Gagasan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Di Papua (original) (raw)
Related papers
Membentuk Kembali Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi DI Indonesia
Res Publica: Jurnal Hukum Kebijakan Publik
The purpose of this legal research is to analyse the political law of Indonesia on settlement of serious human rights violations, especially with The Truth And Reconcilliation Commission. This research is a descriptive normative legal research type. Types of data consist of primary data and secondary data. Using primary data collection secondary data using literature study techniques. This research use the Qualitative data analysis techniques. A Truth and Reconciliation Commission shall be established to address impunity, break the cycle of violence, provide a forum for the parties of human rights violations to tell their story, get a clear accurate, clear and comprehensive picture of the past in order to facilitate genuine healing and reconciliation. The late progress of this commission, contributed directly or nondirectly to delayed our progress toward the bright future of this nation.
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 2017
Sampai saat ini, upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi hutang yang belum tertunaikan. Upaya rekonsiliasi yang hendak ditempuh pemerintah, sebagai salah satu alterna f penyelesaian seharusnya dak boleh meninggalkan upaya mengungkap kebenaran. Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang sejalan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 6/PUU-IV/2006 menjadi kebutuhan yang pen ng dan mendasar. Tanpa adanya UU KKR tersebut, maka upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah akan mengalami problem hukum yang pada gilirannya akan semakin menunda penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bahkan implikasi ke adaan UU KKR, membuat KKR Aceh yang dibentuk melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 seolah ma suri karena dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih nggi yang dak mampu dijangkau oleh Qanun Aceh tersebut. Karenanya, Pemerintah dan DPR seharusnya meningkatkan komitmen dan poli cal will-nya untuk segera melakukan pembahasan RUU KKR, dan segera menghilangkan kebiasaan yang hanya memasukkan RUU KKR dalam da ar program legislasi nasional. Kata Kunci: komisi kebenaran rekonsiliasi, pelanggaran HAM berat, pembentukan undangundang, prolegnas, Qanun Aceh.
Politik Hukum Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh: Re-Formulasi Legalitas KKR Aceh
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH, 2017
The establishment of a Truth and Reconciliation Commission in Aceh is based on Article 229 of Law No. 11 of 2006, then legalized in Qanun No. 17 of 2013. The existence of Aceh's Truth and Reconciliation Commission has further provoked a polemic after the Governor of Aceh appointed several members of the Aceh Truth and Reconciliation Commission based on the Decree of the Governor of Aceh Number 162/796/2016. The pros and cons concerning the dissolution of the Aceh Truth and Reconciliation Commission flourished as the assessment of the Aceh Truth and Reconciliation Commission was established after the abolition of the provisions of the National Commission for Truth and Reconciliation by the Constitutional Court. This paper intends to examine the legality of the Aceh Truth and Reconciliation Commission in terms of legal and legal aspects of the existence of the Aceh TRC according to the laws and regulations. Abstrak: Pembentukan KKR di Aceh didasarkan pada Pasal 229 Undang-Undang N...
Abstrak Sampai saat ini, upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi hutang yang belum tertunaikan. Upaya rekonsiliasi yang hendak ditempuh pemerintah, sebagai salah satu alternaf penyelesaian seharusnya dak boleh meninggalkan upaya mengungkap kebenaran. Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang sejalan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 6/PUU-IV/2006 menjadi kebutuhan yang penng dan mendasar. Tanpa adanya UU KKR tersebut, maka upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah akan mengalami problem hukum yang pada gilirannya akan semakin menunda penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bahkan implikasi keadaan UU KKR, membuat KKR Aceh yang dibentuk melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 seolah ma suri karena dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih nggi yang dak mampu dijangkau oleh Qanun Aceh tersebut. Karenanya, Pemerintah dan DPR seharusnya meningkatkan komitmen dan poliical will-nya untuk segera melakukan pembahasan RUU KKR, dan segera meng-hilangkan kebiasaan yang hanya memasukkan RUU KKR dalam daar program legislasi nasional. Kata Kunci: komisi kebenaran rekonsiliasi, pelanggaran HAM berat, pembentukan undang-undang, prolegnas, Qanun Aceh. Abstract Up to now, the efforts to resolve human rights violations are still considered as a debt that have not been fullfilled. The reconciliation steps that have been taken by the government, as one of the alternative dispute settlement should not put aside its aim to uncover the truth. The Establishment of Law on Truth and Reconciliation Commission (the Law) which is in line with the 1945 Constitution and international human rights instruments that apply universally as mandated by the Constitutional Court Decision Number 6/PUU-IV/2006 became fundamental needs. In the absence of the Law, the government's reconciliation efforts will run into legal problems, which in turn will further delay the completion of serious human rights violations in the past. In fact, the implications of the absence of the Law, lead to the Truth and Reconciliation Commission in Aceh formed by Aceh Qonun Number 17 in 2013 suspended because it collides with the higher legislation that cannot be reached by Aceh Qonun. Therefore, the government and House of Representatives should pay more commitment and its political will for immediate discussion of the Law Truth and Reconciliation Commission, and immediately eliminate the habit that only put the Law on Truth and Reconciliation Commission in the list of national legislation program. Keywords: truth and reconciliation commission, human rights violations, legislation, national legislation program, Qanun Aceh.
Membangun Kembali Perdamaian : Rekonsiliasi Konflik Komunal Berbasis Trust
2015
Abstrak : Kelangsungan perdamaian pasca konflik komunal di tanah air belum berlangsung maksimal oleh karena rekonsiliasi masyarakat mengalami kegagalan yang menyebabkan terjadinya krisis kepercayan. Karena itu, masyarakat membutuhkan trust sebagai modal sosial utama yang mesti dibangun kembali untuk membantu rekonsiliasi pasca konflik komunal. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kegagalan resolusi dan krisis kepercayaan serta menjelaskan upaya membangun kembali perdamaian berbasis trust. Metode penulisan yang digunakan adalah analisis kepustakaan. Hasil analisis menemukan bahwa kegagalan rekonsiliasi konflik komunal berimbas pada terjadinya segregasi sosial yang berpeluang membentuk kembali sentimen in-group dan out-group, memudarnya masyarakat corak familistik yang tergantikan corak individual, serta tumbuhnya stigma dan prasangka sosial, sehingga berpotensi menumbuhkan kembali kantong- kantong potensi konflik baru. Sedangkan dalam membangun kembali perdamaian berbasis trust, d...
Rekonsiliasi DI Aceh: Peluang Dan Tantangannya
Political and armed conflict has long been over in Aceh. Various patterns of resolution of human rights violations that have been carried out have not been successful. This review in the form of scientific writing presents the concept of reconciliation in order to strengthen constructive and sustainable peace in the Serambi Mekkah. Given the importance of access to justice for conflict-affected communities, which is nothing but a form of ikhtiar to unravel the red thread of history of armed and humanitarian violence that should not be receded for a sense of justice and accountability for various alleged human rights violations in Aceh that still have a mystery. All elements of society are currently waiting for the certainty of the answer from the end of a long process, all of which began with the willingness of the government to truly solve this humanitarian problem in a fair and dignified manner. The purpose of reconciliation itself ultimately leads to the tapping of the hearts of the perpetrators to admit their historical mistakes.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 pada bulan Desember tahun 2006 dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan yang mengikat atau dibatalkan oleh putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim menilai undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Amandemen ke IV, tidak memiliki kewenangan yang jelas karena tidak memiliki daya ikat dan tidak memiliki konsistensi hukum sehingga tidak memiliki kepastian hukum. Namun, Apakah yang melatar belakangi Mahkamah Kontitusi dalam menetapkan putusan pembatalan terhadap Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi ?
Kewenangan Khusus Majelis Rakyat Papua Terhadap Pembentukan Perdasus
Justisi, 2021
This study aims to analyze the regulation of special powers and the position of the Papuan People's Assembly (MRP) in the formation of the Special Regional Regulations (Perdasus). The method used in this research is juridical normative research with a statute approach, which is analyzed qualitatively. The results of this study indicate that based on the Papua Special Autonomy Law, the MRP institution only has certain powers in the framework of protecting the rights of indigenous Papuans based on respect for customs and culture, empowering women, and strengthening religious harmony. In other words, the MRP does not have pure authority in the field of legislation, because based on Article 20 paragraph (1) letter c, the MRP only provides consideration and approval of the Draft Perdasus submitted by the DPRP and the Governor.