pandang, baik pro maupun kontra. Selain itu, penulis juga akan mencoba memberikan saran dan solusi terkait permasalahan ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Benarkah Alokasi Dana Desa Sebagai Upaya Untuk Memajukan Kesejahteraan Umum?

Terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa di seluruh Indonesia, Desa-Desa ini dapat d... more Terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa di seluruh Indonesia, Desa-Desa ini dapat dibedakan menjadi Desa biasa dan Desa adat. Desa merupakan cikal bakal keberadaan satuan territorial, dimulai dari satuan pemerintahan yang terbawah, yang pada akhirnya membentuk Negara. Oleh sebab itu, keberadaan Desa sangatlah penting bagi suatu Negara.
Desa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara sendiri mengakui bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Selain itu, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Isu yang sedang hangat belakangan ini terkait kemajuan dan kesejahteraan Desa adalah mengenai alokasi pendanaan bagi Desa oleh Negara. Alokasi pendanaan ini kerap kali dikenal dengan istilah Alokasi Dana Desa. Alokasi Dana Desa adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Berdasarkan Rincian Dana Desa Per Kabupaten dan Kota yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Tahun 2015, total Penetapan Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2015 mencapai 9 (sembilan) trilyun rupiah untuk seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menjanjikan minimal 1 (satu) milyar per Desa atau lebih tergantung luas Desa dan tingkat pembangunannya.
Mekanisme alokasi dana Desa berakar pada sila kelima di dalam ideologi negara yaitu Pancasila, yang menyebutkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Hal serupa juga tertuang di dalam tujuan negara Indonesia di dalam pembukaan UUD NRI 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kesejahteraan umum ini jugalah milik warga Desa. Melihat adanya kesenjangan pembangunan serta kondisi ekonomi di Desa dan kota, maka dibuatlah kebijakan alokasi dana Desa ini, sehingga Desa juga dapat mengembangkan wilayahnya agar dapat mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Solusi Atas Konflik Agraria Yang Berkepanjangan : Pembentukan Pengadilan Khusus Agraria?

Pembentukan pengadilan khusus agraria merupakan suatu isu yang terus berkembang dan didorong untu... more Pembentukan pengadilan khusus agraria merupakan suatu isu yang terus berkembang dan didorong untuk diwujudkan didalam sistem peradilan Indonesia, terutama lembaga-lembaga yang berfokus pada permasalahan agraria, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria. Isu ini semakin hangat dikarenakan penyelesaian konflik agraria selama ini hanya mendorong eskalasi kekerasan dalam penyelesaiannya serta melihat peningkatan dari konflik agraria dari tahun ke tahun menandakan perlu mekanisme yang mumpuni untuk menjawab tantangan akan kebutuhan penyelesaian yang lebih baik lagi.
Berdasarkan data yang dilansir dari KPA dari tahun 2009 hingga tahun 2014, konflik agraria terus meningkat. Peningkatan ini semakin menuntut dibentuknya pengadilan khusus agraria sebagai bentuk kepedulian dan komitmen politik pemerintah dan parlemen dalam penanganan konflik agraria. Pembentukan pengadilan khusus agraria pun mulai diwujudkan dengan masukanya RUU tentang Pengadilan Keagrarian pada program legislasi nasional (PROLEGNAS) 2010 – 2014. Namun, kandasnya RUU tersebut menunjukan bahwa pemerintah memandang belum ada urgensi dalam hal ini, sehingga mekanisme yang sekarang sudah dirasa cukup untuk dapat menyelesaikan konflik agraria. Perbedaan pandangan inilah yang akan dianalisis dari dua pemikiran, yaitu pro dan kontra terhadap pembentukan pengadilan khusus agraria.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Eksistensi Perda Syariah Dan Relasinya Dengan Konsep Otonomi Daerah

Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) belakangan merupakan topik yang hangat diperbincangkan. ... more Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) belakangan merupakan topik yang hangat diperbincangkan. Eksistensi Perda Syariah didalam pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah kabupaten/kota ataupun provinsi bukan lagi menjadi hal yang aneh, contohnya Perda Sumatera Barat No. 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan Al-Qur’an dan Perda Bulukumba Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin dan masih banyak lagi. Walaupun tidak diberikan nama Perda Syariah, namun dapat dimaknai sebagai perda syariah melihat bahwa substansinya yang secara tegas mengatur mengenai syariat islam dan bersumber secara langsung dari Al-Qur’an serta hanya ditunjukan bagi pemeluk agama islam. Keberadaan perda syariah ini bukanlah tanpa kontroversi, penolakan terhadap perda syariah telah terjadi di Indonesia, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla pada masa kampanyenya menyuarakan penolakan terhadap perda syariah dan melarang kemunculan perda syariah itu sendiri kecuali di Aceh. Namun, terhadap pernyataan tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla melalui Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan ini ditentang oleh Majelis Mujadihid (MM) yang menyatakan penghapusan perda syariah adalah tindakan anti-agama yang dilandaskan pada kebohongan belaka. Kontroversi ini lah yang akan dianalisis didalam artikel hukum ini menggunakan sudut pandang baik dari pro penghapusan perda syariah maupun yang kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Tinjauan Kritis Atas Penerapan Wajib Militer Di Indonesia

Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup b... more Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sistem pertahanan negara yang diterapkan di Indonesia dikenal sebagai HANKAMRATA (pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Kata semesta dalam konteks ini berarti sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Sistem pertahanan negara Indonesia diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dimana, di dalam undang-undang tersebut, diamanatkan bahwa pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer akan dilaksanakan oleh 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen utama sendiri telah jelas terdiri atas Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan komponen cadangan dan pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Komponen utama telah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Namun demikian, komponen cadangan maupun pendukung belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Salah satu isu nasional yang sempat menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir adalah wajib militer. Isu ini awalnya naik ke permukaan karena disusunnya Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian akan menjadi dasar hukum wajib militer bagi warga sipil di Indonesia. Wajib militer yang hendak dicanangkan ini merupakan kewajiban warga negara untuk menyumbangkan tenaganya dalam angkatan perang, yang akan diwajibkan bagi warga sipil di Indonesia. Dalam rangka persiapan wajib militer, warga akan mengikuti serangkaian pelatihan militer terlebih dahulu. Ada beberapa warga yang mendapatkan pengecualian dalam wajib militer, yaitu warga yang memiliki kecacatan fisik atau penyakit mental.
Sejatinya, wajib militer telah menjadi landasan konsep bela negara sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hanya saja, hingga saat ini, subyek wajib militer hanya merupakan komponen utama pertahanan negara saja, yaitu TNI. Pertanyaannya saat ini adalah, perlukah wajib militer juga diberlakukan bagi warga sipil dalam rangka meralisasikan perannya sebagai komponen cadangan pertahanan negara? Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai pandangan pro maupun kontra terhadap pencanangan wajib militer bagi warga sipil di Indonesia.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Imunitas Pimpinan KPK : Sebuah Perlindungan Ataukah Ancaman?

Korupsi masih marak dan menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Ko... more Korupsi masih marak dan menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index / CPI) tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Skor tersebut diperoleh dari hasil survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia. dalam Indeks Persepsi Korupsi tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-100.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Pembentukan ini didasari pada kekhawatiran bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi sebelum berdirinya KPK belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Untuk menjalankan fungsi KPK sebagaimana yang diharapkan pada awal pembentukannya, tentunya para pimpinannya sebagai ujung tombak harus dipastikan berada pada keadaan yang kondusif untuk melaksanakan peranannya.
Isu yang sedang menjadi bahan kontroversi belakangan ini adalah terkait pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Ide ini awalnya dikemukakan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, yang menganjurkan Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) yang berisi pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Latar belakang dari ide yang diwacanakan oleh Denny adalah adanya trend ‘kriminalisasi’ pimpinan KPK, yang bagi beberapa kalangan dilihat sebagai usaha untuk melumpuhkan kinerja KPK sebagai suatu institusi. Sebut saja dua dari pimpinan KPK yang dalam jangka waktu kurang dari setengah tahun ini terpaksa mundur sementara dari jabatannya akibat tersandung dugaan kasus: Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad. Selain itu, Novel Baswedan yang juga merupakan penyidik utama KPK juga tertimpa situasi yang sama.
Penahanan beberapa Pimpinan KPK dalam jangka waktu yang singkat dan berdekatan, serta momen yang tepat sejak diawalinya ketegangan hubungan antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) inilah yang memicu dugaan ‘kriminalisasi.’ Kejadian beruntun yang terjadi pada para pimpinan KPK ini diduga sebagai bentuk balas dendam pihak Polri terhadap KPK atas penetapan tersangka yang sebelumnya dilakukan oleh KPK terhadap petinggi Polri.
Oleh sebab itulah, tragedi ditahannya beberapa Pimpinan KPK ini dikhawatirkan akan membawakan dampak regresif pada kinerja KPK, dimana fokus KPK dalam memberantas korupsi tidak lagi maksimal akibat para pimpinannya terjerat permasalahan hukum. Namun betulkah hak imunitas bagi Pimpinan KPK merupakan jalan keluarnya? Artikel ini akan membahas legalitas dan dampak yang akan ditimbulkan dari pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK, baik dari segi pro maupun kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Kolom Agama Dalam KTP ditinjau dari Pro dan Kontranya

Permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincan... more Permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincangkan dewasa ini. Pada awalnya semua terjadi karena berdasarkan Pasal 64 (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikatakan bahwa salah satu elemen penting yang mutlak harus diisi seseorang dalam KTP adalah kolom agama. Namun sejalan dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terdapat perubahan fundamental yang tertuang dalam Pasal 64 ayat (5)-nya bahwa :
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”
Rumusan Pasal tersebut pun senada dengan apa yang dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri yang mempertegas untuk memperbolehkan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) terhadap orang yang agama atau kepercayaanya tidak/belum diakui secara yuridis oleh Negara. Bola panas yang awalnya hanya berkutat pada pengosongan kolom agama kini telah bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini pun menuai banyak respon dari masyarakat, ada pihak yang mendukung penghapusan kolom agama dalam KTP dengan dalih kebebasan beragama yang dipelopori oleh pegiat hak asasi manusia. Namun disisi lain ada juga pihak yang justru menentang keras penghapusan kolom agama seperti organisasi Islam dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan sehingga kolom agama adalah urgen untuk tetap diadakan sebagai salah satu konsekuensi logis dari negara yang berketuhanan itu.
Mengingat peliknya permasalahan mengenai kolom agama di KTP, hal ini tentunya menarik rasa akademis Penulis untuk membahasnya secara komprehensif dari sudut pandang ilmiah. Terlebih lagi isu ini tidak hanya berbicara mengenai masalah administrasi saja, melainkan didalamnya terdapat pula masalah kebebasan beragama dan yuridis sekaligus. Sehingga membahasnya dari sudut pro dan kontra merupakan suatu hal yang arif dan bijak untuk mengetahui secara holistik permasalahan ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu

PENGADILAN NEGERI DUMAI, 2019

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Revisi Gugatan Sederhana Berdasarkan Perma 4 Tahun 2019

Pengadilan Negeri Dumai, 2019

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Resume Buku: Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Ancaman Pidana Bagi Intellectuele Dader Black Campaign :  Studi Putusan Nomor 17/Pid.Sus/2014/PN.Bul

Jurnal Hukum dan Peradilan Universitas Indonesia, 2018

Black Campaign merupakan cara kampanye yang dilarang dikarenakan atas dasar penghasutan, fitnah, ... more Black Campaign merupakan cara kampanye yang dilarang dikarenakan atas dasar penghasutan, fitnah, adu domba, kebohongan ataupun hoaks. Perkembangan media sosial yang sangat pesat menjadi tantangan tersendiri dalam pemberantasan Black Campaign. Bentuk Black Campaign yang marak terjadi akhir-akhir ini berupa editing foto dan/atau video yang tidak sesuai dengan kenyataan, kandidat yang menyikapi suatu isu padahal tidak, pesan singkat melalui whatsapp, pembuatan dan penyebaran berita hoaks, dan polling palsu. Maka dari itu penegakan hukum Black Campaign pada akhirnya tidak hanya difokuskan kepada strafbaar feit-nya saja, akan tetapi juga meruncing kepada siapa intellectuele dader-nya. Peraturan mengenai Black Campaign telah diatur dalam beberapa pengaturan mengenai Pemilu dalam skala nasional dan Pilkada dalam skala lokal yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Penelitian ini juga dilengkapi dengan studi putusan dengan perkara No. 17/Pid.Sus/2014/PN.Bul.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Tesis Hukum Universitas Indonesia: Urgensi Batas Waktu Judicial Review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. ... more Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial “PA” juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Skripsi Hukum Universitas Indonesia: TINJAUAN YURIDIS ATAS LEGAL STANDING PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Menajamkan Peran Mahkamah Konstitusi Melalui Constitutional Complaint

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Negara dan Kedaulatan Rakyat : Tinjauan Komparatif Konstitusi Indonesia dan Saudi Arabia

Dalam makalah ini Penulis mencoba mengkaji kedaulatan rakyat yang ada di Indonesia dan Saudi Arab... more Dalam makalah ini Penulis mencoba mengkaji kedaulatan rakyat yang ada di Indonesia dan Saudi Arabia dengan melihat dari konstitusi kedua negara tersebut. Namun sebelumnya, Penulis juga meneliti terlebih dahulu apakah negara Saudi Arabia adalah benar menganut konsepsi kedaulatan rakyat ataukah tidak, ataukah justru Saudi Arabia menganut konsepsi kedaulatan tuhan namun tetap menjunjung tinggi rakyat dalam negaranya. Kemudian Penulis juga mengkaji implementasi dari ketentuan normatif kedaulatan rakyat yang ada dalam konstitusi Indonesia dan Saudi Arabia.
Di dalam konstitusi negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat secara nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan kepada rakyat selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di jewantahkan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi kepercayaan tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun yang dilakukan oleh Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Perubahan tersebut juga secara koheren diikuti dengan perubahan mekanisme pemilihan penyelenggara negara. Sebelumnya rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi menyerahkan suaranya kepada MPR, nantinya MPR-lah yang memilih Presiden selanjutnya. Akan tetapi saat ini Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan mekanisme Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, penyelenggaran kekuasaan negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah serta Pemerintah Daerah juga di pilih langsung menggunakan mekanisme Pemilu.
Dari pemaparan singkat diatas, diperoleh kesimpulan sementara bahwa konstitusi negara Indonesia mengakui kedaulatan rakyat di dalam negaranya, dimana terdapat jaminan bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut dijewantahkan menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan tidak lagi diorganisasikan melalui satu institusi kenegaraan khusus yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sedangkan kerajaan Saudi Arabia adalah suatu negara yang dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahannya didasari pada hukum Islam. Karena itu, negara ini dapat dinamakan sebagai negara Islam dalam makna yang hakiki, dengan konsekuensi mengamalkan aturan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun pertanyaan besar yang perlu dijawab dalam makalah ini adalah “apabila dalam suatu negara mendasari hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi apakah serta merta menganut teori kedaulatan tuhan? Ataukah justru dalam penerapannya justru kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi?”
Hipotesa awal yang muncul kepermukaan adalah negara arab saudi menganut teori kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, dan kedaulatan rakyat sekaligus. Hal ini tentunya berbeda dengan Indonesia yang dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan rakyat saja. Hal inilah yang menjadi menarik perhatian Penulis untuk meneliti lebih lanjut letak posisi kedaulatan rakyat di negara seperti Saudi Arabia, terlebih lagi negara ini mendasari hukumnya berdasarkan hukum islam dan memiliki raja selaku representasi dari negara Saudi Arabia.
Saat ini dinamika politik di negara Saudi Arabia telah terdapat gerakan-gerakan sosial yang merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat, salah satunya adalah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memberikan kritik dan saran kepada Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak. Akan tetapi, secara umum kedaulatan rakyat di Saudi Arabia lebih di kekang, salah satu bentuknya adalah pemilihan Raja tidak didasarkan pada pemilihan rakyat, dan larangan pembentukan partai politik.
Akan tetapi tradisi tersebut pada akhirnya berubah karena desakan reformasi Amerika Serikat yang menuntut terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Konsekuensinya adalah dilakukannya pemilihan umum secara nasional untuk memilih wakil-wakil rakyat setelah sebelumnya menyetujui komite hak asasi manusia non pemerintah pada 8 Oktober 2007.
Dari pemaparan di atas setidaknya terdapat beberapa perbedaan mendasar yang menjadi perhatian utama penulis, yakni pengaturan mengenai kedaulatan rakyat di Indonesia dan Saudi Arabia terdapat banyak perbedaan dari sisi formil dan materil-nya. Dari segi formil, Indonesia mengatur ketentuan mengenai kedaulatan rakyat secara khusus di dalam konstitusi, sedangkan di Saudi Arabia kaidah-kaidah pokok pengaturan mengenai kedaulatan rakyat perlu dikaji lebih lanjut dari pengaturan yang ada di dalam al-Qur’an. Dari segi materil kedaulatan di Saudi Arabia diletakan pada kedaulatan tuhan daripada kedaulatan rakyat. Itu artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan Tuhan, dimana seluruh perintah perintah negara haruslah mengimplimentasikan kehendak-kehendak tuhan. Sedangkan di Indonesia, kedaulatan itu berada di tangan rakyat, meskipun kedaulatan rakyat ini berada di tengah-tengah penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Sistem Lelang Jabatan

Sistem lelang jabatan adalah istilah yang baru dipopulerkan pada tahun 2013, sejak Jakarta berada... more Sistem lelang jabatan adalah istilah yang baru dipopulerkan pada tahun 2013, sejak Jakarta berada di bawah pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dimana posisi Camat, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas dan beberapa jabatan lain diisi dengan metode sistem lelang jabatan. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 19 Tahun 2013 tentang Seleksi Terbuka Camat dan Lurah. Istilah lelang jabatan ini mengacu pada metode pengangkatan atau pengisian jabatan struktural di dalam pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Namun, penggunaan istilah ini juga sering salah kaprah, karena pengertian yang dimaksud sebenarnya adalah sistem promosi terbuka (open promotion).
Meskipun istilah ini baru mulai terdengar pada tahun 2013, tetapi sebenarnya metode pengisian jabatan struktural secara terbuka telah diatur pada tahun 2012 melalui Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Lingkungan Pemerintah. Sistem lelang jabatan ini ternyata menuai pro dan kontra di masyarakat terutama kalangan pegawai negeri sipil. Pandangan mereka yang setuju adalah dengan sistem ini nantinya akan tercipta suatu transparansi dalam pengisian jabatan struktural sehingga dapat menimalisasi adanya praktik pengangkatan yang didasarkan pada spoil system. Di sisi lain, sistem ini dianggap pula telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta dapat membuat sistem pengisian yang selama ini ada akan menjadi tidak beraturan terutama bagi para pejabat struktural yang telah bekerja didalam suatu instansi dalam waktu yang lama dan menunggu untuk diangkat dalam jabatan struktural yang lebih tinggi tetapi dengan sistem ini jabatan tersebut justru akan dilelang. Permasalahan tersebutlah yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan menjabarkan pandangan dari pihak pro dan kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Peradilan Khusus Pemilu

Permasalahan mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menja... more Permasalahan mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menjadi diskursus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal ini karena adanya lempar kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Namun, pertama-tama perlu diperhatikan terlebih dahulu mengenai perkembangan pemilihan kepala daerah. Didalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 huruf b dinyatakan bahwa,
Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai :
b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

Artinya pada masa UU ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD bukan oleh rakyat. Kemudian terjadi perubahan UU tersebut melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeirntahan Daerah, Didalam Pasal 56 UU ini dinyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung yaitu oleh rakyat. Hal ini menandai perubahan fundamental dalam mekanisme pemilihan kepala daerah yang menimbulkan konsekuensi logis munculnya kemungkinan sengketa didalam pemilihan kepala daerah ini yang salah satunya mengenai hasil pemilihan umum kepala daerah. Menurut pasal 106 UU ini penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum diselesaikan di Mahkamah Agung. Kemudian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, dimana salah satu perubahannya mempengaruhi lembaga yang berwenang memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah, yaitu pada Pasal 236C yang menyatakan,
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Wewenang MK untuk menangani sengketa hasil pemilukada juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”
Kemudian, di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 disebutkan bahwa,
“dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal ini sesuai pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008 yang memasukan pemilukada dalam rezim pemilu, sehingga konsekuensi logisnya sengketa hasil pemilukada menjadi kewenangan MK. Bahwa kemudian terhadap pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, dilakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, dimana Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang pada amarnya mengabulkan semua permohonan pemohon dan menyatakan pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian pada tahun 2014, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, dimana pada pasal 157 ayat (1) dinyatakan,
“Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.”
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 ini kemudian diubah lagi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dimana pasal 157 Ayat (3) dinyatakan,
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus
Lempar kewenangan dari MA ke MK dan sebaliknya inilah yang mendorong munculnya amanat pembentukan badan peradilan khusus. Namun, masalah penegakan hukum pemilukada tidak hanya itu saja, terdapat pula masalah terkait ketidaktaatan KPUD untuk melaksanakan Putusan PTUN ataupun masalah jangka waktu pengajuan masing-masing sengketa pemilukada yang sangat berbeda jauh tenggat waktunya. Masalah-masalah diatas ini lah yang akan diselesaikan dengan pembentukan peradilan khusus yang nantinya juga disiapkan untuk pemilukada serentak pada tahun 2027 nanti. Tetapi gagasan ini begitu saja diterima, terdapat pandangan-pandangan yang juga menolak gagasan ini dengan berbagai alasan. Perbedaan pandangan inilah yang akan dielaborasikan lebih lanjut dalam tulisan ini dengan membaginya dalam dua bagian, yaitu pandangan pro dan pandangan kontra sehingga dapat mempermudah para membaca dalam melihat dinamika perdebatan pembentukan badan peradilan khusus pemilu ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik

“Dalam proses bernegara dan berdemokrasi partai politik memegang titik sentral yang begitu fundam... more “Dalam proses bernegara dan berdemokrasi partai politik memegang titik sentral yang begitu fundamental”
Dr. Rizal Djalil – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 2014
Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, hanya dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika partai politik di dalam negara tersebut berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan partai politik memiliki peranan penting sebagai titik sentral bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau bahkan dapat mengkritisi kebjiakan pemerintah yang ada. Terlebih lagi, melalui partai politiklah rakyat dapat mendudukan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan rakyat bahkan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden juga harus diusung oleh partai politik. Mengingat pentingnya peran tersebut, partai politik harus disokong keberadaanya dan salah satu caranya adalah melalui pendanaan partai politik lewatAPBN. Dikemudian hari munculah suatu gagasan dari Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemberian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (yang selanjutnya disebut APBN) sebesar 1 Trilyun kepada partai politik dan merealisasikannya pada pemerintahan Jokowi.
Jika ditinjau secara yuridis, sejatinya bantuan dari APBN kepada partai politik itu sudah ada sejak berlakunya Undang-Undang No.31 Tahun 2002 dan kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2011 yang mana bantuan tersebut ditujukan kepada partai politik yang berhasil menempatkan calonnya pada kursi di DPR/DPRD. Lebih lanjut, berdasarkan PP No. 83/2012 lebih dipertegas bahwa besaran nominal bantuan dari APBN yang diberikan kepada partai politik sebesar Rp.108 persuara.
Dalam mosi ini Penulis memaknai pemberian dana yang dimaksud dilakukan dengan cara merubah nominal dana yang diberikan kepada partai politik yang semula Rp.108 persuara, menjadi nominal yang lebih besar berdasarkan penyesuaian kondisi riil yang ada, dengan tidak menutup sumber-sumber pendanaan lainnya seperti iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Nantinya dana tersebut tidak hanya diperuntukan bagi pendidikan politik dan operasional sekretariat partai saja, tapi diperuntukan bagi seluruh kegiatan partai politik.
Namun perlu digarisbawahi perbedaan secara harfiah antara “pendanaan” pada mosi kali ini, dan “bantuan keuangan” yang tertera pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2011. Dalam konteks “pendanaan”, maka sumber utama dan terbesar dari keuangan partai politik berasal dari APBN sedangkan iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum hanyalah bersifat komplementer saja. Sebaliknya dalam konteks “bantuan keuangan”, maka suntikan dari APBN bersifat komplementer karena hanya bantuan saja, sedangkan sumber utama dan terbesarnya berasal dari iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum.
Saat ini wacana mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik menuai banyak pujian sekaligus kecaman dari masyarakat luas terutama dari golongan akademisi, praktisi dan pegiat anti korupsi. Maka dari itu tulisan ini hadir untuk membahas mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik ditinjau dari perspektif pro dan kontra dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan rujukan yang ilmiah dan komprehensif dalam menyikapi wacana ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Dilematika Pencabutan Hak Ulayat Untuk Kepentingan Umum di Indonesia

“Janganlah cepat-cepat menetapkan bahwa tidak ada hak ulayat lagi, ataupun sebaliknya untuk terla... more “Janganlah cepat-cepat menetapkan bahwa tidak ada hak ulayat lagi, ataupun sebaliknya untuk terlalu cepat-cepat menetapkan bahwa hak ulayat masih ada”
Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini -1977
Pandangan dan konsep mengenai hak ulayat sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Bentuk dan corak mengenai hak ulayat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan dinamika perkembangan hukum adat yang menjadi landasan utamanya.
Sejatinya secara normatif, pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak ulayat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan di era reformasi. Hal tersebut dikarenakan telah diaturnya materi muatan mengenai kedudukan dan eksistensi hak ulayat yang diwujudkan dalam konstitusi negara Indonesia pada Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-2 dan kemudian diikuti dengan dibentuknya peraturan perundang-undangan terkait seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, UU No. 2 Tahun 2012. Namun sayangnya semangat tersebut masih terbatas pada law in book saja, belum diikuti hingga tataran empiris atau law in action.
Dewasa ini persoalan mengenai hak ulayat kembali menyita perhatian publik khususnya pada sengketa-sengketa yang terjadi di berbagai daerah. Permasalahan utamanya bukanlah mengenai bentuk pengakuan formal dari pada hak ulayat itu sendiri, akan tetapi justru berkenaan dengan perlindungan hak masyarakat hukum adat mengenai tanah ulayat disatu pihak dan kepentingan umum untuk pembangunan dilain pihak. Terlebih lagi di era demokrasi yang sekarang dijunjung tinggi, menyebabkan masyarakat hukum adat menjadi lebih sadar dan gigih berjuang untuk mempertahankan hak-haknya, sementara disaat yang sama pemerintah dan/atau pemerintah daerah juga semakin gencar untuk menarik minat investor.
Salah satu contohnya adalah pembebasan tanah ulayat seluas 316 hektar Nagari Mungo yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten 50 Kota, BPT-HMT, Departemen Pertanian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk mendirikan kebun pertanian daerah dan sekolah. Terkait dengan pembebasan lahan tersebut, sebelumnya telah ada diskusi dengan ninik-mamak Mungo dengan kesepakatan bahwa semua tanaman masyarakat diberi gantirugi, apabila didirikan sekolah maka anak Nagari Mungo yang diberi prioritas, apabila dibutuhkan tenaga buruh maka diambil dari anak Nagari Mungo. Namun kenyataanya sampai saat ini seluruh butir persyaratan tersebut tidak terpenuhi atau dengan sengaja tidak dipenuhi oleh pemerintah setempat.
Menurut laporan dari KOMNAS HAM, konflik agraria yang berawal dari sengketa kepentingan umum telah menjadi salah satu bentuk konflik sosial-ekonomi yang sering terjadi di Indonesia, bahkan terdapat trend peningkatan jumlah dan kompleksitas konflik yang semakin meningkat. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia datang silih berganti, dan sebagian besar yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat hukum adat dalam mempertahankan hak ulayatnya, seperti didaerah Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, Tanah Awu, Lombok Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Maka dari itu aneka permasalahan yang berkenaan dengan hak ulayat dan kepentingan umum memerlukan kajian yang komprehensif untuk didalami, kemudian dicarikan solusi konkret dan holistik yang bukan hanya melalui dimensi yuridis saja, akan tetapi juga harus dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya, seperti politis, ekonomis dan kultural agar hal yang demikian tidak berkembang menjadi suatu keresahan yang dapat menganggu stabilitas masyarakat. Maka dari itu tulisan ini akan membahas mengenai pencabutan hak ulayat untuk kepentingan umum ditinjau dari perspektif pro dan kontra, dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dan masyarakat hukum adat dalam menyikapi isu ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Hak Asasi, Pemberian Remisi  dan Terpidana Korupsi

Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan setelah Menteri Hukum dan ... more Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Revisi yang hendak dilakukan Menkumham sifatnya melonggarkan kembali mekanisme pemberian remisi bagi terpidana korupsi, yang coba diperketat oleh Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, terutama terkait dengan salah satu semangat kabinet yang dibawa Presiden Joko Widodo, yaitu nawacita yang disuarakan ketika masa kampanyenya tentang keinginan melawan korupsi bahkan sampai ke akar-akarnya. Ternyata konkritisasinya oleh Menkumham adalah wacana pelonggaran pemberian remisi kepada koruptor. Terlebih lagi, sebenarnya korupsi yang telah membudaya merupakan musuh seluruh rakyat Indonesia yang harus dihukum dengan cara yang paling berat pula.
Alasan Menkumham mengenai revisi ini adalah terkait hak koruptor yang seharusnya tidak dibedakan dengan terpidana lainnya, selain itu pandangan Menkumham dimana para koruptor telah dihukum dengan pidana yang lebih berat dibanding tindak pidana umum, sehingga pengetatan pemberian remisi dipandangan sebagai penghukuman dua kali kepada para koruptor. Pro dan kontra inilah yang kemudian menyebabkan pemberian remisi bagi terpidana korupsi menjadi diskurus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini secara komprehensif.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Menelaah Kewenangan Pra-Peradilan Dalam Memutus Penetapan Tersangka

Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjenpo... more Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjenpol Budi Gunawan menjadi awal dari perhatian media atas kewenangan Praperadilan memutus penetapan tersangka. Peristiwa ini menjadi pusat perhatian karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri tidak disebutkan bahwa penetapan tersangka adalah salah satu objek gugatan praperadilan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) KUHAP, disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitatif, wewenang praperadilan dijabarkan dalam Pasal 77 KUHAP, yang mensimbolir praperadilan sebagai suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara sah atau tidak. Selain itu, penjelasan lain di dalam KUHAP terkait praperadilan disebutkan di dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 yang menjabarkan mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Pertanyaan besar terkait isu ini adalah, dapatkah penetapan tersangka menjadi objek praperadilan yang limitatif jika penetapan status tersebut dilakukan secara tidak sah oleh penyidik dan menimbulkan kerugian bagi pihak terkait? Jika tidak, upaya apa yang dapat dilakukan terhadap proses penetapan tersangka yang tidak sah secara hukum? Tulisan ini akan membahas mengenai kewenangan praperadilan dalam penetapan status tersangka dari kedua sudut pandang, baik pro maupun kontra. Selain itu, penulis juga akan mencoba memberikan saran dan solusi terkait permasalahan ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Benarkah Alokasi Dana Desa Sebagai Upaya Untuk Memajukan Kesejahteraan Umum?

Terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa di seluruh Indonesia, Desa-Desa ini dapat d... more Terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa di seluruh Indonesia, Desa-Desa ini dapat dibedakan menjadi Desa biasa dan Desa adat. Desa merupakan cikal bakal keberadaan satuan territorial, dimulai dari satuan pemerintahan yang terbawah, yang pada akhirnya membentuk Negara. Oleh sebab itu, keberadaan Desa sangatlah penting bagi suatu Negara.
Desa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara sendiri mengakui bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Selain itu, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Isu yang sedang hangat belakangan ini terkait kemajuan dan kesejahteraan Desa adalah mengenai alokasi pendanaan bagi Desa oleh Negara. Alokasi pendanaan ini kerap kali dikenal dengan istilah Alokasi Dana Desa. Alokasi Dana Desa adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Berdasarkan Rincian Dana Desa Per Kabupaten dan Kota yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Tahun 2015, total Penetapan Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2015 mencapai 9 (sembilan) trilyun rupiah untuk seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menjanjikan minimal 1 (satu) milyar per Desa atau lebih tergantung luas Desa dan tingkat pembangunannya.
Mekanisme alokasi dana Desa berakar pada sila kelima di dalam ideologi negara yaitu Pancasila, yang menyebutkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Hal serupa juga tertuang di dalam tujuan negara Indonesia di dalam pembukaan UUD NRI 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kesejahteraan umum ini jugalah milik warga Desa. Melihat adanya kesenjangan pembangunan serta kondisi ekonomi di Desa dan kota, maka dibuatlah kebijakan alokasi dana Desa ini, sehingga Desa juga dapat mengembangkan wilayahnya agar dapat mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Solusi Atas Konflik Agraria Yang Berkepanjangan : Pembentukan Pengadilan Khusus Agraria?

Pembentukan pengadilan khusus agraria merupakan suatu isu yang terus berkembang dan didorong untu... more Pembentukan pengadilan khusus agraria merupakan suatu isu yang terus berkembang dan didorong untuk diwujudkan didalam sistem peradilan Indonesia, terutama lembaga-lembaga yang berfokus pada permasalahan agraria, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria. Isu ini semakin hangat dikarenakan penyelesaian konflik agraria selama ini hanya mendorong eskalasi kekerasan dalam penyelesaiannya serta melihat peningkatan dari konflik agraria dari tahun ke tahun menandakan perlu mekanisme yang mumpuni untuk menjawab tantangan akan kebutuhan penyelesaian yang lebih baik lagi.
Berdasarkan data yang dilansir dari KPA dari tahun 2009 hingga tahun 2014, konflik agraria terus meningkat. Peningkatan ini semakin menuntut dibentuknya pengadilan khusus agraria sebagai bentuk kepedulian dan komitmen politik pemerintah dan parlemen dalam penanganan konflik agraria. Pembentukan pengadilan khusus agraria pun mulai diwujudkan dengan masukanya RUU tentang Pengadilan Keagrarian pada program legislasi nasional (PROLEGNAS) 2010 – 2014. Namun, kandasnya RUU tersebut menunjukan bahwa pemerintah memandang belum ada urgensi dalam hal ini, sehingga mekanisme yang sekarang sudah dirasa cukup untuk dapat menyelesaikan konflik agraria. Perbedaan pandangan inilah yang akan dianalisis dari dua pemikiran, yaitu pro dan kontra terhadap pembentukan pengadilan khusus agraria.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Eksistensi Perda Syariah Dan Relasinya Dengan Konsep Otonomi Daerah

Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) belakangan merupakan topik yang hangat diperbincangkan. ... more Peraturan Daerah Syariah (Perda Syariah) belakangan merupakan topik yang hangat diperbincangkan. Eksistensi Perda Syariah didalam pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah kabupaten/kota ataupun provinsi bukan lagi menjadi hal yang aneh, contohnya Perda Sumatera Barat No. 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan Al-Qur’an dan Perda Bulukumba Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin dan masih banyak lagi. Walaupun tidak diberikan nama Perda Syariah, namun dapat dimaknai sebagai perda syariah melihat bahwa substansinya yang secara tegas mengatur mengenai syariat islam dan bersumber secara langsung dari Al-Qur’an serta hanya ditunjukan bagi pemeluk agama islam. Keberadaan perda syariah ini bukanlah tanpa kontroversi, penolakan terhadap perda syariah telah terjadi di Indonesia, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla pada masa kampanyenya menyuarakan penolakan terhadap perda syariah dan melarang kemunculan perda syariah itu sendiri kecuali di Aceh. Namun, terhadap pernyataan tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla melalui Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan ini ditentang oleh Majelis Mujadihid (MM) yang menyatakan penghapusan perda syariah adalah tindakan anti-agama yang dilandaskan pada kebohongan belaka. Kontroversi ini lah yang akan dianalisis didalam artikel hukum ini menggunakan sudut pandang baik dari pro penghapusan perda syariah maupun yang kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Tinjauan Kritis Atas Penerapan Wajib Militer Di Indonesia

Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup b... more Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sistem pertahanan negara yang diterapkan di Indonesia dikenal sebagai HANKAMRATA (pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Kata semesta dalam konteks ini berarti sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Sistem pertahanan negara Indonesia diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dimana, di dalam undang-undang tersebut, diamanatkan bahwa pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer akan dilaksanakan oleh 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen utama sendiri telah jelas terdiri atas Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan komponen cadangan dan pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Komponen utama telah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Namun demikian, komponen cadangan maupun pendukung belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Salah satu isu nasional yang sempat menjadi isu hangat beberapa tahun terakhir adalah wajib militer. Isu ini awalnya naik ke permukaan karena disusunnya Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian akan menjadi dasar hukum wajib militer bagi warga sipil di Indonesia. Wajib militer yang hendak dicanangkan ini merupakan kewajiban warga negara untuk menyumbangkan tenaganya dalam angkatan perang, yang akan diwajibkan bagi warga sipil di Indonesia. Dalam rangka persiapan wajib militer, warga akan mengikuti serangkaian pelatihan militer terlebih dahulu. Ada beberapa warga yang mendapatkan pengecualian dalam wajib militer, yaitu warga yang memiliki kecacatan fisik atau penyakit mental.
Sejatinya, wajib militer telah menjadi landasan konsep bela negara sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hanya saja, hingga saat ini, subyek wajib militer hanya merupakan komponen utama pertahanan negara saja, yaitu TNI. Pertanyaannya saat ini adalah, perlukah wajib militer juga diberlakukan bagi warga sipil dalam rangka meralisasikan perannya sebagai komponen cadangan pertahanan negara? Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai pandangan pro maupun kontra terhadap pencanangan wajib militer bagi warga sipil di Indonesia.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Imunitas Pimpinan KPK : Sebuah Perlindungan Ataukah Ancaman?

Korupsi masih marak dan menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Ko... more Korupsi masih marak dan menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index / CPI) tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Skor tersebut diperoleh dari hasil survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia. dalam Indeks Persepsi Korupsi tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-100.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Pembentukan ini didasari pada kekhawatiran bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi sebelum berdirinya KPK belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Untuk menjalankan fungsi KPK sebagaimana yang diharapkan pada awal pembentukannya, tentunya para pimpinannya sebagai ujung tombak harus dipastikan berada pada keadaan yang kondusif untuk melaksanakan peranannya.
Isu yang sedang menjadi bahan kontroversi belakangan ini adalah terkait pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Ide ini awalnya dikemukakan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, yang menganjurkan Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) yang berisi pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Latar belakang dari ide yang diwacanakan oleh Denny adalah adanya trend ‘kriminalisasi’ pimpinan KPK, yang bagi beberapa kalangan dilihat sebagai usaha untuk melumpuhkan kinerja KPK sebagai suatu institusi. Sebut saja dua dari pimpinan KPK yang dalam jangka waktu kurang dari setengah tahun ini terpaksa mundur sementara dari jabatannya akibat tersandung dugaan kasus: Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad. Selain itu, Novel Baswedan yang juga merupakan penyidik utama KPK juga tertimpa situasi yang sama.
Penahanan beberapa Pimpinan KPK dalam jangka waktu yang singkat dan berdekatan, serta momen yang tepat sejak diawalinya ketegangan hubungan antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) inilah yang memicu dugaan ‘kriminalisasi.’ Kejadian beruntun yang terjadi pada para pimpinan KPK ini diduga sebagai bentuk balas dendam pihak Polri terhadap KPK atas penetapan tersangka yang sebelumnya dilakukan oleh KPK terhadap petinggi Polri.
Oleh sebab itulah, tragedi ditahannya beberapa Pimpinan KPK ini dikhawatirkan akan membawakan dampak regresif pada kinerja KPK, dimana fokus KPK dalam memberantas korupsi tidak lagi maksimal akibat para pimpinannya terjerat permasalahan hukum. Namun betulkah hak imunitas bagi Pimpinan KPK merupakan jalan keluarnya? Artikel ini akan membahas legalitas dan dampak yang akan ditimbulkan dari pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK, baik dari segi pro maupun kontra.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Kolom Agama Dalam KTP ditinjau dari Pro dan Kontranya

Permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincan... more Permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincangkan dewasa ini. Pada awalnya semua terjadi karena berdasarkan Pasal 64 (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikatakan bahwa salah satu elemen penting yang mutlak harus diisi seseorang dalam KTP adalah kolom agama. Namun sejalan dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terdapat perubahan fundamental yang tertuang dalam Pasal 64 ayat (5)-nya bahwa :
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”
Rumusan Pasal tersebut pun senada dengan apa yang dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri yang mempertegas untuk memperbolehkan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) terhadap orang yang agama atau kepercayaanya tidak/belum diakui secara yuridis oleh Negara. Bola panas yang awalnya hanya berkutat pada pengosongan kolom agama kini telah bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini pun menuai banyak respon dari masyarakat, ada pihak yang mendukung penghapusan kolom agama dalam KTP dengan dalih kebebasan beragama yang dipelopori oleh pegiat hak asasi manusia. Namun disisi lain ada juga pihak yang justru menentang keras penghapusan kolom agama seperti organisasi Islam dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan sehingga kolom agama adalah urgen untuk tetap diadakan sebagai salah satu konsekuensi logis dari negara yang berketuhanan itu.
Mengingat peliknya permasalahan mengenai kolom agama di KTP, hal ini tentunya menarik rasa akademis Penulis untuk membahasnya secara komprehensif dari sudut pandang ilmiah. Terlebih lagi isu ini tidak hanya berbicara mengenai masalah administrasi saja, melainkan didalamnya terdapat pula masalah kebebasan beragama dan yuridis sekaligus. Sehingga membahasnya dari sudut pro dan kontra merupakan suatu hal yang arif dan bijak untuk mengetahui secara holistik permasalahan ini.

Bookmarks Related papers MentionsView impact

Research paper thumbnail of Skripsi Hukum Universitas Indonesia: TINJAUAN YURIDIS ATAS LEGAL STANDING PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

ABSTRAK Nama : Rafli Fadilah Achmad Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Tinjauan Y... more ABSTRAK

Nama : Rafli Fadilah Achmad
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Atas Legal Standing Pembubaran Partai _______Politik di Mahkamah Konstitusi

Partai Politik merupakan bagian penting dalam tatanan negara demokrasi karena merupakan manifestasi dari kebebasan berserikat yang telah mendapatkan jaminan dalam konstitusi. Akan tetapi tidak jarang partai politik dalam melaksanakan aktivitasnya keluar dari koridor yang telah diatur, sehingga cara terakhir yang harus ditempuh adalah dengan membubarkan partai politik. Skripsi ini membahas sekaligus mengkritisi legal standing permohonan pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi yang hanya diberikan kepada pemerintah saja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan pendekatan sejarah, pendekatan kasus dan perbandingan dengan dua negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa legal standing yang hanya diberikan kepada pemerintah tidak sesuai dengan aspek ilmiah dan kebutuhan ketatanegaraan Indonesia saat ini. Dimana mulai dari teori kedaulatan rakyat, teori negara hukum, dan beberapa pendekatan empiris diketahui bahwa pemberian legal standing yang hanya diberikan kepada pemerintah terbukti menuai banyak masalah. Maka dari itu perlu adanya upaya merevitalisasi masalah ini dengan merevisi Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan cara memberikan legal standing kepada Warga Negara dan Kelompok Masyarakat juga.

Kata Kunci:
Legal Standing, Partai Politik, Pembubaran, Mahkamah Konstitusi

Bookmarks Related papers MentionsView impact