Junaidi Simun | Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta (original) (raw)

Uploads

Papers by Junaidi Simun

Research paper thumbnail of FIN Hasil Evaluasi Rekomendasi 13Des

Kemerdekaan negara Indonesia yang diraih melalui bersatunya segenap komponen bangsa telah menjadi... more Kemerdekaan negara Indonesia yang diraih melalui bersatunya segenap komponen bangsa telah menjadi jembatan emas meraih masa depan terwujudnya tujuan nasional. Keberadaan organisasi negara adalah untuk mewadahi, mengatur, dan menjamin kehidupan warga negara serta mencapai cita-cita bersama sebagai satu bangsa. Negara sebagai organisasi kekuasaan diperlukan untuk melindungi kebebasan warga negara sekaligus mengatur kehidupan berbangsa sehingga perbedaan dapat dikelola menjadi suatu kerja sama, dan konflik dapat dikelola secara damai dan tertib yang akan menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa. Oleh karena itu keberadaan negara yang dilandasi persatuan bangsa sangat esensial sepanjang peradaban umat manusia. Ancaman terhadap bangsa dan negara, baik ancaman atas persatuan, kedaulatan, maupun ancaman atas keamanan, pada saat yang sama akan juga merupakan ancaman terhadap kebebasan warga negara dan kelestarian bangsa. Jika kesatuan bangsa tercabik dan negara lemah, maka perlindungan terhadap warga negara juga akan lemah. Kesatuan bangsa merupakan faktor penting dalam menjamin keberlanjutan bangsa dan kelangsungan hidup negara. Tanpa adanya kesatuan bangsa, negara tidak akan mampu menghadapi ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri. Apalagi di era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi sangat memengaruhi pola dan bentuk ancaman yang tidak lagi konvensional (fisik) melainkan telah menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, perusakan lingkungan, bahkan dampak dari penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam dua dekade terakhir misalnya, perkembangan dunia ditandai dengan munculnya ancaman baru yang bersifat ideologis yang dapat berwujud dalam tindakan kekerasan bersenjata. Ancaman itu adalah paham radikalisme dan tindakan terorisme, baik yang bersumber pada paham keagamaan ekstrem, paham keunggulan ras, maupun nasionalisme sempit. Untuk kasus Indonesia, ancaman muncul dari menguatnya radikalisme yang bersumber dari cara dan paham keagamaan yang ekstrem. Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan dan melakukan berbagai upaya untuk mengukuhkan dan menjaga kesatuan bangsa. Kebijakan dan program tersebut dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang tentu harus saling berkoordinasi dan bersinergi. Kebijakan dan program yang diimplementasikan berhadapan dengan kondisi dan dinamika masyarakat yang semakin cepat. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang berkelanjutan. Setiap kebijakan dan program perlu dievaluasi secara terus-menerus dan dilakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang berbasis pada fakta yang dianalisis secara mendalam. Penyusunan hasil evaluasi dan rekomendasi kebijakan di bidang kesatuan bangsa yang dilaksanakan oleh Kedeputian VI/Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa ini adalah wujud dari upaya serius untuk menjalankan tugas koordinasi dan sinkronisasi perumusan kebijakan di bidang kesatuan bangsa. Oleh karena itu kementerian/ lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan perlu mengkaji dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan demi peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan program.

Research paper thumbnail of Pesan Damai Pesantren: Modul Kontra Narasi

Research paper thumbnail of Mengenal Hak Asasi Manusia (HAM)

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, Uni Eropa, 2015

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pencapaian terbaik umat manusia di zaman modern. Pengalaman pahit ... more Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pencapaian terbaik umat manusia di zaman modern. Pengalaman pahit sejarah kelam umat manusia baik karena perbudakan ataupun karena kerusakan dan kekejian akibat perang dunia I dan II telah mengajarkan para pemimpin bangsa-bangsa di dunia untuk menyepakati pijakan bersama dalam mengelola perbedaan. Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan berbagai perjanjian/kovenan lainnya adalah bentuk-bentuk komitemen anggota PBB untuk hidup bersama dalam tatanan dunia yang damai. Tapi di atas segalanya, HAM memiki tujuan luhur mendorong pemerintah-pemerintah negara anggota PBB untuk memajukan berbagai upaya melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak dasar manusia demi tercapainya perikehidupan manusia yang adil, beradab dan bermartabat.

Bab 3 ini merupakan bagian dari buku "Modul Pendidikan Perdamaian Berperspektif Islam dan HAM". Bab ini membahas beberapa aspek penting mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup pengertian dan prinsip-prinsip HAM, jenis-jenis pelanggaran HAM, serta beberapa contoh kasus pelanggaran HAM. Dalam bab ini juga dibahas secara singkat sejarah kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), instrumen hukum HAM dan mekanisme penegakan HAM secara nasional maupun internasional. Terkahir Bab ini juga membahas bagaimana mekanisme HAM yang berlaku di Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Research paper thumbnail of Instrumen Monitoring Hate Speeech Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia

The Asia Foundation, CSRC UIN Jakarta, 2016

Keluarnya Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) men... more Keluarnya Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas Polri terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hate speech. Serangkaian program sosialisasi SE Kapolri di tingkat Polda dan Polres yang sudah dilaksanakan —sebagai follow up SE Kapolri— diharapkan dapat meningkatkan kepekaan aparat kepolisian di daerah untuk mencermati adanya penyebaran hate speech di lingkungan hukumnya. Lebih dari itu, mereka diharapkan dapat melakukan upaya cegah dini terjadinya kekerasan atau hate crime (kejahatan karena kebencian). Hadirnya Instrumen Monitoring Hate Speech (IM-HS) ini dimaksudkan untuk membantu aparat Polri di Tingkat Polres dalam melakukan deteksi dini hate speech dan cegah dini hate crime di daerahnya masing-masing.

Format monitoring hate speech yang ditawarkan di sini mencakup 6 (enam) pedoman kegiatan yang mencerminkan obyek dan tahapan monitoring: a) Pedoman pengumpulan data hate speech; b) Pedoman pengumpulan data pelaku hate speech; c) Pedoman pengumpulan data korban hate speech; d) Pedoman analisis frekuensi hate speech; e) Format analisis potensi bahaya hate speech; f) Format laporan hasil monitoring hate speech.

Research paper thumbnail of Perjalanan Panjang Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2007

Jauh hari sebelum disahkannya TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP M... more Jauh hari sebelum disahkannya TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, rencana perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah mulai didengungkan oleh banyak kalangan dari berbagai pihak dan profesi. Usulan ini berdasar kepada dua hal, pertama, proses persidangan selama peradilan militer berlangsung masih terkesan tertutup. Ketertutupan ini berakibat kepada kecilnya peluang masyarakat untuk mengakses informasi dengan jelas selama proses pengadilan berlangsung. Kedua, berkaitan dengan menurunnya kredibilitas peradilan militer karena dalam beberapa kasus peradilan militer belum mampu menangkap rasa keadilan rakyat dan menuangkannya dalam putusan hakim. Kondisi ini terjadi karena mahkamah militer hanya bisa mengadili sesuai dengan dakwaan yang diajukan oditur militer.

Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan kajian “Reformasi Peradilan Militer Indonesia”, yang diterbitkan IMPARSIAl tahun 2007.

Research paper thumbnail of Modul Advokasi Keamanan

CSRC UIN Jakarta, 2007

Sebelum membahas proses advokasi kebijakan di bidang keamanan dalam bab ini, ada baiknya untuk di... more Sebelum membahas proses advokasi kebijakan di bidang keamanan dalam bab ini, ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu apa itu definisi dan tujuan advokasi. Dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia, Webster New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Dalam makna itu advokasi digiatkan oleh individu, kelompok, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi rakyat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan (Nusantara: 2005, viii).

Modul advokasi ini bertujuan untuk menyajikan advokasi dalam artian yang lebih spesifik, yakni advokasi kebijakan negara di bidang keamanan. Walaupun banyak cara untuk mengkonseptualisasikan advokasi kebijakan, modul ini akan memusatkan perhatian pada avokasi yang diarahkan pada perubahan kebijakan, kedudukan atau program dari berbagai macam institusi yang mendapatkan mandat dari negara di bidang keamanan.

Research paper thumbnail of Militer sebagai Kekuatan Utama Politik Soeharto

INFID, 2008

Sejarah Indonesia era Orde Baru telah membuktikan bahwa kekuatan dominasi militer dengan dwifungs... more Sejarah Indonesia era Orde Baru telah membuktikan bahwa kekuatan dominasi militer dengan dwifungsinya telah membawa militer Indonesia tidak saja berperan dalam kompetensi dasarnya saja, namun menjadi kekuatan yang juga berhak menafsirkan dan turut campur menentukan hal lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ayal, peran ini menimbulkan ekses negatif dalam perjalanan sejarah itu sendiri, hingga sekarang.

Memasuki era reformasi, tuntutan masyarakat semakin luas agar militer Indonesia menanggalkan ideologi tersebut, dan menarik diri dari pentas politik nasional. Situasi politik ini menyebabkan pimpinan TNI, pada 12 April 2000, menegaskan bahwa tugas pokok TNI sudah berubah secara signifikan, tidak lagi mengemban tugas sosial politik, dan tidak juga mengemban tanggungjawab bidang keamanan yang [kini] sepenuhnya menjadi tanggungjawab polisi. Beberapa hari berikutnya, 20 April 2000, Panglima TNI Laksamana Widodo Adisubroto secara resmi mengumumkan penghapusan peran sosial politik TNI yang juga
dikenal dengan konsep dwifungsinya. Dengan keputusan ini, maka berakhirlah riwayat doktrin dwifungsi yang pada awal sejarahnya diterima secara luas dan dengan penuh harapan, namun pada penghujung hidupnya dikutuk dan dihujat sebagai salah satu sumber malapetaka.

Karenanya, tulisan singkat ini membatasi diri hanya membahas bagaimana proses kelahiran, perkembangan, dan implementasi ideologi dan doktrin ABRI era Orde Baru sehingga menjadi kekuatan utama politik Soeharto, dan menjadi legitimasi konstitusional bagi militer untuk melibatkan dirinya dalam wilayah sosial politik, dan kenegaraan. Tulisan ini telah diterbitkan oleh "Koran INFID" edisi Khusus Maret 2008.

Research paper thumbnail of Penyimpangan Polisi dalam Kasus Salah Tangkap

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2010

Bila kita mau jujur, fenomena penyimpangan polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum di nege... more Bila kita mau jujur, fenomena penyimpangan polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum di negeri ini sebenarnya telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yang berkali-kali terulang, menimpa berbagai kalangan di masyarakat, menjadi sorotan publik, dan menuai kecaman. Ironinya, praktik semacam itu hingga kini masih terus terjadi.

Walau reformasi internal kepolisian telah mengalami banyak perubahan, khususnya secara instrumental, namun selama satu dasawarsa reformasi (1998‐2010) ini, secara kultural institusi kepolisian masih belum menunjukkan perubahan berarti. Reformasi kultural yang diinginkan masih berjalan di tempat. Salah satunya adalah fenomena salah tangkap (error in persona) yang dilakukan aparat kepolisian, yang terkadang dalam beberapa kasus sampai merembet hingga jenjang proses peradilan selanjutnya dalam hirarki hukum pidana, yakni salah menghukum yang dilakukan oleh aparat hukum seperti kehakiman.

Tulisan ini memotret fenomena salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian selama 8 tahun, sejak 2002-2010. Tulisan ini merupakan bagian dari riset “Potret Penyimpangan Polisi di Era Reformasi”, yang diterbitkan IMPARSIAL, Juni 2010.

Research paper thumbnail of HAM dan Militerisme

Wacana “militerisme” di Indonesia demikian marak sejak reformasi bergulir, khususnya selama pemil... more Wacana “militerisme” di Indonesia demikian marak sejak reformasi bergulir, khususnya selama pemilu 2004. Saat itu, terdapat dua calon presiden dari unsur militer (purnawirawan) yang mencalonkan diri. Seiring proses pemilu yang berlangsung, salah satunya, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudoyono, terpilih menjadi Presiden RI 2004-2009. Di sisi lain, terdapat situasi paradoks di tengah masyarakat akan penolakan
terhadap calon presiden berlatarbelakang militer. Suasana tersebut disikapi dengan aksi yang marak dengan jargon menolak militer(me) di berbagai wilayah di Indonesia. Nampaknya penolakan ini tidak diiringi dengan pengetahuan yang mumpuni akan wacana militer, militerisasi, dan militerisme. Jamak kita temukan pada pemilu 2004 lalu, aksi-aksi yang menolak militerisme (baca: anti-militerisme) seringkali berakhir “bentrok” dengan aparat keamanan (polisi) dan “aparat keamanan lainnya”. Yang paling tragis adalah kasus bentrok antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dengan aparat kepolisian setempat yang terjadi Mei 2004.

Tulisan ini tidak membahas militer sebagai sebuah organisasi dalam negara beserta seluk beluknya (military science) dan berbagai regulasi yang mengaturnya agar relevan dengan kaidah-kaidah negara demokrasi. Tidak pula mengulas sejarah pembentukan militer Indonesia yang komprehensif dan utuh hingga perjalanannya saat ini. Walau usaha ini dbutuhkan untuk memahami genealogi dan konteks perkembangan militerisme di Indonesia, dan tantangan-tantangan yang dihadapi bagi upaya penghapusannya menuju masyarakat paska militer.

Tulisan ini sebagai pengantar awal untuk diskusi dan kajian lebih mendalam tentang sejauhmana hegemoni ”militerisme” atas truktur kesadaran masyarakat sipil dan pengaruhnya terhadap upaya membangun kesadaran masyarakat paska militer yang demokratis dan upaya membangun militer yang profesional sesuai tuntutan negara demokratik dan hak asasi manusia (HAM). Tulisan juga mengurai mengenai HAM dan hubungannya dengan militer di Indonesia, termasuk kenapa aparat militer dalam beberapa waktu yang lalu selalu identik dengan pelanggaran HAM.

Research paper thumbnail of Bisnis Militer di Balik Tragedi Alastlogo

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2009

Api dalam sekam kembali membara akibat konflik berdarah antara TNI vs warga sipil! Peristiwa ters... more Api dalam sekam kembali membara akibat konflik berdarah antara TNI vs warga sipil! Peristiwa tersebut terjadi di Alastlogo, Pasuruan, 30 Mei 2007 lalu. Akibat dari kejadian ini, empat warga sipil meninggal dan tujuh orang luka-luka setelah marinir TNI AL menembakkan pelor panas ke arah warga. Buntut dari kejadian ini, 13 anggota marinir ditahan dan komandan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) dicopot. Pangkal soal dalam kasus ini, sengketa tanah dan praktek bisnis serdadu dengan modus penyewaan lahan!

Dalam catatan Konsorrsium Pembaruan Agraria (KPA) saja, dari 1.753 kasus (1970-2001), pihak militer termasuk yang paling sering berhadapan dengan rakyat. Tak kurang dari 29 persen kasus agraria melibatkan institusi militer. Akibatnya, banyak jatuh korban.

Tulisan ini merupakan bahan riset IMPARSIAl yang diterbitkan menjadi buku berjudul “Politik Militer dalam Penguasaan Tanah (Belajar dari Tragedi Pasuruan, 2007)”, Februari 2009.

Research paper thumbnail of Aktifitas Munir dalam Mempengaruhi Kebijakan Negara

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2007

Rencana pemberian bantuan dalam bentuk kerjasama militer oleh Amerika Serikat ke Indonesia menimb... more Rencana pemberian bantuan dalam bentuk kerjasama militer oleh Amerika Serikat ke Indonesia menimbulkan keresahan di kalangan beberapa aktivis gerakan masyarakat sipil dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air, khususnya Munir.

Keresahan kalangan aktivis bukannya tanpa alasan. Pembekuan bantuan militer AS di Indonesia selama ini tidak ubahnya sebuah dukungan moral bagi para pejuang HAM di Tanah Air. Bantuan kerja sama militer itu bukan hanya dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer dan kepolisian di masa lalu, tetapi sekaligus menjadi legitimasi bahwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi tidak perlu dipersoalkan lagi.

Bahan tulisan ini merupakan Bab II dari buku yang mengulas tentang Munir, ”Test of Our History???”, yang diterbitkan Imparsial tahun 2007.

Research paper thumbnail of Strategi dan Program Penguatan Toleransi Kemenko PMK

Dari sisi kebijakan dan regulasi politik, hingga saat tulisan ini dipersiapkan belum ada kebijaka... more Dari sisi kebijakan dan regulasi politik, hingga saat tulisan ini dipersiapkan belum ada kebijakan yang secara spesifik fokus pada upaya pengembangan dan penguatan toleransi, penanggulangan intoleransi, dan kontra radikalisasi yang berfungsi melibatkan, mensinkronkan dan mengendalikan lintas kementerian/lembaga negara maupun pihak terkait lainnya (non-state actors) secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik, khususnya yang dilakukan oleh Kemenko PMK. Kebijakan dimaksud dapat dikatakan masih kosong.

Tulisan dipersiapkan untuk bahan diskusi dalam “Diskusi Ahli Penyusunan Policy Brief Strategi Nasional Penanggulangan Intoleransi” yang diselenggarakan Wahid Foundation, Jakarta, 6 Juli 2018.

Research paper thumbnail of Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, Uni Eropa, 2015

Kasus bentrokan antarwarga yang dipicu masalah kriminalitas, isu aliran sesat, konflik pendirian ... more Kasus bentrokan antarwarga yang dipicu masalah kriminalitas, isu aliran sesat, konflik pendirian rumah ibadah —terutama penyerangan dan perusakan gereja— menjadi fokus utama dalam penelitian di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Surakarta, Sragen, Sukoharjo, dan di Temanggung. Tak jarang ketegangan yang terjadi di beberapa tempat tersebut berujung pada tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda, luka berat dan ringan, serta meninggalkan trauma pada warga. Konflik-konflik tersebut jika dirunut jejaknya ke belakang memiliki sejarahnya sendiri yang kompleks seperti di Surakarta dan sekitarnya. Sementara untuk sebagian kasus, seperti konflik di Sragen dan Temanggung, hanya merupakan letupan seketika.

Laporan penelitian ini memaparkan konflik yang terjadi, sejarah ringkas, skala, dan eksesnya terhadap kehidupan sosial dan keagamaan di wilayah penelitian di Jawa Tengah. Dari paparan tersebut akan tergambar apakah konflik-konflik yang terjadi merupakan percikan belaka dari dinamika hubungan antarumat beragama, persoalan kriminal, atau bahkan lebih serius lagi, yaitu pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Laporan penelitian ini juga menemukan fakta bahwa kerja-kerja kemanusiaan dan dialog antar iman (interfaith and interreligous dialogue) intensif dilakukan oleh sekelompok masyarakat di wilayah Salatiga dan Semarang.

Research paper thumbnail of Kekerasan Berlebih Aparat Keamanan

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2011

Indonesia telah memasuki dasawarsa kedua reformasi. Era dimana perbaikan dan revitalisasi lembaga... more Indonesia telah memasuki dasawarsa kedua reformasi. Era dimana perbaikan dan revitalisasi lembaga negara menjadi syarat mutlak amanat reformasi. Termasuk dalam hal ini adalah institusi militer (TNI) dan lembaga kepolisian (Polri) yang fungsi dan tugasnya di bidang pertahanan dan keamanan. TNI mempunyai fungsi dan tugas di bidang pertahanan, sementara Polri di bidang keamanan dan penegakan hukum. Tujuan dari reformasi kedua lembaga ini tentu saja adalah bagaimana mendorong aparat TNI dan Polri yang profesional, menjunjung tinggi dan menghormati HAM, dan bergerak dalam kerangka demokratik. Agar kedua institusi negara di bidang keamanan ini lebih
humanis dalam bekerja.

Meskipun dalam proses penegakan hukum boleh melakukan kekerasan, sebetulnya terdapat aturan prosedural bagi kepolisian tentang bagaimana dan kapan seorang anggota polisi dapat menggunakan kekerasan. Dan bila hal tersebut dilanggar, atau tidak mengikuti tata aturan prosedur yang ada, aparat kepolisian yang melakukan kekerasan dapat dijatuhi sanksi atau hukuman, baik berupa pelanggaran kode etik
dengan sanksi administratif atau bahkan sampai pada sanksi pidana dan pemecatan atau pemberhentian. Praktik kekerasan yang menyalahi aturan prosedural kepolisian jelas bertentangan dengan tujuan penegakan hukum yang adil, bahkan malah mencederai rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan data yang diolah IMPARSIAL, selama tahun 2010 setidaknya terdapat 35 kasus kekerasan berlebih yang dilakukan aparat Kepolisian yang menjadi sorotan. Kekerasan tersebut tidak hanya mengakibatkan luka, tetapi juga hilangnya nyawa korban. Setidaknya, 13 korban jiwa meninggal dalam beberapa kasus kekerasan polisi selama 2010. Mereka yang menjadi korban umumnya mengalami luka akibat penganiayaan, atau korban penembakan sewenang-wenang di luar prosedur yang berlaku di lingkungan kepolisian.

Tulisan ini merupakan bagian dari Catatan Akhir Tahun (Catahu) IMPARSIAL Tahun 2010 “Oligarki Politik Menghambat Penegakan Hukum dan HAM”, yang dirilis 11 Januari 2011.

Research paper thumbnail of Dinamika Penyelesaian Konflik di Daerah

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2006

Memasuki tahun 2006, upaya pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di bebera... more Memasuki tahun 2006, upaya pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di beberapa daerah yang rawan konflik sebelumnya masih juga belum beranjak dari pola pendekatan bersifat struktural, dengan memanfaatkan struktur pemerintah pusat untuk terlibat dalam berbagai upaya penyelesaian konflik. Mulai dari keterlibatan lembaga kepresidenan hingga aparat pemerintahan daerah. Masih belum terlihat upaya pendekatan kepada kemunitas kultural yang ada. Demikian pula yang terjadi pada wilayah hukum. Upaya hukum terhadap para ‘pelaku’ di balik konflik yang terjadi masih juga belum tersentuh sesuai harapan. Justru setelah sekian lama konflik terjadi, upaya pemerintah masih ‘jalan di tempat’ dalam mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi. Upaya yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan saja dengan memberikan ‘insentif politik’, berupa kebijakan-kebijakan populis.

Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan Laporan HAM 2006 IMPARSIAL ”The Absence of the Sense of Rights”, bab ’Kondisi HAM’.

Research paper thumbnail of Antara Konflik dan Wujud Baru Demokratisasi di Daerah

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2005

Sejak Juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemer... more Sejak Juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/wali kota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, pada Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.

Esensi dari pilkada adalah local voice dan local choice dan merupakan wacana untuk menghormati rasionalitas publik sekaligus untuk membangun mekanis bottom up yang dalam penyelenggaraannya tidak melupakan unsur kedaerahan yang diharapkan bisa mengikis sikap
apatisme masyarakat terhadap politik.

Penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem pilkada langsung dengan sistem pemerintahan negara berbentuk federasi. Pilkada langsung di Indonesia dilatarbelakangi format pemerintahan negara kesatuan (NKRI). Perbedaan tersebut lebih berakar dari format pilkada langsung sebagai bagian dari desentralisasi atau dalam bahasa Mahkamah Konstitusi, pilkada bukan merupakan rezim pemilu melainkan rezim pemerintahan daerah.

Sebanyak 173 kabupaten/kota dan 8 provinsi yang melaksanakan pilkada langsung pada tahap awal, Juni 2005. Selama 2005, termasuk yang mengadakan pilkada bulan Juni setidaknya ada 226 daerah yang menyelenggarakan pilkada, yaitu 11 provinsi, 180 kabupaten, dan 35 kota. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) mempunyai kabupaten terbanyak yang akan melakukan pilkada, yaitu 17 kabupaten di NAD dan 18 kabupaten di Sumut. Dalam rencana awal, perhelatan itu membutuhkan dana sekitar Rp 1,25 triliun, 50 persen jadi beban APBN, dan 50 persen lainnya dibebankan pada APBD. Di kawasan timur Indonesia saja, di 10 provinsi digelar 60 pilkada, yakni di Sulawesi Utara (enam daerah termasuk pilkada gubernur), Sulawesi Tengah (empat daerah), Sulawesi Selatan (10 daerah), Sulawesi Barat (dua daerah), Sulawesi Tenggara (lima daerah), Gorontalo (tiga daerah), Maluku (tiga daerah), Maluku Utara (tujuh daerah), Papua (13 daerah), dan Irian Jaya Barat (tujuh daerah). Pilkada kali pertama ini diikuti oleh seluruh partai politik peserta pemilu 2004.

Tulisan ini dipersiapkan untuk Catatan HAM IMPARSIAL 2005 yang berjudul “Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM”, bab ‘Kondisi Sosial Politik’.

Research paper thumbnail of Implementasi Prinsip Supremasi Sipil

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2009

Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melal... more Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Pengendalian oleh pejabat sipil memungkinkan suatu bangsa mengembangkan nilai-nilai, lembaga-lembaga, dan praktek-praktek berdasarkan kehendak rakyat banyak dan bukan atas keinginan para pemimpin militer.

Implementasi prinsip supremasi sipil dalam kebijakan pertahanan menjadi penting dalam kaitan membangun format relasi sipil-militer terutama di masa transisi demokrasi. Kualitasnya akan sangat berpengaruh pada kualitas keberhasilan dalam membangun demokrasi dan formatnya, seyogiyanya mengacu pada konsep supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military). Konsep ini bukanlah sekedar supremasi orang-orang sipil terhadap personel-personel militer karena prinsip ini menjunjung tinggi keputusan-keputusan politik dari the elected politicians sebagai pelaksana dari asas kedaulatan rakyat. Pengertian lain tentang supremasi sipil berarti antitesis dari dominasi militer melalui doktrin dwifungsi ABRI.

Tulisan ini merupakan bahan untuk riset IMPARSIAL seputar ‘Tragedi Puslatpur di Pasuruan’. dan telah diterbitkan menjadi buku berjudul “Politik Militer dalam Penguasaan Tanah (Belajar dari Tragedi Pasuruan,
2007)”, tahun 2009.

Research paper thumbnail of Bisnis Militer Mencari Legitimasi

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2005

Keterlibatan Militer dalam bidang ekonomi tak terlepas dari peran ganda yang diperankan militer I... more Keterlibatan Militer dalam bidang ekonomi tak terlepas dari peran ganda yang diperankan militer Indonesia, yang umum dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Dua aspek yang menonjol dalam diri militer tercermin dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI yang pertama kali dipatenkan oleh Jenderal TNI A H Nasution adalah peran militer sebagai sebuah kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran strategis yang berkaitan dengan kekaryaan. Bidang kekaryaan ini meliputi dua aspek penting dalam rentang keterlibatan politik ekonomi militer Indonesia: kekaryaan di bidang sosial-ekonomi dan sosial-politik. Seiring siklus perubahan suhu politik, keterlibatan militer dalam ranah ekonomi selalu paralel dengan adagium demi kesejateraan prajurit dan untuk menutupi anggaran militer yang hanya 30 % dari APBN sebagaimana halnya adagium demi stabilitas nasional dalam keterlibatan militer di ranah sosial-politik.

Tulisan ini merupakan bagian dari buku Perjalanan Advokasi RUU TNI [Tidak Berpolitik dan Tidak Berbisnis, yang diterbitkan IMPARSIAL, 2005.

Research paper thumbnail of Marjinalisasi Minoritas Keagamaan di Tasikmalaya

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2012

Konflik sosial yang berlatarbelakang keagamaan di wilayah Tasikmalaya tidaklah dapat dikatakan se... more Konflik sosial yang berlatarbelakang keagamaan di wilayah Tasikmalaya tidaklah dapat dikatakan sebagai konflik yang bersifat terbuka dan melibatkan banyak aktor/pelaku. Embrionya pun tidak dapat ditelusuri jauh ke belakang sebelum reformasi. Apalagi bila melibatkan Jemaat Ahmadiyah di dalamnya sebagai korban konflik. Konflik keagamaan yang melibatkan Jemaat Ahmadiyah justru terjadi sejak masa reformasi, khususnya memasuki awal-awal tahun 2000-an.

Tulisan ini merupakan Laporan Penelitian "Peran Aktor Keamanan dalam Memelihara Kemajemukan di Indonesia (Tasikmalaya)" yang diterbitkan menjadi Buku Negara di Bawah Bayang Otoritas Agama: Problematika Peran Negara dalam Menangani Intoleransi Keagamaan (Studi Kasus Jawa Barat), IMPARSIAL, Desember 2012.

Books by Junaidi Simun

Research paper thumbnail of Laporan Publik Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2022

Sekretariat Bersama RAN PE, 2022

Pelaksanaan RAN PE telah memasuki tahun ketiga sejak ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tah... more Pelaksanaan RAN PE telah memasuki tahun ketiga sejak ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada 7 Januari 2021 silam. Tujuan utama pelaksanaan RAN PE adalah untuk menjamin pemenuhan hak atas rasa aman seluruh masyarakat yang diwujudkan melalui pelaksanaan aksi-aksi nyata yang terpadu dan sinergis antar-pemangku kepentingan, baik antar-kelembagaan pemerintah tingkat pusat, maupun antar pemerintah pusat dan daerah, serta antar-pemerintah dan masyarakat.

Laporan Pelaksanaan RAN PE Tahun 2022 untuk Publik ini diharapkan dapat memberikan informasi seluruh capaian secara terintegrasi, baik capaian pelaksanaan RAN PE di tingkat Kementerian/Lembaga dan capaian pelaksanaan RAN PE di tingkat daerah maupun masyarakat melalui program dan kegiatan Pokja Tematis. Laporan Pelaksanaan RAN PE tahun 2022 juga dimaksudkan untuk mendeskripsikan berbagai dampak positif yang dihasilkan selama periode pelaksanaan RAN PE tahun 2022.

Penetapan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE ini diharapkan dapat memperkuat kebijakan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya, khususnya dalam upaya mencegah potensi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme yang berkembang di Indonesia melalui aksi nyata yang terintegrasi dan terpadu dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, serta memperkuat koordinasi antar lembaga pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lainnya termasuk peran serta masyarakat sipil.

Research paper thumbnail of FIN Hasil Evaluasi Rekomendasi 13Des

Kemerdekaan negara Indonesia yang diraih melalui bersatunya segenap komponen bangsa telah menjadi... more Kemerdekaan negara Indonesia yang diraih melalui bersatunya segenap komponen bangsa telah menjadi jembatan emas meraih masa depan terwujudnya tujuan nasional. Keberadaan organisasi negara adalah untuk mewadahi, mengatur, dan menjamin kehidupan warga negara serta mencapai cita-cita bersama sebagai satu bangsa. Negara sebagai organisasi kekuasaan diperlukan untuk melindungi kebebasan warga negara sekaligus mengatur kehidupan berbangsa sehingga perbedaan dapat dikelola menjadi suatu kerja sama, dan konflik dapat dikelola secara damai dan tertib yang akan menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa. Oleh karena itu keberadaan negara yang dilandasi persatuan bangsa sangat esensial sepanjang peradaban umat manusia. Ancaman terhadap bangsa dan negara, baik ancaman atas persatuan, kedaulatan, maupun ancaman atas keamanan, pada saat yang sama akan juga merupakan ancaman terhadap kebebasan warga negara dan kelestarian bangsa. Jika kesatuan bangsa tercabik dan negara lemah, maka perlindungan terhadap warga negara juga akan lemah. Kesatuan bangsa merupakan faktor penting dalam menjamin keberlanjutan bangsa dan kelangsungan hidup negara. Tanpa adanya kesatuan bangsa, negara tidak akan mampu menghadapi ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri. Apalagi di era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi sangat memengaruhi pola dan bentuk ancaman yang tidak lagi konvensional (fisik) melainkan telah menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, perusakan lingkungan, bahkan dampak dari penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam dua dekade terakhir misalnya, perkembangan dunia ditandai dengan munculnya ancaman baru yang bersifat ideologis yang dapat berwujud dalam tindakan kekerasan bersenjata. Ancaman itu adalah paham radikalisme dan tindakan terorisme, baik yang bersumber pada paham keagamaan ekstrem, paham keunggulan ras, maupun nasionalisme sempit. Untuk kasus Indonesia, ancaman muncul dari menguatnya radikalisme yang bersumber dari cara dan paham keagamaan yang ekstrem. Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan dan melakukan berbagai upaya untuk mengukuhkan dan menjaga kesatuan bangsa. Kebijakan dan program tersebut dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang tentu harus saling berkoordinasi dan bersinergi. Kebijakan dan program yang diimplementasikan berhadapan dengan kondisi dan dinamika masyarakat yang semakin cepat. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang berkelanjutan. Setiap kebijakan dan program perlu dievaluasi secara terus-menerus dan dilakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang berbasis pada fakta yang dianalisis secara mendalam. Penyusunan hasil evaluasi dan rekomendasi kebijakan di bidang kesatuan bangsa yang dilaksanakan oleh Kedeputian VI/Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa ini adalah wujud dari upaya serius untuk menjalankan tugas koordinasi dan sinkronisasi perumusan kebijakan di bidang kesatuan bangsa. Oleh karena itu kementerian/ lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan perlu mengkaji dan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan demi peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan program.

Research paper thumbnail of Pesan Damai Pesantren: Modul Kontra Narasi

Research paper thumbnail of Mengenal Hak Asasi Manusia (HAM)

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, Uni Eropa, 2015

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pencapaian terbaik umat manusia di zaman modern. Pengalaman pahit ... more Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pencapaian terbaik umat manusia di zaman modern. Pengalaman pahit sejarah kelam umat manusia baik karena perbudakan ataupun karena kerusakan dan kekejian akibat perang dunia I dan II telah mengajarkan para pemimpin bangsa-bangsa di dunia untuk menyepakati pijakan bersama dalam mengelola perbedaan. Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan berbagai perjanjian/kovenan lainnya adalah bentuk-bentuk komitemen anggota PBB untuk hidup bersama dalam tatanan dunia yang damai. Tapi di atas segalanya, HAM memiki tujuan luhur mendorong pemerintah-pemerintah negara anggota PBB untuk memajukan berbagai upaya melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak dasar manusia demi tercapainya perikehidupan manusia yang adil, beradab dan bermartabat.

Bab 3 ini merupakan bagian dari buku "Modul Pendidikan Perdamaian Berperspektif Islam dan HAM". Bab ini membahas beberapa aspek penting mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup pengertian dan prinsip-prinsip HAM, jenis-jenis pelanggaran HAM, serta beberapa contoh kasus pelanggaran HAM. Dalam bab ini juga dibahas secara singkat sejarah kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), instrumen hukum HAM dan mekanisme penegakan HAM secara nasional maupun internasional. Terkahir Bab ini juga membahas bagaimana mekanisme HAM yang berlaku di Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Research paper thumbnail of Instrumen Monitoring Hate Speeech Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia

The Asia Foundation, CSRC UIN Jakarta, 2016

Keluarnya Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) men... more Keluarnya Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas Polri terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh hate speech. Serangkaian program sosialisasi SE Kapolri di tingkat Polda dan Polres yang sudah dilaksanakan —sebagai follow up SE Kapolri— diharapkan dapat meningkatkan kepekaan aparat kepolisian di daerah untuk mencermati adanya penyebaran hate speech di lingkungan hukumnya. Lebih dari itu, mereka diharapkan dapat melakukan upaya cegah dini terjadinya kekerasan atau hate crime (kejahatan karena kebencian). Hadirnya Instrumen Monitoring Hate Speech (IM-HS) ini dimaksudkan untuk membantu aparat Polri di Tingkat Polres dalam melakukan deteksi dini hate speech dan cegah dini hate crime di daerahnya masing-masing.

Format monitoring hate speech yang ditawarkan di sini mencakup 6 (enam) pedoman kegiatan yang mencerminkan obyek dan tahapan monitoring: a) Pedoman pengumpulan data hate speech; b) Pedoman pengumpulan data pelaku hate speech; c) Pedoman pengumpulan data korban hate speech; d) Pedoman analisis frekuensi hate speech; e) Format analisis potensi bahaya hate speech; f) Format laporan hasil monitoring hate speech.

Research paper thumbnail of Perjalanan Panjang Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2007

Jauh hari sebelum disahkannya TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP M... more Jauh hari sebelum disahkannya TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, rencana perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah mulai didengungkan oleh banyak kalangan dari berbagai pihak dan profesi. Usulan ini berdasar kepada dua hal, pertama, proses persidangan selama peradilan militer berlangsung masih terkesan tertutup. Ketertutupan ini berakibat kepada kecilnya peluang masyarakat untuk mengakses informasi dengan jelas selama proses pengadilan berlangsung. Kedua, berkaitan dengan menurunnya kredibilitas peradilan militer karena dalam beberapa kasus peradilan militer belum mampu menangkap rasa keadilan rakyat dan menuangkannya dalam putusan hakim. Kondisi ini terjadi karena mahkamah militer hanya bisa mengadili sesuai dengan dakwaan yang diajukan oditur militer.

Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan kajian “Reformasi Peradilan Militer Indonesia”, yang diterbitkan IMPARSIAl tahun 2007.

Research paper thumbnail of Modul Advokasi Keamanan

CSRC UIN Jakarta, 2007

Sebelum membahas proses advokasi kebijakan di bidang keamanan dalam bab ini, ada baiknya untuk di... more Sebelum membahas proses advokasi kebijakan di bidang keamanan dalam bab ini, ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu apa itu definisi dan tujuan advokasi. Dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia, Webster New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Dalam makna itu advokasi digiatkan oleh individu, kelompok, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi rakyat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan (Nusantara: 2005, viii).

Modul advokasi ini bertujuan untuk menyajikan advokasi dalam artian yang lebih spesifik, yakni advokasi kebijakan negara di bidang keamanan. Walaupun banyak cara untuk mengkonseptualisasikan advokasi kebijakan, modul ini akan memusatkan perhatian pada avokasi yang diarahkan pada perubahan kebijakan, kedudukan atau program dari berbagai macam institusi yang mendapatkan mandat dari negara di bidang keamanan.

Research paper thumbnail of Militer sebagai Kekuatan Utama Politik Soeharto

INFID, 2008

Sejarah Indonesia era Orde Baru telah membuktikan bahwa kekuatan dominasi militer dengan dwifungs... more Sejarah Indonesia era Orde Baru telah membuktikan bahwa kekuatan dominasi militer dengan dwifungsinya telah membawa militer Indonesia tidak saja berperan dalam kompetensi dasarnya saja, namun menjadi kekuatan yang juga berhak menafsirkan dan turut campur menentukan hal lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ayal, peran ini menimbulkan ekses negatif dalam perjalanan sejarah itu sendiri, hingga sekarang.

Memasuki era reformasi, tuntutan masyarakat semakin luas agar militer Indonesia menanggalkan ideologi tersebut, dan menarik diri dari pentas politik nasional. Situasi politik ini menyebabkan pimpinan TNI, pada 12 April 2000, menegaskan bahwa tugas pokok TNI sudah berubah secara signifikan, tidak lagi mengemban tugas sosial politik, dan tidak juga mengemban tanggungjawab bidang keamanan yang [kini] sepenuhnya menjadi tanggungjawab polisi. Beberapa hari berikutnya, 20 April 2000, Panglima TNI Laksamana Widodo Adisubroto secara resmi mengumumkan penghapusan peran sosial politik TNI yang juga
dikenal dengan konsep dwifungsinya. Dengan keputusan ini, maka berakhirlah riwayat doktrin dwifungsi yang pada awal sejarahnya diterima secara luas dan dengan penuh harapan, namun pada penghujung hidupnya dikutuk dan dihujat sebagai salah satu sumber malapetaka.

Karenanya, tulisan singkat ini membatasi diri hanya membahas bagaimana proses kelahiran, perkembangan, dan implementasi ideologi dan doktrin ABRI era Orde Baru sehingga menjadi kekuatan utama politik Soeharto, dan menjadi legitimasi konstitusional bagi militer untuk melibatkan dirinya dalam wilayah sosial politik, dan kenegaraan. Tulisan ini telah diterbitkan oleh "Koran INFID" edisi Khusus Maret 2008.

Research paper thumbnail of Penyimpangan Polisi dalam Kasus Salah Tangkap

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2010

Bila kita mau jujur, fenomena penyimpangan polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum di nege... more Bila kita mau jujur, fenomena penyimpangan polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum di negeri ini sebenarnya telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yang berkali-kali terulang, menimpa berbagai kalangan di masyarakat, menjadi sorotan publik, dan menuai kecaman. Ironinya, praktik semacam itu hingga kini masih terus terjadi.

Walau reformasi internal kepolisian telah mengalami banyak perubahan, khususnya secara instrumental, namun selama satu dasawarsa reformasi (1998‐2010) ini, secara kultural institusi kepolisian masih belum menunjukkan perubahan berarti. Reformasi kultural yang diinginkan masih berjalan di tempat. Salah satunya adalah fenomena salah tangkap (error in persona) yang dilakukan aparat kepolisian, yang terkadang dalam beberapa kasus sampai merembet hingga jenjang proses peradilan selanjutnya dalam hirarki hukum pidana, yakni salah menghukum yang dilakukan oleh aparat hukum seperti kehakiman.

Tulisan ini memotret fenomena salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian selama 8 tahun, sejak 2002-2010. Tulisan ini merupakan bagian dari riset “Potret Penyimpangan Polisi di Era Reformasi”, yang diterbitkan IMPARSIAL, Juni 2010.

Research paper thumbnail of HAM dan Militerisme

Wacana “militerisme” di Indonesia demikian marak sejak reformasi bergulir, khususnya selama pemil... more Wacana “militerisme” di Indonesia demikian marak sejak reformasi bergulir, khususnya selama pemilu 2004. Saat itu, terdapat dua calon presiden dari unsur militer (purnawirawan) yang mencalonkan diri. Seiring proses pemilu yang berlangsung, salah satunya, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudoyono, terpilih menjadi Presiden RI 2004-2009. Di sisi lain, terdapat situasi paradoks di tengah masyarakat akan penolakan
terhadap calon presiden berlatarbelakang militer. Suasana tersebut disikapi dengan aksi yang marak dengan jargon menolak militer(me) di berbagai wilayah di Indonesia. Nampaknya penolakan ini tidak diiringi dengan pengetahuan yang mumpuni akan wacana militer, militerisasi, dan militerisme. Jamak kita temukan pada pemilu 2004 lalu, aksi-aksi yang menolak militerisme (baca: anti-militerisme) seringkali berakhir “bentrok” dengan aparat keamanan (polisi) dan “aparat keamanan lainnya”. Yang paling tragis adalah kasus bentrok antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dengan aparat kepolisian setempat yang terjadi Mei 2004.

Tulisan ini tidak membahas militer sebagai sebuah organisasi dalam negara beserta seluk beluknya (military science) dan berbagai regulasi yang mengaturnya agar relevan dengan kaidah-kaidah negara demokrasi. Tidak pula mengulas sejarah pembentukan militer Indonesia yang komprehensif dan utuh hingga perjalanannya saat ini. Walau usaha ini dbutuhkan untuk memahami genealogi dan konteks perkembangan militerisme di Indonesia, dan tantangan-tantangan yang dihadapi bagi upaya penghapusannya menuju masyarakat paska militer.

Tulisan ini sebagai pengantar awal untuk diskusi dan kajian lebih mendalam tentang sejauhmana hegemoni ”militerisme” atas truktur kesadaran masyarakat sipil dan pengaruhnya terhadap upaya membangun kesadaran masyarakat paska militer yang demokratis dan upaya membangun militer yang profesional sesuai tuntutan negara demokratik dan hak asasi manusia (HAM). Tulisan juga mengurai mengenai HAM dan hubungannya dengan militer di Indonesia, termasuk kenapa aparat militer dalam beberapa waktu yang lalu selalu identik dengan pelanggaran HAM.

Research paper thumbnail of Bisnis Militer di Balik Tragedi Alastlogo

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2009

Api dalam sekam kembali membara akibat konflik berdarah antara TNI vs warga sipil! Peristiwa ters... more Api dalam sekam kembali membara akibat konflik berdarah antara TNI vs warga sipil! Peristiwa tersebut terjadi di Alastlogo, Pasuruan, 30 Mei 2007 lalu. Akibat dari kejadian ini, empat warga sipil meninggal dan tujuh orang luka-luka setelah marinir TNI AL menembakkan pelor panas ke arah warga. Buntut dari kejadian ini, 13 anggota marinir ditahan dan komandan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) dicopot. Pangkal soal dalam kasus ini, sengketa tanah dan praktek bisnis serdadu dengan modus penyewaan lahan!

Dalam catatan Konsorrsium Pembaruan Agraria (KPA) saja, dari 1.753 kasus (1970-2001), pihak militer termasuk yang paling sering berhadapan dengan rakyat. Tak kurang dari 29 persen kasus agraria melibatkan institusi militer. Akibatnya, banyak jatuh korban.

Tulisan ini merupakan bahan riset IMPARSIAl yang diterbitkan menjadi buku berjudul “Politik Militer dalam Penguasaan Tanah (Belajar dari Tragedi Pasuruan, 2007)”, Februari 2009.

Research paper thumbnail of Aktifitas Munir dalam Mempengaruhi Kebijakan Negara

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2007

Rencana pemberian bantuan dalam bentuk kerjasama militer oleh Amerika Serikat ke Indonesia menimb... more Rencana pemberian bantuan dalam bentuk kerjasama militer oleh Amerika Serikat ke Indonesia menimbulkan keresahan di kalangan beberapa aktivis gerakan masyarakat sipil dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air, khususnya Munir.

Keresahan kalangan aktivis bukannya tanpa alasan. Pembekuan bantuan militer AS di Indonesia selama ini tidak ubahnya sebuah dukungan moral bagi para pejuang HAM di Tanah Air. Bantuan kerja sama militer itu bukan hanya dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer dan kepolisian di masa lalu, tetapi sekaligus menjadi legitimasi bahwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi tidak perlu dipersoalkan lagi.

Bahan tulisan ini merupakan Bab II dari buku yang mengulas tentang Munir, ”Test of Our History???”, yang diterbitkan Imparsial tahun 2007.

Research paper thumbnail of Strategi dan Program Penguatan Toleransi Kemenko PMK

Dari sisi kebijakan dan regulasi politik, hingga saat tulisan ini dipersiapkan belum ada kebijaka... more Dari sisi kebijakan dan regulasi politik, hingga saat tulisan ini dipersiapkan belum ada kebijakan yang secara spesifik fokus pada upaya pengembangan dan penguatan toleransi, penanggulangan intoleransi, dan kontra radikalisasi yang berfungsi melibatkan, mensinkronkan dan mengendalikan lintas kementerian/lembaga negara maupun pihak terkait lainnya (non-state actors) secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik, khususnya yang dilakukan oleh Kemenko PMK. Kebijakan dimaksud dapat dikatakan masih kosong.

Tulisan dipersiapkan untuk bahan diskusi dalam “Diskusi Ahli Penyusunan Policy Brief Strategi Nasional Penanggulangan Intoleransi” yang diselenggarakan Wahid Foundation, Jakarta, 6 Juli 2018.

Research paper thumbnail of Laporan Penelitian Conflict Analysis Mapping di Jawa Tengah

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, Uni Eropa, 2015

Kasus bentrokan antarwarga yang dipicu masalah kriminalitas, isu aliran sesat, konflik pendirian ... more Kasus bentrokan antarwarga yang dipicu masalah kriminalitas, isu aliran sesat, konflik pendirian rumah ibadah —terutama penyerangan dan perusakan gereja— menjadi fokus utama dalam penelitian di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Surakarta, Sragen, Sukoharjo, dan di Temanggung. Tak jarang ketegangan yang terjadi di beberapa tempat tersebut berujung pada tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda, luka berat dan ringan, serta meninggalkan trauma pada warga. Konflik-konflik tersebut jika dirunut jejaknya ke belakang memiliki sejarahnya sendiri yang kompleks seperti di Surakarta dan sekitarnya. Sementara untuk sebagian kasus, seperti konflik di Sragen dan Temanggung, hanya merupakan letupan seketika.

Laporan penelitian ini memaparkan konflik yang terjadi, sejarah ringkas, skala, dan eksesnya terhadap kehidupan sosial dan keagamaan di wilayah penelitian di Jawa Tengah. Dari paparan tersebut akan tergambar apakah konflik-konflik yang terjadi merupakan percikan belaka dari dinamika hubungan antarumat beragama, persoalan kriminal, atau bahkan lebih serius lagi, yaitu pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Laporan penelitian ini juga menemukan fakta bahwa kerja-kerja kemanusiaan dan dialog antar iman (interfaith and interreligous dialogue) intensif dilakukan oleh sekelompok masyarakat di wilayah Salatiga dan Semarang.

Research paper thumbnail of Kekerasan Berlebih Aparat Keamanan

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2011

Indonesia telah memasuki dasawarsa kedua reformasi. Era dimana perbaikan dan revitalisasi lembaga... more Indonesia telah memasuki dasawarsa kedua reformasi. Era dimana perbaikan dan revitalisasi lembaga negara menjadi syarat mutlak amanat reformasi. Termasuk dalam hal ini adalah institusi militer (TNI) dan lembaga kepolisian (Polri) yang fungsi dan tugasnya di bidang pertahanan dan keamanan. TNI mempunyai fungsi dan tugas di bidang pertahanan, sementara Polri di bidang keamanan dan penegakan hukum. Tujuan dari reformasi kedua lembaga ini tentu saja adalah bagaimana mendorong aparat TNI dan Polri yang profesional, menjunjung tinggi dan menghormati HAM, dan bergerak dalam kerangka demokratik. Agar kedua institusi negara di bidang keamanan ini lebih
humanis dalam bekerja.

Meskipun dalam proses penegakan hukum boleh melakukan kekerasan, sebetulnya terdapat aturan prosedural bagi kepolisian tentang bagaimana dan kapan seorang anggota polisi dapat menggunakan kekerasan. Dan bila hal tersebut dilanggar, atau tidak mengikuti tata aturan prosedur yang ada, aparat kepolisian yang melakukan kekerasan dapat dijatuhi sanksi atau hukuman, baik berupa pelanggaran kode etik
dengan sanksi administratif atau bahkan sampai pada sanksi pidana dan pemecatan atau pemberhentian. Praktik kekerasan yang menyalahi aturan prosedural kepolisian jelas bertentangan dengan tujuan penegakan hukum yang adil, bahkan malah mencederai rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan data yang diolah IMPARSIAL, selama tahun 2010 setidaknya terdapat 35 kasus kekerasan berlebih yang dilakukan aparat Kepolisian yang menjadi sorotan. Kekerasan tersebut tidak hanya mengakibatkan luka, tetapi juga hilangnya nyawa korban. Setidaknya, 13 korban jiwa meninggal dalam beberapa kasus kekerasan polisi selama 2010. Mereka yang menjadi korban umumnya mengalami luka akibat penganiayaan, atau korban penembakan sewenang-wenang di luar prosedur yang berlaku di lingkungan kepolisian.

Tulisan ini merupakan bagian dari Catatan Akhir Tahun (Catahu) IMPARSIAL Tahun 2010 “Oligarki Politik Menghambat Penegakan Hukum dan HAM”, yang dirilis 11 Januari 2011.

Research paper thumbnail of Dinamika Penyelesaian Konflik di Daerah

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2006

Memasuki tahun 2006, upaya pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di bebera... more Memasuki tahun 2006, upaya pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di beberapa daerah yang rawan konflik sebelumnya masih juga belum beranjak dari pola pendekatan bersifat struktural, dengan memanfaatkan struktur pemerintah pusat untuk terlibat dalam berbagai upaya penyelesaian konflik. Mulai dari keterlibatan lembaga kepresidenan hingga aparat pemerintahan daerah. Masih belum terlihat upaya pendekatan kepada kemunitas kultural yang ada. Demikian pula yang terjadi pada wilayah hukum. Upaya hukum terhadap para ‘pelaku’ di balik konflik yang terjadi masih juga belum tersentuh sesuai harapan. Justru setelah sekian lama konflik terjadi, upaya pemerintah masih ‘jalan di tempat’ dalam mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi. Upaya yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan saja dengan memberikan ‘insentif politik’, berupa kebijakan-kebijakan populis.

Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan Laporan HAM 2006 IMPARSIAL ”The Absence of the Sense of Rights”, bab ’Kondisi HAM’.

Research paper thumbnail of Antara Konflik dan Wujud Baru Demokratisasi di Daerah

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2005

Sejak Juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemer... more Sejak Juni 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/wali kota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, pada Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.

Esensi dari pilkada adalah local voice dan local choice dan merupakan wacana untuk menghormati rasionalitas publik sekaligus untuk membangun mekanis bottom up yang dalam penyelenggaraannya tidak melupakan unsur kedaerahan yang diharapkan bisa mengikis sikap
apatisme masyarakat terhadap politik.

Penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem pilkada langsung dengan sistem pemerintahan negara berbentuk federasi. Pilkada langsung di Indonesia dilatarbelakangi format pemerintahan negara kesatuan (NKRI). Perbedaan tersebut lebih berakar dari format pilkada langsung sebagai bagian dari desentralisasi atau dalam bahasa Mahkamah Konstitusi, pilkada bukan merupakan rezim pemilu melainkan rezim pemerintahan daerah.

Sebanyak 173 kabupaten/kota dan 8 provinsi yang melaksanakan pilkada langsung pada tahap awal, Juni 2005. Selama 2005, termasuk yang mengadakan pilkada bulan Juni setidaknya ada 226 daerah yang menyelenggarakan pilkada, yaitu 11 provinsi, 180 kabupaten, dan 35 kota. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) mempunyai kabupaten terbanyak yang akan melakukan pilkada, yaitu 17 kabupaten di NAD dan 18 kabupaten di Sumut. Dalam rencana awal, perhelatan itu membutuhkan dana sekitar Rp 1,25 triliun, 50 persen jadi beban APBN, dan 50 persen lainnya dibebankan pada APBD. Di kawasan timur Indonesia saja, di 10 provinsi digelar 60 pilkada, yakni di Sulawesi Utara (enam daerah termasuk pilkada gubernur), Sulawesi Tengah (empat daerah), Sulawesi Selatan (10 daerah), Sulawesi Barat (dua daerah), Sulawesi Tenggara (lima daerah), Gorontalo (tiga daerah), Maluku (tiga daerah), Maluku Utara (tujuh daerah), Papua (13 daerah), dan Irian Jaya Barat (tujuh daerah). Pilkada kali pertama ini diikuti oleh seluruh partai politik peserta pemilu 2004.

Tulisan ini dipersiapkan untuk Catatan HAM IMPARSIAL 2005 yang berjudul “Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM”, bab ‘Kondisi Sosial Politik’.

Research paper thumbnail of Implementasi Prinsip Supremasi Sipil

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2009

Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melal... more Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Pengendalian oleh pejabat sipil memungkinkan suatu bangsa mengembangkan nilai-nilai, lembaga-lembaga, dan praktek-praktek berdasarkan kehendak rakyat banyak dan bukan atas keinginan para pemimpin militer.

Implementasi prinsip supremasi sipil dalam kebijakan pertahanan menjadi penting dalam kaitan membangun format relasi sipil-militer terutama di masa transisi demokrasi. Kualitasnya akan sangat berpengaruh pada kualitas keberhasilan dalam membangun demokrasi dan formatnya, seyogiyanya mengacu pada konsep supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military). Konsep ini bukanlah sekedar supremasi orang-orang sipil terhadap personel-personel militer karena prinsip ini menjunjung tinggi keputusan-keputusan politik dari the elected politicians sebagai pelaksana dari asas kedaulatan rakyat. Pengertian lain tentang supremasi sipil berarti antitesis dari dominasi militer melalui doktrin dwifungsi ABRI.

Tulisan ini merupakan bahan untuk riset IMPARSIAL seputar ‘Tragedi Puslatpur di Pasuruan’. dan telah diterbitkan menjadi buku berjudul “Politik Militer dalam Penguasaan Tanah (Belajar dari Tragedi Pasuruan,
2007)”, tahun 2009.

Research paper thumbnail of Bisnis Militer Mencari Legitimasi

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2005

Keterlibatan Militer dalam bidang ekonomi tak terlepas dari peran ganda yang diperankan militer I... more Keterlibatan Militer dalam bidang ekonomi tak terlepas dari peran ganda yang diperankan militer Indonesia, yang umum dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Dua aspek yang menonjol dalam diri militer tercermin dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI yang pertama kali dipatenkan oleh Jenderal TNI A H Nasution adalah peran militer sebagai sebuah kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran strategis yang berkaitan dengan kekaryaan. Bidang kekaryaan ini meliputi dua aspek penting dalam rentang keterlibatan politik ekonomi militer Indonesia: kekaryaan di bidang sosial-ekonomi dan sosial-politik. Seiring siklus perubahan suhu politik, keterlibatan militer dalam ranah ekonomi selalu paralel dengan adagium demi kesejateraan prajurit dan untuk menutupi anggaran militer yang hanya 30 % dari APBN sebagaimana halnya adagium demi stabilitas nasional dalam keterlibatan militer di ranah sosial-politik.

Tulisan ini merupakan bagian dari buku Perjalanan Advokasi RUU TNI [Tidak Berpolitik dan Tidak Berbisnis, yang diterbitkan IMPARSIAL, 2005.

Research paper thumbnail of Marjinalisasi Minoritas Keagamaan di Tasikmalaya

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2012

Konflik sosial yang berlatarbelakang keagamaan di wilayah Tasikmalaya tidaklah dapat dikatakan se... more Konflik sosial yang berlatarbelakang keagamaan di wilayah Tasikmalaya tidaklah dapat dikatakan sebagai konflik yang bersifat terbuka dan melibatkan banyak aktor/pelaku. Embrionya pun tidak dapat ditelusuri jauh ke belakang sebelum reformasi. Apalagi bila melibatkan Jemaat Ahmadiyah di dalamnya sebagai korban konflik. Konflik keagamaan yang melibatkan Jemaat Ahmadiyah justru terjadi sejak masa reformasi, khususnya memasuki awal-awal tahun 2000-an.

Tulisan ini merupakan Laporan Penelitian "Peran Aktor Keamanan dalam Memelihara Kemajemukan di Indonesia (Tasikmalaya)" yang diterbitkan menjadi Buku Negara di Bawah Bayang Otoritas Agama: Problematika Peran Negara dalam Menangani Intoleransi Keagamaan (Studi Kasus Jawa Barat), IMPARSIAL, Desember 2012.

Research paper thumbnail of Laporan Publik Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2022

Sekretariat Bersama RAN PE, 2022

Pelaksanaan RAN PE telah memasuki tahun ketiga sejak ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tah... more Pelaksanaan RAN PE telah memasuki tahun ketiga sejak ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada 7 Januari 2021 silam. Tujuan utama pelaksanaan RAN PE adalah untuk menjamin pemenuhan hak atas rasa aman seluruh masyarakat yang diwujudkan melalui pelaksanaan aksi-aksi nyata yang terpadu dan sinergis antar-pemangku kepentingan, baik antar-kelembagaan pemerintah tingkat pusat, maupun antar pemerintah pusat dan daerah, serta antar-pemerintah dan masyarakat.

Laporan Pelaksanaan RAN PE Tahun 2022 untuk Publik ini diharapkan dapat memberikan informasi seluruh capaian secara terintegrasi, baik capaian pelaksanaan RAN PE di tingkat Kementerian/Lembaga dan capaian pelaksanaan RAN PE di tingkat daerah maupun masyarakat melalui program dan kegiatan Pokja Tematis. Laporan Pelaksanaan RAN PE tahun 2022 juga dimaksudkan untuk mendeskripsikan berbagai dampak positif yang dihasilkan selama periode pelaksanaan RAN PE tahun 2022.

Penetapan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE ini diharapkan dapat memperkuat kebijakan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya, khususnya dalam upaya mencegah potensi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme yang berkembang di Indonesia melalui aksi nyata yang terintegrasi dan terpadu dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, serta memperkuat koordinasi antar lembaga pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lainnya termasuk peran serta masyarakat sipil.

Research paper thumbnail of PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) dalam Sistem Demokrasi Konstitusional: Hasil Survei Nasional terhadap Masyarakat Berpendidikan Tinggi

Badan Pengkajian MPR RI, CSRC UIN Jakarta, 2022

Survei Nasional terhadap Masyarakat Berpendidikan Tinggi mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN... more Survei Nasional terhadap Masyarakat Berpendidikan Tinggi mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam Sistem Demokrasi Konstitusional ini secara khusus bertujuan untuk: Pertama, Mengetahui pandangan dan sikap masyarakat berpendidikan tinggi mengenai gagasan PPHN sebagai pengganti SPPN dalam sistem demokrasi konstitusional, juga penilaian atas kompatibilasnya dengan sistem presidensial. Kedua, Mengetahui posisi isu amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan PPHN di tengah-tengah agenda publik, terutama tingkat urgensinya jika dilakukan dalam konteks sekarang ini.

Ketiga, Memetakan aspirasi, tuntutan, dan masukan masyarakat berpendidikan tinggi mengenai bentuk, konstruksi konsep, dan substansi materi yang sebaiknya ada di dalam PPHN. Keempat, Menggali aspirasi, tuntutan, dan masukan masyarakat berpendidikan tinggi mengenai prosedur etis yang sebaiknya ditempuh agar meyakinkan publik atas proses pelaksanaan amandemen terbatas mengenai PPHN.

Dengan tujuan di atas, survei nasional ini berupaya untuk memberikan penilaian yang obyektif terhadap PPHN sebagai arah perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Hal-hal yang positif dari hasil Survei diungkap secara proporsional. Begitu juga sebaliknya, temuan yang bersifat kritis diuraikan secara mendalam.

Penerbitan serta penyebarluasan buku ini dimaksudkan untuk menambah khazanah pemikiran bagi para pembaca, dan kalangan dunia akademis, serta sebagai bahan bagi para Anggota MPR dalam mendukung dan memperkaya substansi guna menunjang pelaksanaan tugas konstitusionalnya.

Research paper thumbnail of Sang Pelopor Perubahan: Cerita dari Pesantren untuk Perdamaian

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, 2021

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Pepatah lama mengatakan, di dunia ini semua berubah kecuali ... more Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Pepatah lama mengatakan, di dunia ini semua berubah kecuali perubahan itu sendiri. Artinya, perubahan itu lestari. Ia berada dan melekat dalam setiap denyut kehidupan dan sejarah manusia. Seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, manusia juga bertumbuh, berkembang, dan berproses di dalam perubahan. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada manusia tidak berlangsung serta merta. Apalagi jika yang diharapkan adalah perubahan yang signifikan, biasanya dibutuhkan waktu yang lama. Namun ada perkecualian. Ada sebuah momen titik balik atau turning point yang dapat memicu terjadinya perubahan signifikan pada diri seseorang, yang terjadi ketika seseorang mendapatkan kesadaran baru, visi baru, atau tujuan baru yang berbeda dari sebelumnya.

Buku ini menceritakan perubahan signifikan yang dialami ustadz/ustadzah muda pesantren dalam program Pesantren for Peace (PfP) dan Kontra Narasi Ekstremis (KNE), sejak 2015 hingga 2021, dengan berbagai kegiatan yang melibatkan mereka. Tiga domain perubahan yang diulas terdiri dari perubahan pada level individu, perubahan pada level komunitas pesantren dan lingkungan sekitar, dan perubahan dalam skala lebih luas di tengah masyarakat, yang erat kaitannya dengan inti dari program PfP dan KNE.

Research paper thumbnail of Laporan Penelitian Profil Perempuan Pasca Konflik Sosial dan Potensi Strategis Perempuan sebagai Agen Perdamaian di Tiga Daerah (Aceh Singkil, Poso, Tolikara)

Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Institut Titian Perdamaian, 2016

Hasil penelitian di tiga wilayah pasca konflik sosial ini memperlihatkan beberapa persamaan kondi... more Hasil penelitian di tiga wilayah pasca konflik sosial ini memperlihatkan beberapa persamaan kondisi perempuan di tiga wilayah ini, antara lain: 1) Perempuan pada umumnya sudah kembali menjalani kehidupan sosial mereka sebagaimana biasanya; 2) Mereka aktif bekerja sebagai petani, pedagang pasar, pedagang keliling, dan kegiatan kerajinan di rumah sendiri; 3) Mayoritas dari mereka secara ekonomi masih sangat membutuhkan bantuan para pihak; 4) Mereka masih trauma dan memiliki kekhawatiran berulangnya konflik yang pernah terjadi; 5) Mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai bantuan ekonomi produktif dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat; 6) Mereka aktif mencegah keterlibatan anggota keluarganya dalam konflik; 7) Mereka tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas memadai dalam memahami potensi konflik, mencegah konflik sosial maupun membangun perdamaian berkelanjutan dalam komunitas mereka; dan 8) Mereka sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Laporan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi aktual dan komprehensif kepada Kemen PPPA dan Kementerian/Lembaga lainnya serta pihak lain yang relevan, untuk dipertimbangkan dalam penyusunan program-program bantuan yang dikhususkan bagi perempuan di daerah pasca konflik sosial, tidak hanya di tiga daerah ini namun juga untuk semua daerah yang memiliki sejarah konflik sosial.

Research paper thumbnail of Pesantren Community Resilience against Radicalism: Social Bonding, Sosial Bridging, Social Linking

PPIM UIN Jakarta, CSRC UIN Jakarta, CONVEY Indonesia, 2020

This book is intentionally presented at the right time to participate in discussing pesantren and... more This book is intentionally presented at the right time to participate in discussing pesantren and its resilience in the context of some social phenomena that shake our existence as a nation and state. This book originates from the research report on "The Resilience of Islamic Boarding Schools for Radicalism and Violent Extremism" conducted during 2019. The research was carried out in 8 provinces in Indonesia involving 42 Islamic boarding schools of various typologies, ranging from Traditional Islamic Boarding Schools, Modernist Islamic Boarding Schools, to Salafi Islamic Boarding Schools, with various variants with their derivatives. As stated in its theme, this study aims at exploring the resilience of pesantren in facing the challenges of radicalism and violent extremism.

Using a community resilience framework that has been influential in recent years, this study tries to probe deeper into what and how the social capital possessed by every pesantren typology is capable of building resilience. In addition, considering that social capital is also vulnerable to depreciation, this study inquires how pesantren maintain and even develop social capital in order to eliminate the risks of vulnerability. Also, the social capital that is highlighted in this project is the position and role of women in pesantren.

Research paper thumbnail of Panduan Pelembagaan Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Berbasis Desa

PROSEVEN Kemendesa PDT, PT. DSLNG, Pemerintah Kabupaten Banggai, Institut Titian Perdamaian, 2017

Buku “Panduan Pelembagaan Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Sosial Berbasis Desa” in... more Buku “Panduan Pelembagaan Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Sosial Berbasis Desa” ini merupakan bentuk upaya nyata untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas masyarakat desa dan kelembagaan desa dalam mengidentifikasi dan mencegah secara dini potensi konflik di tingkat desa. Buku ini setidaknya bisa memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang bagaimana mencegah dan merespon potensi konflik di masyarakat secara dini, sistematis dan terlembaga, serta memperkuat kelembagaan lokal dalam turut serta mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat.

Dalam panduan ini, untuk mempermudah rujukan konsep dan penyingkatan, selanjutnya akan banyak menggunakan istilah CEWERS (Conflict Early Warning and Early Response System) untuk menunjuk konsep Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik. Berbagai istilah masih menggunakan bahasa Inggris untuk tidak mereduksi makna, namun untuk mempermudah pembaca, istilah-istilah tersebut dapat dilihat di Glosarium yang terdapat pada bagian awal panduan ini. Kepada pihak-pihak yang memiliki perhatian dan upaya serius terhadap pembangunan perdamaian panduan ini ditujukan secara tidak terbatas.

Panduan ini terdiri dari beberapa bagian. Bagian pertama berisi Prinsip Dasar Kelembagaan CEWERS Berbasis Desa, yang berisi beberapa prinsip: gerakan, terpadu, terbuka, partisipatif, modal sosial bersama. Bagian kedua berisi Pilar Kelembagaan CEWERS Berbasis Desa, yang di dalamnya akan membahas seputar sinergi kelembagaan, koordinasi dengan Pemerintah Daerah, Tim CEWERS sebagai penggerak kelembagaan, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, lembaga riset, media dan perguruan tinggi.

Bagian ketiga berisi Tahapan Pelembagaan CEWERS Berbasis Desa, yang memuat beberapa tahapan: inisiasi awal dan pengenalan CEWERS, penetapan pelaksana CEWERS, rekrutmen fasilitator CEWERS, training CEWERS, pembentukan dan set up tim CEWERS, pembentukan sekretariat CEWERS, dan pelaksanaan CEWERS. Bagian keempat membahas Sekretariat dan Kesekretariatan CEWERS, yang berisi pilar program, struktur organisasi CEWERS berbasis desa, tugas dan fungsi sekretariat, meluaskan jaringan dan kolaborasi antarpihak, dan penguatan kelembagaan sekretariat CEWERS berbasis desa. Sementara bagian terakhir, bagian kelima membahas tentang Peran dan Kerja CEWERS Berbasis Desa yang memuat seputar: pendeteksian, analisis, pengorganisasian, memberikan peringatan dini, dan melakukan respon dini.

Research paper thumbnail of Modul Pelatihan Fasilitator Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Sosial Berbasis Desa

PROSEVEN Kemendesa PDT, PT. DSLNG, Pemerintah Kabupaten Banggai, Institut Titian Perdamain, 2017

Buku “Modul Pelatihan Fasilitator Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Sosial Berbasis ... more Buku “Modul Pelatihan Fasilitator Sistem Peringatan Dini dan Respon Dini Konflik Sosial Berbasis Desa” ini merupakan bentuk upaya nyata untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas masyarakat desa dan kelembagaan desa dalam mengidentifikasi dan mencegah secara dini potensi konflik di tingkat desa. Buku ini setidaknya bisa memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang bagaimana mencegah dan merespon potensi konflik di masyarakat secara dini, sistematis dan terlembaga, serta memperkuat kelembagaan lokal dalam turut serta mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat.

Buku Manual ini direkonstruksi dari rangkaian pengalaman dan pelajaran yang didapat dari upaya pencegahan dan penyelesaian konflik di berbagai wilayah Indonesia, seperti Maluku, Poso, Kalimantan Barat, Papua, dan Aceh. Tidak semua pengalaman berujung cerita sukses, justru banyak yang menceritakan kegagalan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik. Belajar dari pengalaman itulah yang mengantarkan substansi buku ini, begitu bervariasi, dan kadangkala agak berat. Diawali dengan Nilai-Nilai Dasar Perdamaian, Asumsi Dasar Konflik, Pemetaan Konflik, Mengenal Sistem Peringatan dan Respon Dini Konflik, Jaringan Kerja CEWERS, Membangun Tim Kerja CEWERS, Peringatan Dini, Tanggap Dini serta Pelembagaan CEWERS Berbasis Desa.

Research paper thumbnail of Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila di Kalangan Anak Muda Milenial Indonesia

Badan Pengkajian MPR RI, CSRC UIN Jakarta, 2020

Hasil kajian akademik ini dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang bagaimana Persepsi... more Hasil kajian akademik ini dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang bagaimana Persepsi Anak Muda Milenial Terhadap Pancasila dan Strategi Revitalisasi Pancasila di Kalangan Anak Muda Milenial.

Secara khusus kajian akademik ini memotret: Pertama, untuk mendalami padangan kalangan anak muda milenial mengenai Pancasila dan strategi revitalisasi nilai-nilainya di kalangan generasi milenial. Kedua, untuk mendalami berbagai bentuk praksis yang bertujuan untuk mendukung revitalisasi nilai-nilai pancasila di kalangan anak muda milenial. Ketiga, Untuk mendapatkan bahan pengembangan rekomendasi kebijakan yang berbasis riset yang bertujuan untuk revitalisasi nilai-nilai pancasila di kalangan anak muda milenial.

Research paper thumbnail of Strategi Kontra Radikalisasi dalam Perspektif Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Asisten Deputi Konflik Sosial Kemenko PMK RI, 2017

Fenomena intoleransi, sikap eksklusif dan radikalisme semakin menjadi persoalan di Indonesia. Dat... more Fenomena intoleransi, sikap eksklusif dan radikalisme semakin menjadi persoalan di Indonesia. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa paham radikalisme telah menyebar dalam masyarakat, khususnya generasi muda. Pemikiran dan sikap yang menyetujui tindakan kekerasan dengan dalih agama dan pemikiran yang mempertayakan eksistensi Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa, merupakan potensi ancaman yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada saat yang sama, kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang begitu cepat telah melahirkan “dunia tanpa batas” (borderless state) yang pada gilirannya membawa dampak negatif berupa kejut budaya (culture shock) dan ketunggalan identitas global di kalangan generasi muda Indonesia. Hal ini mendorong pencarian kembali basis-basis identitas primordial sebagai representasi simbolik yang menjadi pembeda dengan lainnya. Konsekuensinya, bangsa ini berada di tengah pertarungan antara dua arus kebudayaan.

Berangkat dari fenomena tersebut, Asisten Deputi Konflik Sosial, Deputi Bidang Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menginisiasi sebuah kajian untuk merumuskan strategi dalam rangka mengantisipasi dan mencegah sejak dini atas berbagai upaya penyebaran paham radikalis (kontra radikalisasi) di Indonesia dalam perspektif Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Kajian ini memberikan gambaran sebaran potensi radikalisme di masyarakat, sekaligus mereview kebijakan dan program penanganan fenomena radikalisme di Indonesia, serta menjelaskan upaya kontra radikalisasi dengan mengedepankan tiga varibael pembangunan manusia dan kebudayaan, yaitu pemahaman agama, pemuda dan fungsi keluarga. Dari kajian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu arahan, kerangka kerja, dan ruang lingkup strategi kontra radikalisasi yang sesuai dengan tugas dan fungsi Kemenko PMK. Hasil kajian ini juga memberikan gambaran peran strategis Kemenko PMK untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan penyebaran paham radikalis di Indonesia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.

Research paper thumbnail of Profil Kondisi Sosial Kemasyarakatan Desa

PROSEVEN Kemendesa PDT, PT. DSLNG, 2017

Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi berinisiasi dengan melakukan MoU (Nota Kesep... more Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi berinisiasi dengan melakukan MoU (Nota Kesepakatan) dengan PT. Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSNLG) yang ditindaklanjuti menjadi Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu (PDTU) Kemendes PDTT dengan pihak manajemen PT. PT. DSLNG. Langkah ini sangat strategis karena membuka peluang adanya kerjasama dan kebersamaan antar stakeholder dalam pembangunan desa guna pengurangan desa tertinggal dan meningkatnya desa mandiri. Hal ini selaras dengan arah dan strategi pembangunan desa dan kawasan perdesaan yaitu 1) Menyiapkan dan melaksanakan kebijakan-regulasi baru tentang shareholding antara pemerintah, investor, dan desa dalam pengelolaan sumber daya alam, dan 2) Menjalankan program-program investasi pembangunan perdesaan dengan pola shareholding melibatkan desa dan warga desa sebagai pemegang saham (Quick Wins Pembangunan Desa).

Kerjasama ini dilakukan di Jakarta dengan lokasi kegiatan di Kabupaten Banggai di desa-desa yang termasuk ring I dalam kawasan PT. DSLNG. Desa tersebut semuanya berjumlah 19 desa pada 3 kecamatan, yaitu Desa Koyoan, Koyoan Permai, Padungnyo, Lumbe dan Desa Sayambongin (5 desa) di Kecamatan Nambo dan Desa Kalolos, Tangkiang, Padang, Manyula, Ulin, Samadoya, Dimpalon, Solan dan Desa Babang Buyangge di Kecamatan Kintom (9 desa). Adapun di Kecamatan Batui terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Kayowa, Nonong, Ondo-Ondolu, Honbola dan Desa Uso.

Sebelum disusun desain program dan model intervensi bersama, agar hambatan dapat dipetakan dan dipecahkan, maka perlu diketahui kondisi terkini sosial kehidupan masyarakat desa di lokasi tersebut, untuk itu akan dilakukan “Studi Baseline Kondisi Perkembangan Masyarakat".
dan Desa”.

Research paper thumbnail of Penilaian Kebutuhan Masyarakat Menuju Desa Mandiri

PROSEVEN Kemendesa PDT, PT. DSLNG, 2017

Pembangunan perdamaian bertumpu pada terselenggaranya proses pembangunan secara integratif guna m... more Pembangunan perdamaian bertumpu pada terselenggaranya proses pembangunan secara integratif guna mengoptimalkan distribusi kesejahteraan, yang orientasinya kini difokuskan pada pemberdayaan desa. Melalui kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta, dalam hal ini melalui kerjasama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama PT. Donggi Senoro LNG (PT. DSLNG), akan dilaksanakan pilot project pembangunan integratif 2016-2019 tersebut sebagai preseden yang merepresentasikan model sinergis antaragensi pembangunan.

Demi merespon kerjasama Kemendesa dengan PT.DSLNG yang secara resmi telah ditegaskan dalam perjanjian kerjasama tertanggal 28 November 2016, Proseven telah melaksanakan assessment dan studi baseline sejak 25 Desember 2016 hingga 4 Januari 2017, untuk memperkuat kajian yang sebelumnya telah dilaksanakan melalui assessment cepat sebagai tahap penjajakan pada tahun 2015.

Keseluruhan fokus studi ini dilaksanakan secara khusus di areal ring I PT. DSLNG sejumlah 19 desa, serta secara umum mencermati dinamika kawasan kecamatan dan kabupaten. Kegiatan ini merupakan tahap awal untuk membangun prototipe kerjasama negara dengan sektor swasta, yang sangat terbuka untuk diperluas. 19 desa tersebut berada di Kecamatan Nambo, Kecamatan Kintom, dan Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Research paper thumbnail of Laporan Penelitian Hate Speech: Ujaran Kebencian dan Penanganannya oleh Polri dan Pemerintah Daerah di Indonesia

The Asia Foundation, CSRC UIN Jakarta, 2016

Ujaran kebencian (hate speech) baik yang disampaikan di media online maupun forum-forum offline t... more Ujaran kebencian (hate speech) baik yang disampaikan di media online maupun forum-forum offline telah digunakan untuk tujuan mengucilkan kelompok-kelompok yang tidak disukai semata-mata karena perbedaan identitas yang disandangnya—agama, etnis, ras, antar golongan, gender, difabel, dan kadang orientasi seksual. Dalam konteks konflik bernuansakan agama, hate speech menjadi instrument untuk mendorong berkembangnya kebencian yang luas terhadap kelompok sasaran, yang biasanya berada dalam posisi yang lemah. Lebih jauh, banyak fakta di lapangan yang juga diamini oleh pakar konflik sosial yang menunjukkan hate speech dengan satu dan lain cara telah digunakan untuk memarjinalkan dan mendiskriminasi kelompok-kelompok tersebut. Bahkan dalam bentuk yang ekstrim, persekusi dan pengusiran terhadap mereka melibatkan masyarakat awam yang telah terhasut oleh ujaran kebencian yang disebarkan oleh aktor-aktor berpengaruh dalam masyarakat.

Laporan hasil penelitian ini merekam analisis dan eksplorasi yang cukup mendalam mengenai bagaimana dan mengapa hate speech telah mendorong aksi-aksi hate crime, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia. 8 delapan) kabupaten/kota, yaitu Aceh Singkil, Tolikara-Papua, Bekasi, Kuningan, Lombok, Bangka, Sampang dan Pasuruan, dipilih sebagai lokus penelitian karena dianggap mewakili titik-titik panas (hot spots) konflik komunal di Indonesia. Disamping itu, penelitian ini juga berupaya menjelaskan mengenai bagaimana aparat polisi dan Pemerintah Daerah (Pemda) telah menangani hate speech dan hate crime dalam konteks konflik kekerasan yang telah mendera masing-masing daerah. Studi ini juga menjelaskan tentang kadar pemahaman Polri-Pemda terkait hakikat hate speech dan strategi penanganannya dengan mempertimbangkan Surat Edaran (SE) Kapolri No. 6/X2015 tentang penanganan hate speech.

Penelitian ini menggaris-bawahi urgensi pengaturan dan penanganan hate speech, tentu dengan cara yang bijaksana. Aparat polisi bersama dengan Pemda dan stakeholder di masyarakat perlu meningkatkan kepekaan akan gejala hate speech di masyarakat dan melakukan langkah-langkah pencegahan yang terkoordinasi agar tidak berakibat pada munculnya aksi-aksi kekerasan, diskriminasi dan apalagi persekusi terhadap kelompok minoritas. Surat Edaran Kapolri tentang Penanganan Hate speech dengan tepat menjawab kebutuhan ini, bahwa penanganan hate speech harus mendahulukan pencegahan daripada penindakan hukum.

Research paper thumbnail of Pesan Damai Pesantren: Modul Kontra Narasi

CSRC UIN Jakarta, KAS Indonesia-Timor Leste, 2018

Modul ini terdiri dari lima bab utama, yaitu: pertama, Islam Dien As-Salam. Bagian ini merupakan ... more Modul ini terdiri dari lima bab utama, yaitu: pertama, Islam Dien As-Salam. Bagian ini merupakan landasan teologi (akidah) atas dasar mana kontra narasi dilakukan. Kedua, Ideologi Ekstremis. Bagian ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan ideologi ekstremis dan bagaimana mengenali ciri-ciri utamanya. Bagian ketiga, Narasi Ekstremis dan Daya Pikatnya. Bagian ini bertujuan menguatkan pengetahuan dan pemahaman tentang apa itu narasi ekstremis, bagaimana mengenali ciri-cirinya, serta dimana kekuatan daya pikatnya sehingga mampu menyetir emosi pendengar/pembaca untuk mengetahui misi ideologisnya.

Bagian keempat, Kontra Narasi. Bagian ini bertujuan membantu peserta memahami konsep kontra narasi dan tujuan strategisnya. Bagian kelima, Praktek Menyusun Kontra Narasi Ekstremis. Ini adalah bagian praktis dari modul ini, yaitu belajar bagaimana melakukan langkah-langkah kontra narasi.

Research paper thumbnail of Resiliensi Komunitas Pesantren terhadap Radikalisme: Social Bonding, Social Bridging, Social Linking

CSRC UIN Jakarta, CONVEY Indonesia, PPIM UIN Jakarta, 2020

Buku ini hadir pada waktu yang tepat untuk ikut memperbincangkan pesantren dan ketahanannya dalam... more Buku ini hadir pada waktu yang tepat untuk ikut memperbincangkan pesantren dan ketahanannya dalam konteks peristiwa-peristiwa sosial yang menggoncang eksistensi kita sebagai bangsa dan negara. Buku ini berasal dari laporan riset “Resiliensi Pesantren terhadap Radikalisme dan Esktremisme Kekerasan” yang diadakan selama Tahun 2019. Riset tersebut dilaksanakan di 8 provinsi di Indonesia dengan melibatkan 42 pesantren dari berbagai tipologi, mulai dari Pesantren Tradisional, Pesantren Modernis, hingga Pesantren Salafi dengan berbagai varian turunannya. Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi ketahanan (resiliensi) pesantren dalam menghadapi tantangan radikalisme dan ekstremisme kekerasan.

Menggunakan kerangka resiliensi komunitas yang tengah berpengaruh beberapa tahun terakhir, studi ini mencoba menelisik lebih dalam apa dan bagaimana modal sosial yang dimiliki masing-masing tipologi pesantren sehingga mampu resilien. Selain itu, dan mengingat modal sosial juga rentan penyusutan, studi ini juga menanyakan bagaimana pesantren menjaga dan bahkan mengembangkan modal sosial tersebut guna menghilangkan sumber-sumber resiko kerentanan. Termasuk modal sosial yang disoroti adalah kedudukan dan peran perempuan di pesantren.

Research paper thumbnail of Hasil Survei Pendapat Ahli: Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Badan Pengkajian MPRI RI, CSRC UIN Jakarta, 2020

Buku Hasil Survei Pendapat Ahli (Expert) tentang “Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara... more Buku Hasil Survei Pendapat Ahli (Expert) tentang “Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” ini merupakan hasil studi yang dilakukan oleh Badan Pengkajian MPR bekerjasama dengan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Secara umum, kegiatan survei ini bertujuan untuk mengetahui dan menggali pendapat ahli hukum tata negara tentang “Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Buku ini mengulas pandangan ahli seputar Bab 1, Bab 2, dan Bab 3 UUD NRI Tahun 1945. Bab satu terdiri dari pasal-pasal mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan, kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum. Bab dua berisi pasal-pasal tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dan Bab 3 mengenai pasal-pasal tentang Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif.

Pelaksanaan survei dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan survei wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada 300 ahli hukum tata negara tersebar di 77 universitas yang memiliki program studi atau jurasan Hukum Tata Negara (HTN) terakreditasi A di 21 Provinsi. Pendekatan kualitatif dengan melakukan studi literatur, dokumentasi sumber-sumber referensi yang berkaitan pelaksanaan Undang-Undang Dasar, wawancara mendalam terhadap pimpinan MPR RI, Pimpinan Badan MPR dan pejabat terkait.

Research paper thumbnail of Problematika Hukuman Mati di Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Imparsial, 2022

Research paper thumbnail of Telaah Kritis UU PSDN

HI FISIP UIN Jakarta, Imparsial, 2022

Research paper thumbnail of Resolusi Konflik dan Reparasi

Human Rights Working Group (HRWG), 2018

Research paper thumbnail of Tantangan Ekstremisme Kaum Muda Milenial di Bandung dan Sekitarnya

Badan Kesbangpol Kota Bandung, 2023

Research paper thumbnail of Metode, Prosedur, dan Strategi Implementasi Moderasi Beragama di PTKI

Research paper thumbnail of Evolusi dan Pola Serangan Terorisme di Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2019

Research paper thumbnail of Menyemai Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa

Research paper thumbnail of Kepemimpinan Transformasional dan Manajemen Profesional

Research paper thumbnail of Kondisi Penegakan HAM di Indonesia: Tinta Merah

Research paper thumbnail of Keberagamaan Muda Milenial di Masa Pandemi

Research paper thumbnail of Catatan Penegakan HAM Bidang Pendidikan

Research paper thumbnail of Implementasi Moderasi Beragama melalui Religious Culture di Sekolah

Research paper thumbnail of Prosedur dan Strategi Implementasi Moderasi Beragama di PTKI

Research paper thumbnail of Penguatan Literasi Keagamaan bagi Mahasiswa